Minggu, 25 Maret 2012

CERITA DEWASA BERTIGA YANG HANGAT







Aku,Mirna dan Andre - Bertiga Yang Hangat

Waktu itu sudah malam, sekitar pukul 9. Saya dan Mirna baru saja menyelesaikan babak ketiga pertandingan antar jenis kelamin kami yang sudah sekian kali kami lakukan. Kami ada di rumah Mirna, suami Mirna, Andre, sedang tidak berada di rumah, dia pergi tugas luar kota lagi. Sementara istri saya ada di rumah, saya punya banyak alasan kalau dia bertanya macam-macam.

"Mas Vito, aku kok kayaknya nggak pernah bosen ya 'ngewe' sama kamu.." kata Mirna.
"Lha, memangnya kalo sama Andre, bosen..? Kan dia suamimu," jawab saya agak gr.
"Bukannya gitu. Kalo sama Mas Andre gayanya itu-itu saja, dan lagi kontolnya Mas Andre kan nggak sebesar punya Mas Vito," jawab Mirna jujur sambil mengurut batang kemaluan saya yang kembali mengeras.
"Ndak boleh gitu lho Mir. Andre itu kan suamimu, dia baik lagi. Tapi, masa bodo lah, yang penting memek istrinya enak banget. Ya sudah 'ngentot' lagi yuk, mana toketmu, sini, aku mau 'nenen'..!"

Ketika kami mau mulai babak keempat, Vina, anak Mirna yang jadi sering melihat maminya di 'acak-acak', masuk ke kamar.
"Mi, masih main kuda-kudaan ya..? " tanyanya polos.
"Iya, baru mau main lagi, kenapa Vin..? kata Mirna.
"Vina mau bobo, tapi Vina takut, temenin Vina ya Mi, Om Vito main kuda-kudaanya di kamar Vina aja ya..!" pintanya penuh harap.
Ya sudah, akhirnya saya dan Mirna pindah arena ke kamarnya Vina. Sambil masih bertelanjang bulat, kami berusaha menina-bobokan Vina yang katanya tidak kangen sama papinya, dia malah menganggap saya papi kandungnya.

Baru sekitar 10 menit si Vina tertidur dan 3 menit si Mirna menghisap batang kemaluan saya, telephone di kamar Mirna berdering.
"Mas, aku ngangkat telephone dulu ya, kali aja dari Mas Andre." kata Mirna.
"Ya, jangan lama-lama.." jawab saya.

Setelah hampir 5 menit, Mirna balik lagi ke kamar dengan wajah bingung.
"Mas, adikku mau kesini. Dia sudah ada di depan komplek. Gimana nih..?" kata Mirna.
"Siapa..? Si Rere..? Dia bareng suaminya nggak..?" tanya saya berusaha tidak panik.
"Nggak sih, kan dia lagi pisah ranjang sama Gery. Sudah 4 bulan ini." jawab Mirna.
"Ya sudah, kalo dia kesini, ndak apa-apa. Bilang aja aku lagi nemenin kalian. Apa susahnya sih?"

Tidak lama kemudian Rere datang. Dia adalah wanita cantik berusia sekitar 25 tahun, dengan ukuran dada sekitar 34B (hampir sama dengan kakaknya), kulit putih bersih dan hidung yang bangir. Malam itu dia mengenakan 'Tank Top' warna biru ditutup dengan Cardigan hitam dan celana Capri (ketat, sedengkul) warna putih.

"Malam Mbak, Eh.., ada siapa nih..?" kata Rere.
"Ini Mas Vito, tetanggaku. Dia datang kesini mau nemuin Mas Andre, tapi nggak ketemu." Mirna menjawab.
"O iya, kenalin Mas, ini adikku, Rere. Re, ini namanya Mas Vito."
"Rere," katanya sambil bersalaman dengan saya.
"Vito," jawab saya.
"Kamu kenapa kesini..?" kata Mirna, "Tumben-tumbenan, mana malem-malem lagi. Kamu nggak takut apa? Daerah sini rawan pemerkosaan lho..!"

Si Rere menjawab sambil melepas Cardigan-nya dan memamerkan keindahan buah dadanya, yang dapat membuat laki-laki sesak nafas itu, katanya, "Ngapain takut, kalo diperkosa malah seneng. Aku sudah hampir 5 bulan lho Mbak, nggak 'gituan'..!"
"Kamu ini kalo ngomong sembarangan," kata Mirna sambil melirikku, "Kasian Mas Vito tuh, lagi tanggung, nanti dia ngocok disini lagi."
"Tanggung..? Emangnya kalian lagi ngapain..? Wah, macem-macem nih kayaknya..!" tanya Rere penasaran.
Si Mirna menjawab, "Kenapa emangnya..? Mau ikut nimbrung..? Suntikannya Mas Vito besar lho..!"

Saya dari tadi hanya diam dan tersenyum mendengar 'adik' saya dibicarakan dua wanita cantik.
Lalu saya angkat bicara, "Kamu ini ngomong apa sih Mir..? Emangnya kamu sudah pernah liat burungku apa..?" kata saya menggoda.
"Iya nih, Mbak Mirna. Emang udah pernah liat..?" kata Rere.
"Wah, jangan macam-macam deh Mas, mendingan kita lanjutin pertandingan tadi. Kamu mau ikutan nggak Re..?" ajak Mirna sambil kembali melepas dasternya dan melucuti celana pendek saya.
Melihat hal ini, Rere memekik pelan, "Wah, itu kontol..? Gede banget, boleh nyobain ya Mas..?"
"Ya sudah, kamu hisap-hisap ya Re..!" kata saya, "Nah, Mir kesinikan memekmu biar kujilatin..!"

Lalu kami bertiga bermain dengan riang gembira. Saya duduk di sofa, sementara Rere jongkok dan sibuk dengan batang kemaluan saya. Mirna berdiri menghadap saya sambil mengarahkan kepala saya ke liang vaginanya dan menjilatinya sampai kelojotan. Saya tidak sadar waktu Mirna agak bergeser, ternyata Rere sudah tidak mengenakan apa-apa lagi, polos, telanjang bulat dan berusaha menjepit penis saya dengan kedua buah dadanya yang ternyata memang besar dan membuat gerakan naik turun.
"Ya, terus Re, enak banget..!" kata saya, sementara Mirna sudah duduk di sebelah kiri saya sambil mengulum bibir saya.
"Mas Vito, aku mau masukin ke memek ya..!" pinta Rere penuh harap.

Ketika melihat dan mengamati kemaluan Rere, saya agak kaget. Selain botak, vagina Rere juga masih terlihat sempit. Dalam hati saya berpikir, ini kakak beradik punya kemaluan kok ya sama. Lalu Rere membelakangi saya dan memasukkan batang kemaluan saya ke dalam vaginanya yang sempit itu dengan perlahan-lahan. Mirna yang juga sedikit terengah-engah memasukkan jari saya ke dalam liang kemaluannya yang mulai basah.

Rere benar-benar memperlakukan batang kemaluan saya dengan baik. Gerakan maju mundurnya sangat hebat dan terkadang dikombinasi dengan gerakan berputar. Menyikapi hal ini, saya lalu mengangkat badan Rere dan saya balikkan, hingga kami beradu pandang, dengan posisi penis saya tetap di dalam vaginanya yang keset-keset basah. Rere ternyata sangat ahli dengan posisi duduk, dia terus naik turun berusaha mengimbangi hujaman-hujaman penis saya yang makin lama makin dalam menembus pertahanan liang vaginanya.

Setelah hampir 10 menit, Rere berkata, "Mas aku keluar..!"
Tapi herannya dia masih saja menggoyang pantatnya. Sementara itu, Mirna ada di belakang Rere sambil memeluk dan meremas buah dada Rere.

3 menit kemudian, giliran saya yang bilang, "Re, aku mau keluar nih, di dalam apa di luar..?"
"Di luar saja Mas, aku mau minum pejunya," jawab Rere semangat.
"Re, cepat lepas..!" kata saya sambil mengocok batang kemaluan saya dengan cepat dan mengarahkannya ke mulut Rere yang sekarang sudah jongkok di bawah saya.
Ternyata benar, mulut Rere tidak hanya menampung sperma saya yang banyak, tapi juga benar-benar berkumur dan menelannya.

Melihat hal itu, Mirna yang vaginanya tidak aktif, langsung mendekati batang kemaluan saya dan mengulumnya lagi.
Saya yang sudah banjir keringat langsung berkata kepada Mirna, "Mir, yang bersih ya, saya istirahat dulu sebentar."
Sambil Mirna terus disibukkan dengan pekerjaannya, saya menyuruh Rere mendekat dan langsung mengulum bibirnya yang tipis dan beraroma sperma.

Tidak lama kemudian, batang kemaluan saya mulai menegang lagi. Mengetahui perbuatannya berhasil, Mirna dengan tindakan super cepat menarik saya ke lantai dan menyuruh saya telentang. Mirna dengan cepat juga langsung menduduki penis saya dan menjepitnya dengan kemaluannya. Dengan posisi seperti itu, tangan saya diberi kesempatan untuk meremas payudara Mirna dan memainkan putingnya yang agak kecoklatan.

Setelah hampir 10 menit mengerjai batang kemaluan saya, gerakan Mirna mulai agak mengendur. Saya tahu, dia sudah orgasme. Melihat hal ini, saya membalikkan badan Mirna, dan sekarang dia yang telentang. Kedua kaki Mirna yang putih itu saya buka lebar-lebar sambil menusuk vaginanya dengan gerakan yang amat cepat dan teratur. Erangan dan desahan Mirna sudah tidak saya dengarkan sama sekali.

Sekitar 3 menit kemudian, saya sudah tidak dapat menahankannya lagi. Dengan posisi penis masih di dalam vagina Mirna, saya menyemprotkan cairan sperma saya untuk yang kedua kalinya malam ini. Liang senggama Mirna yang saya perhatikan beberapa hari ini sudah agak melebar, tidak kuat menampung cairan sperma saya yang kental dan banyak. Melihat hal itu, Rere langsung menjilati vagina kakaknya berusaha mendapatkan air mani lagi sambil tangannya mengocok penis saya.

Vina yang sudah tidur rupanya terbangun karena berisik.
"Mami, aku nggak bisa tidur, itu ada siapa..?"
"Eh Vina, ini Tante Rere. Kok kamu nggak tidur..?" tanya Rere sambil menyuruh Vina mendekat.
"Nggak bisa tidur Tante. Mami kenapa..? Kok kakinya terbuka, Mami sakit lagi ya..?" tanya Vina polos.
"Mami nggak sakit. Justru Mami malah sehat, kan Mami habis Om suntik, nanti sebentar lagi juga bangun." jelas saya.

"Kok Tante Rere telanjang juga? Habis disuntik juga ya sama Om Vito?"
"Iya, soalnya Tante lagi sakit memeknya jadi disuntik." kata Rere sambil mengelus vaginanya sendiri.
"Memek apa sih Tan..?" tanya Vina.
Sambil membersihkan kemaluan Mirna, saya berkata ke Vina, "Ini yang namanya memek Vin. Ini gunanya buat masukin jarum suntiknya Om Vito."
"Vina juga punya Om." kata Vina sambil menyingkap rok tidurnya.
"Iya, tapi punya Vina belom boleh disuntik. Nanti kalo sudah besar, boleh deh..!" kata Rere sambil tersenyum.

Selama seminggu Rere menginap di rumah Mirna, kami bertiga hampir tiap malam mengadakan acara begituan bersama. Vina yang selalu melihat aksi kami selalu tertawa kalau saya menyemprotkan sperma ke mulut mami dan tantenya.
"Ha.., ha.., ha.., Mami sama Tante Rere dipipisi Om Vito." katanya lucu.
Pernah sekali waktu, ketika istri saya sedang pergi, Rere main ke rumah dan minta disenggamai di lubang pantat. Karena menarik, saya lakukan saja dan ternyata itu enak sekali, seperti menjebol kemaluan perawan.
tumblr_lr7oeyNdT01qg50g9o1_500.jpg
Sekali waktu, pernah juga salah seorang teman kantor saya main ke rumah ketika dua kakak beradik itu kebetulan sedang ada di rumah saya. Karena tertarik dengan Mirna, teman saya itu mengajak Mirna main di atas meja makan saya. Saya dan Rere hanya diam dan tertawa melihat teman saya menghajar kemaluan Mirna sampai Mirna mengalami multi orgasme.


Hampir lama kami tidak bercengkrama mesra. Paling-paling pulang kantor kami janjian di mal atau di suatu restaurant untuk makan. Atau kalau Papi (suamiku) nggak ada, dia datang mampir menjemputku. Kami tinggal nyaris satu kompleks di daerah Purwomartani Sleman, di kompleks yang memiliki pengamanan yang cukup baik.

12 Maret 2004

Walau Papi pergi untuk 4 s/d 7 hari, tidak tiap hari aku dijemputnya di rumah, kadang dia berangkat duluan pagi-pagi atau paling banter kami konvoy. Dan dia paling suka mengemudi di belakang mobil Papi. Katanya,"Secara psikologis lebih enak mengejarmu dari belakang jadi ada motivasi nih.."

Kemarin siang dia bilang kalau istrinya telpon, tidak bisa pulang, sehingga dia diminta datang ke Semarang. Ibu adalah manager personalia di sebuah bank, sementara GM-ku sebelum ke Yogya adalah GM di Semarang. Wah dia regret. Soalnya hotel lagi penuh. Jadilah mereka tidak bertemu akhir pekan itu. Dia langsung mengajakku,

"Mami.. Yuk kita main!?" ujarnya mengingat malam berikutnya Papi akan pulang.
"Di tempatmu aja ya?" aku mengangguk setuju.

Jadi malam itu aku masih di hotel. Maklum besok Sabtu, cuma sampai jam 12. Aku keasyikkan dengan notebookku, sampai tiba-tiba mendapat SMS dari GM menanyakan aku di mana. Dia sendiri baru pulang dari sebuah acara undangan dan kelihatan lelah sekali. Belum sempat menjawab SMSnya dia sudah berdiri di pintu kantorku. Sosok gagah tinggi besar 185 cm dan agak kekar diusianya ke 42 berdiri dengan senyum khasnya dan..

"Eeehh. Belum pulang?" sapanya mesra
".. Khan nungguin Papa," sahutku sekenanya langsung log-off dari 17Tahun.
"Ayo deh. Aku kawal di belakang.." jawabnya seperti biasa"In five minutes. Okay?"
"Yes sir" jawabku dan langsung aku 'rusuh' melipat notebookku dan seterusnya.

13 Maret 2004

Pagi hari dia SMS kalau akan mampir menjemputku. Hari itu aku sengaja berbusana kesukaannya blus berkerah shanghai biru muda satin dengan kancing-kancing putih yang berbaris rapih dan lurus dari leher ke bawah. Kupilih rok abu-abuku. Dan sepatu pemberiannya padaku, haknya tidak terlalu tinggi karena untuk dipakai kerja. Ketika Grand Corollanya berhenti di depan rumahku. Aku segera keluar dan mengunci rumah dari luar.

"Suit, shiuu.. Waduh waduh my honey cantiknya.. dari atas sampai bawah.." sapanya kagum.
"Idiih Papa, ini khan semua Papa yang beliin khan," jawabku manja sambil masuk ke dalam mobilnya.

Hari itu kami sibuk masing-masing. Tiba di rumahku. Aku bikinkan Papa, Nescafe kesukaannya lalu aku gorengkan pisang goreng kesukaannya. Belum sempat kami berganti baju. Bahkan masih bersepatu. Kami duduk nonton DVD, di lantai di atas bantal besar dan di peluknya dari belakang. Hangat.. Sampai kira-kira jam 18.30, kemudian aku beranjak hendak membuatkan makan malam. Diikutinya aku ke dapur.. tahu-tahu Papa melilitkan tali temalinya dengan tali pramuka yang warna putih, ke payudaraku. Mulai atas dan bawah. 4-5 kali lilitan.

"Paa. Sabar dulu, khan mau masak nih.."
"Biar Papa yang masakin buat Mami juga yaa," lembutnya dia berbisik hingga telingaku mulai terasa geli, sambil sementara dia simpulkan ikatan di tubuhku kemudian menarik kedua pergelangan tanganku kebelakang, menekuknya agak ke atas lalu disambungkan dengan tali yang sudah mengikat di dada dan lengkaplah tanganku terikat erat oleh Papa.

Dibiarkannya aku berdiri sambil menyaksikan Papa yang sedang menyalakan kompor. Menuangkan minyak. Kemudian membuat campuran bumbu, menyiapkan nasi yang sudah ada lalu dituangkan semua ke dalam wajan.

"Nasi Goreng ya Paa.??"
"Betul Mami. sudah lapar khan?" aku hanya tersenyum sambil menunggui Papa masak dengan tangan terikat di punggung.
"Kklikk.!" Papa mengambil gambar dengan Nokia 3650 satu kali, dengan Nokia 6600nya sekali.
"Ah. Paapaa." sergahku malu di photo dalam keadaan terikat.
"Mami tunggu dulu di ruang makan deh" Aku beranjak tinggalkan dia (memang kakiku tidak diikat) dan berjalanlah aku dengan tangan terikat. Menuju ruang makan.

Papa segera menyelesaikan masaknya. Membersihkan dapur rumahku, tidak lama dia mengajakku masuk ke dalam kamar. Kami duduk di ranjang. Lalu sendok demi sendok aku disuapinya sambil sesekali di sela dengan tawa candanya serta ciumannya yang hangat dikeningku. Di biarkannya aku di ranjang usai makan. Namun kakiku yang masih bersepatu dia ikatkan jadi satu mulai atas lututku. Lalu ada lagi ikatan di pergelangan kakiku.

"Sebentar ya sayang. Nikmati dulu kesendirianmu. Nanti kalau sudah beres di dapur, pasti Papa segera memelukmu," sambil menghidupkan AC di kamarku. Tinggallah aku sendirian di kamarku. Dengan tangan dan kaki terikat erat dalam kemesraan dan rasa ketergantungan yang tinggi dalam ketidak berdayaan kepada Papa yang mengikatku. Berusaha aku mengatur dudukku. Kemudian merebahkan kepalaku pada bantal serta mengatur posisi tubuhku enggak memiring ke kanan, agar tanganku yang terikat kebelakang tidak perlu tertimpa oleh tubuhku. Karena itu akan membuat tangan ini cepat kaku atau kesemutan.. Saking lelahnya badan ini maka akupun akhirnya terlelap..

Sesaat aku terjaga. Aku menoleh kesebelahku. Ternyata Papa tertidur di sisiku. Bertelanjang dada hanya memakai celana pendek tertidur dengan tangan yang memeluki diriku.

"Paa..?" Aku berusaha menyapanya tapi yang terdengar ditelingaku adalah, "Mmphh?" oh.. rupanya Papa telah menyumbat mulutku dengan lakban peraknya.

"Papaa.. Papa.." dalam hatiku menyadari mulut tersumbat yang menumbuhkan rangsangan sendiri serta ketergantungan padanya, "cepat-cepatlah bangun. Biar aku nggak 'terlantar' begini Pa"

Aku terlena dan kembali terlelap saat aku sadari rupanya Papa sudah terbangun sedang membelai-belai aku. Kemudian dengan 'ganas'nya Papa mulai menciumi leherku, telingaku wah pokoknya seluruh wajahku tidak ada yang luput dari ciumannya. Diiringi desah suara dan emosi jiwanya yang meluncurkan kata,
"Yamo.. (ti amo = cinta) Mami.. Ahh.." berulang-ulang saat dirinya menciumiku habis.
"Mami.. Mmm Maammii.!" desahnya sambil membuka kancing blus shanghaiku pemberiannya saat ulang tahunku dari bawah lalu ke atas dan menyibaknya pelan-pelan supaya tidak rusak. Dengan cekatan dia lepaskan kancing braku yang ada di depan lalu diremas-remas payudaraku dengan lembut, lambat laun lebih kencang. Puting susuku dimainkan dengan lidahnya, diisap-isap mesra.

"Mmh.. Mmmh..!" desahku nikmat dan tenggelam dalam kehangatan dan rasa sayang Papa hingga rasanya aku melayang dengan rangsangannya yang membuat aku semakin dekat dengan orgasme saking sekian lamanya tidak merasakan kehangatan laki-laki, karena seringnya ditinggal suamiku terbang.

Papa kemudian menjelajahi tubuhku dengan ciuman dan lidahnya hingga keujung kakiku yang masih dia biarkan bersepatu model tali melintang di pergelangan, yang dia sebut 'sepatu sexy' itu sementara naluri birahiku semakin meninggi dan kelihatannya Papa tahu gelagatku. Masih di ujung pergelangan kaki, Papa membuka tali-tali yang menyatukan kedua kakiku yang masih terikat pada pergelangan, ditariknya dengan mesra celana dalamku hingga lepas dari kakiku, kemudian mengikatkan kedua kakiku ke ujung kiri dan kanan tempat tidurku. Tidak dilepasnya rok abu-abuku olehnya hanya diangkat hingga pinggang dan kembali ujung lidahnya bermain dari lutut hingga selangkangan, serta merta rangsangannya yang kuat dan oh. Nikmatnya! Membuat vaginaku mulai basah.. Tanpa malu-malu Papa yang seakan tahu kebutuhanku detik itu melepas celananya, dan terlihat penisnya yang sudah sangat menegang itu. Tubuh Papa yang lumayan kekar itu mulai menghimpit tubuhku yang tak berdaya dalam puncak kenikmatan.. "Ccrreett.." lakban peraknya yang menyumbat mulutku dilepasnya,
"Auuwww.!!" teriakku manja lalu Papa mencumbui bibirku, mengulum dengan lidahnya yang menjelajah di dalam mulutku.
"Aaarrgghh.. Papaa.. Jantanku..!" tanpa sadar aku bersuara nikmat saat vaginaku menyambut penis Papa.

Bergoyang keluar masuk dengan kerasnya memberikan kenikmatan yang tidak dapat aku lukiskan dengan kata-kata. Mas. Aku memang dalam keadaan terikat erat tak berdaya. Oleh kebanyakan wanita mungkin dirasakan sebagai penderitaan, namun bagiku, ini adalah 'penderitaan yang sangat nikmat'

"Aaawwhh.." kurasakan cairan menyembur deras di vaginaku.

Papa sudah sampai pada ejakulasi dan telah memberi aku kenikmatan puncak. Memang dengan masalah penyakit kistaku yang belum dioperasi ini, aku tahu persis hubungan kami tidak meninggalkan resiko apa-apa. Maka meluncur deraslah cairan sperma Papa memenuhi vaginaku..
"Aaarrgghh!" Kurasakan kenikmatan puncak dari seseorang yang aku cintai karena perhatiannya dan kehangatannya yang tiada tara. Sungguh aku lupa keadaanku kini, meski ku terikat erat, tali-tali yang mengikatku ini kurasakan sebagai sebuah pelukan yang sangat erat dari Papa, yang seolah enggan melepaskan diriku kembali ke pemilikku yang sesungguhnya.

Lelah kami bercengkrama, lalu akhirnya kami tertidur.. Beberapa jam kemudian

"Paa. Bukain dong tanganku. Saakiitt ni..!"
"Paa." aku berusaha berbisik di telinganya.

Keadaan tubuhku yang belum berubah. Masih terikat tanganku kebelakang. Mulutku sudah tidak di plester lagi namun kakiku masih terikat erat ke masing-masing sudut tempat tidurku

"Saayaang. Lepasin ikatanku dong. Mmhh mm aahh!" kucium mesra telinganya.
"Eeerrgghh..!" erang Papa berusaha bangun dari pulasnya.
"Paa." aku berbisik lagi di telinganya.
"Apa Mamii.!?" jawaban saja yang terdengar dan mata masih terpejam.
"Bukain dong. Kesemutan nich..!'
"Oohh..!" Papa akhirnya terbangun.

Duduk semenit. Lalu mulai melepaskan ikatan di tanganku. Kakiku. Tak lupa dia menciumku hangat sebelum semua ikatan ditubuhku dilepasnya. Jam menunjukkan pukul 4 pagi.. Papa kembali tertidur, sementara aku masih berbaring berpelukan di dada Papa yang bidang itu. Setengah jam kemudian aku bangun, langsung mandi keramas membersihkan sekujur tubuhku.. Sementara mandi aku perhatikan bekas ikatan di pergelangan tanganku.. Tersenyum sendiri..

Tahu tahu Papa masuk langsung memeluki aku dengan hangatnya.

"Eh Papa sudah bangun?" kemudian lagi-lagi tanganku diikatnya ke belakang dengan tali pakaian bathrobeku yang berbahan handuk. Lalu aku digosoki sabun. Shampoo.. Suatu rasa yang sangat sensual dalam sentuhan tangannya, aahh..!!

14 Maret 2004

Papa sudah berangkat kembali ke hotel sekitar jam 10, lalu rencana dia akan pergi ke Semarang untuk menemui istri dan anak-anaknya selama satu malam. Papi (suamiku) memang kembali hari ini semalam, transit dari Jakarta. Besok dia akan terbang ke Bali, langsung terbang ke Sydney dan Melbourne Australia. Mungkin dia akan tiba sekitar jam 7 malam dengan pesawat terakhir dari Jakarta.

Segera aku beranjak, oh.. sudah jam 1 siang. Tidak terasa setelah tadi malam. Hari berlalu cepat. Aku meluncur ke Alfa, rencananya memang mau isi stok lemari es ku dengan makanan biar nanti kalau Papi mau makan, stok tetap ada. Pikirku. Sempat aku melewati hotelku, hotel kami (dengan Papa) dari kejauhan aku lihat mobil Papa segera meluncur keluar..

"Miillaa..!" handphoneku berbunyi, itu adalah telpon Papa yang memang ringtonenya adalah suaranya memanggil..
"Hi honey.!" jawabku
"Mau kemana Mamii.!?" suara diseberang.
"Cuma ke Alfa aja kog. Belanja!"
"Aku pulang dulu ke Semarang yaa.."
"Uu.. uuhh!" ungkapku kesal dan manja.
"Kukembalikan dirimu pada pemiliknya hehe hee!" goda Papa.
"Ya sudah hati-hati di jalan ya sayang..!"
"Yamo.. (maksudnya Ti amo)" kataku.
"Miss u sweety. Mmuuaahh!"
"Mmuuahh Papaa..!" telponpun terputus.

Tibalah aku di parkiran Alfa Gudang Rabat. Segera aku masuk ke dalamnya dan larut dalam keramaian belanja. Saat aku mengendarai Suzuki Escudoku bergegas kembali ke rumah. Jam digital di mobilku menunjukkan 17.30. Hemmh.. Empat jam lagi Papi pulang. Pikirku. Keasyikkan belanja membuat aku lupa akan kejadian semalam.

"Toh semua sudah ku bersihkan.. Sprei sudah kukirim ke laundry. Dan aku telah mampir untuk mengambilnya.. Dan sprei baru sudah kupasang.. Hemm!" pikirku dalam perjalanan pulang. Memasuki pekarangan rumahku, kuparkirkan mobilku.. Lampu rumah dalam keadaan menyala.. Wah Papi sudah landing nih. Hatiku bersorak. Kumasuk ke dalam rumahku.

"Paapii.." riangku.
"Ehh Mami. Dari mana aja? Tadi Papi telpon nggak di angkat.."
"Ah masa..?" buru-buru aku keluarkan hapeku dari tasku.
"Oh. Aku dari Alfa tadi sama mampir laundry.. Sorry sayang, nggak kedengeran. Rame soalnya di Alfa" jawabku lalu mencumbunya.
"Kog cepat mendaratnya. Bilangnya kemarin last flight?" tanyaku.
"Last flight cancel. Jadi aku nebeng aja sama si Tomo, pas dia bawa Boeing 737 jadi banyak seat," jelas Papi yang dari wajahnya terlihat letih.
"Ya sudah. sudah lapar khan. Aku masakin dulu yaa!"
"He eh deh!" Papi assyik memasang DVD terbarunya.

Hariku dengan Papi berlangsung biasa saja tetap dalam kemesraan. Aku nimbrung ikut nonton dvd dengannya sambil bersandar di perutnya yang besar dan empuk he.. he.. hee.. Menjelang malam tiba, aku tinggalkan Papi di ruang tengah karena ngantuk mau tidur.. Segera aku melepaskan bajuku berniat mengganti dengan dasterku, saat aku melepas BHku..
"Cccreett.. Cccreett.." belum sadar apa yang terjadi tanganku sudah terikat dengan lakban perak.
"Cccreett.." lalu mulutku diplester lakban yang sama.
"Mmmpphh.. Mmmpphh..!" protesku membutuhkan penjelasan Papi.. Dia mendorong tubuhku terduduk di ranjang kami lalu..
"Cccreett.. Cccreett.. Cccreett.." kakiku yang belum sempat melepaskan sepatunya sejak dari Alfa tadi sudah terikat jadi satu degan lakban perak itu..
"Wah sejak kapan Papi punya lakban itu??" tak habis aku bertanya.
"Dari mana barang begini?" tanya Papi menunjukkan lakban penemuannya.
"Siapa itu Pa.. Siapa Papa itu? Haahh?" tanya Papi lagi.
"Tadi kamu ketiduran.. Memanggil Papa.. Siapa itu?" (padahal mulutku diplesternya, bagaimana mau jawab??)
"Mmmpphh. Mmmpphh.!" mataku membelalak memprotes hak jawabku yang tersumbat ini.
"Cccreett.!!"
"Aaauuwwhh!!" sergahku kesakitan karena lakban dimulutku dibukanya dengan kasar!
"Papi. Lakban ini aku minta dari engineeringku untuk menempel dus baju yang sudah robek itu? Kenapa sih Papi ini??" aku menghardik balik..
"Siapa itu Papa..?" Papi seolah tidak menggubris jawabanku.

"Siapa mertuamu Papi??" aku nggak mau kalah, masih banyak akalku saat itu.
"Dia sempat menelponku dan memberi nasihat banyak disaat masa tuanya. Sebenarnya aku sedang mengingatnya." mataku berkaca-kaca.
"Terseraahh!!" Papi kesal dan masih emosi lalu kembali menyumbat mulutku dengan lakban dan meninggalkan aku di kamar kami, dikuncinya dari luar sementara dia mungkin tidur di depan televisi di penuhi rasa cemburunya yang tidak beralasan (padahal sebenarnya beralasan) cuma dia nggak punya bukti.

Tinggallah aku sendiri di kamarku, terkunci dari luar dan diriku terikat dengan lakban dalam keadaan telanjang seperti ini, hanya panty yang tersisa. Bingung aku. Memang aku bisa saja menikmati keberadaan ini, tapi untuk sendiri di sebuah ruangan. Terkunci. Tak ada ubahnya dengan penculikan di rumah sendiri. Ngerinya diri ini mengetahui terikat dalam kemarahan seseorang (meski suami sendiri).

Aku menyadari suatu hal, Papi, suamiku terdidik dalam keluarga yang mempunyai disiplin ketat. Bapaknya tidak segan menghukum dengan cambuk atau mengikatnya ke pohon atau kursi saat suamiku waktu itu ketahuan mencuri uang belanja untuk pergi main game. Hemh inikah caranya. Dia marah sama aku lalu aku langsung diikatnya. Belum pernah aku diperlakukan begini sejak hampir 4 tahun kami menikah. Aku lihat Papi ada potensi untuk mengerti 'kebutuhanku' cuma entah bagaimana cara untuk bisa membuatnya tahu kalau aku sebenarnya senang dengan ke'terikat'an dalam arti sesungguhnya. Hanya tidak senang sama sekali dengan keadaan sekarang, diikat sendirian dan dikurung di kamar terkunci dari luar.

Berusaha aku mengendalikan tubuhku yang terikat (atau terpaket) seperti ini serta merta mencari posisi agar tubuhku bisa naik semua ke tempat tidur sambil berharap lakban yang mengikatku bisa terlepas dengan sendirinya. Oh ternyata erat juga si Papi mengikat dan menghukumku seperti ini. Dan karena sebenarnya sudah sangat mengantuk, akupun akhirnya tertidur dalam keadaan yang serupa dengan malam sebelumnya, namun dengan rasa khawatir yang mencekam.. Takut juga kalau tiba-tiba Papi pergi membiarkan aku di rumah sendiri, di kamar terkunci, dan terikat dengan mulut diplester lakban.. Zzz!

Malam semakin larut. Aku melihat jam di sisi tempat tidurku menunjukkan pukul 3.00 pagi. Sejenak aku tersadar, keadaanku masih seperti tadi, tanganku terikat oleh lakban kebelakang, dengan kaki yang masih bersepatu, terikat erat menyatu dan mulut yang tersumbat lakban. Aku masih tertidur sendiri di ranjang pengantin kami, pelan-pelan aku berusaha bisa melepaskan diriku dari ikatan-ikatan yang membelengguku.
"Mmmpphh." basah air liurku kelihatannya bisa membantuku melepaskan mulutku. Demikian peluh di tubuhku diharapkan bisa mengendurkan daya rekat lakban yang hebat ini. Di kamar yang agak panas hawanya karena AC-nya lupa dinyalakan.

Malam yang penuh perjuangan ini belum berpihak padaku sehingga saking capainya meronta-ronta melepas belenggu ini, aku tertidur.

15 Maret 2004

Rasanya sudah jam 5 pagi. Agak ribut di kamar. Oh rupanya Papi baru habis mandi dan tengah berpakaian. Dapat kulihat amarah yang tidak mendasar itu masih menyelimutinya. Akupun pura-pura tetap tertidur. Berharap dia melepaskan ikatanku. Namun rupanya cuma mimpi. Papi yang pagi ini melayani pesawat pertama dari Yogya ke Bali kemudian 5 jam setelah itu terbang ke Sydney dan Melbourne hanya melemparkan gunting di bagian lain tempat tidurku kemudian meninggalkan rumah kami ini di mana istrinya terikat, tersekap sendirian..

Serta merta kugulingkan badanku gulingkan mendekati gunting itu. Memutar tubuhku dalam ketidak berdayaan. Hingga dapat!!

"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson mobil yang kukenal.
"Oh. Papa??" pikirku. Sukacita di hati ini.

Aku berusaha berdiri. Berusaha berjalan, meski langkahku hanya 10 cm menuju cermin besar yang 2 meter dari ranjangku. Tanganku yang terikat lakban kebelakang menggengam gunting. Aku berhasil sampai di depan cermin dengan selamat, tidak jatuh! Kemudian aku berusaha menggunting lakban itu, sambil menoleh ke cermin namun takut juga melukai tanganku.

"Tiitt.. Tiitt.." bunyi klakson Great Corolla Papa bunyi lagi.

Segera aku berusaha dulu melepas mulutku dengan menggerak-gerakkan bibir bawah dan bibir atasku dengan tenaga dari daguku.

"Paapaa..!" Oh aku bisa kembali bersuara. Lakban itu hanya menempel di bibir atasku.
"Klek.. Klek..!" pintu rumah terbuka.
"Hey Mami. Ada apa dengan kamu sayang?" Papa masuk, terkejut habis melihat keberadaanku, terikat nyaris telanjang semua. Mulut masih berkumis lakban.

"Papaa.." isak tangisku dan jatuh dalam pelukannya.

Papa menggendongku duduk di ranjang kemudian buru-buru melepas lakban dimulutku dengan tuntas, kemudian menggunting lakban di tanganku serta melepas rekatannya dengan pelan dan lembut. Aku langsung memeluknya, padahal Papa mau buka ikatan (rekatan) di kaki ini.


Cerita Seks Seru Kampus Terbaru bahagian 1

by Cerita Sex on 01:30 PM, 04-Jan-12

tumblr_lwtplcvU641r8iepso1_500.jpg

Lagi foto ceweknya di http://cewek.mobi

Pengalamanku yang satu ini terjadi ketika masih kuliah semester empat, kira-kira empat tahun yang lalu. Waktu itu aku harus mengambil sebuah mata kuliah umum yang belum kuambil, yaitu kewiraan. Kebetulan waktu itu aku kebagian kelas dengan fakultas sipil, agak jauh dari gedung fakultasku, di sana mahasiswanya mayoritas cowok pribumi, ceweknya cuma enam orang termasuk aku. Tak heran aku sering menjadi pusat perhatian cowok-cowok di sana, beberapa bahkan sering curi-curi pandang mengintip tubuhku kalau aku sedang memakai pakaian yang menggoda, aku sih sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan liar seperti ini, terlebih lagi aku juga cenderung eksibisionis, jadi aku sih cuek-cuek aja.

Hari itu mata kuliah yang bersangkutan ada kuliah tambahan karena dosennya beberapa kali tidak masuk akibat sibuk dengan kuliah S3-nya. Kuliah diadakan pada jam lima sore. Seperti biasa kalau kuliah tambahan pada jam-jam seperti ini waktunya lebih cepat, satu jam saja sudah bubar. Namun bagaimanapun saat itu langit sudah gelap hingga di kampus hampir tidak ada lagi mahasiswa yang nongkrong.

Keluar dari kelas aku terlebih dulu ke toilet yang hanya berjarak empat ruangan dari kelas ini untuk buang air kecil sejenak, serem juga nih sendirian di WC kampus malam-malam begini, tapi aku segera menepis segala bayangan menakutkan itu. Setelah cuci tangan aku buru-buru keluar menuju lift (di tingkat lima). Ketika menunggu lift aku terkejut karena ada yang menyapa dari belakang. Ternyata mereka adalah tiga orang mahasiswa yang juga sekelas denganku tadi, yang tadi menyapaku aku tahu orangnya karena pernah duduk di sebelahku dan mengobrol sewaktu kuliah, namanya Adi, tubuhnya kurus tinggi dan berambut jabrik, mukanya jauh dari tampan dengan bibir tebal dan mata besar. Sedangkan yang dua lagi aku tidak ingat namanya, cuma tahu tampang, belakangan aku tahu yang rambutnya gondrong dikuncir itu namanya Syaiful dan satunya lagi yang mukanya mirip Arab itu namanya Rois, tubuhnya lebih berisi dan kekar dibandingkan Adi dan Syaiful yang lebih mirip pemakai narkoba.

"Kok baru turun sekarang Ci?" sapa Adi berbasa-basi.
"Abis dari WC, lu orang juga ngapain dulu?" jawabku.
"Biasalah, ngerokok dulu bentar" jawabnya.

Lift terbuka dan kami masuk bersama, mereka berdiri mengelilingiku seperti mengepungku hingga jantungku jadi deg-degan merasakan mata mereka memperhatikan tubuhku yang terbungkus rok putih dari bahan katun yang menggantung di atas lutut serta kaos pink dengan aksen putih tanpa lengan. Walau demikian, terus terang gairahku terpicu juga dengan suasana di ruangan kecil dan dengan dikelilingi para pria seperti ini hingga rasa panas mulai menjalari tubuhku.

"Langsung pulang Ci?" tanya Syaiful yang berdiri di sebelah kiriku.
"Hemm" jawabku singkat dengan anggukan kepala.
"Jadi udah gak ada kegiatan apa-apa lagi dong setelah ini?" si Adi menimpali.
"Ya gitulah, paling nonton di rumah" jawabku lagi.
"Wah kebetulan.. Kalo gitu lu ada waktu sebentar buat kita dong!" sahut Syaiful.
"Eh.. Buat apa?" tanyaku lagi.

Sebelum ada jawaban, aku telah dikagetkan oleh sepasang tangan yang memelukku dari belakang dan seperti sudah diberi aba-aba, Rois yang berdiri dekat tombol lift menekan sebuah tombol sehingga lift yang sedang menuju tingkat dua itu terhenti. Tas jinjingku sampai terlepas dari tanganku karena terkejut.

"Heh.. Ngapain lu orang?" ujarku panik dengan sedikit rontaan.
"Hehehe.. Ayolah Ci, having fun dikit kenapa? Stress kan, kuliah seharian gini!" ucap Adi yang mendekapku dengan nafas menderu.
"Iya Ci, di sipil kan gersang cewek nih, jarang ada cewek kaya lo gini, lu bantu hibur kita dong" timpal Rois.

Srr.. Sesosok tangan menggerayang masuk ke dalam rok miniku. Aku tersentak ketika tangan itu menjamah pangkal pahaku lalu mulai menggosok-gosoknya dari luar.

"Eengghh.. Kurang ajar!" ujarku lemah. Aku sendiri sebenarnya menginginkannya, namun aku tetap berpura-pura jual mahal untuk menaikkan derajatku di depan mereka.

Mereka menyeringai mesum menikmati ekpresi wajahku yang telah terangsang. Rambutku yang dikuncir memudahkan Adi menciumi leher, telinga dan tengkukku dengan ganas sehingga birahiku naik dengan cepat. Rois yang tadinya cuma meremasi dadaku dari luar kini mulai menyingkap kaosku lalu cup bra-ku yang kanan dia turunkan, maka menyembullah payudara kananku yang nampak lebih mencuat karena masih disangga bra. Diletakkannya telapak tangannya di sana dan meremasnya pelan, kemudian kepalanya mulai merunduk dan lidahnya kurasakan menyentuh putingku.

Sambil menyusu, tangannya aktif mengelusi paha mulusku. Tanpa kusadari, celana dalamku kini telah merosot hingga ke lutut, pantat dan kemaluanku terbuka sudah. Jari-jari Syaiful sudah memasuki vaginaku dan menggelitik bagian dalamnya. Tubuhku menggelinjang dan mendesah saat jarinya menemukan klitorisku dan menggesek-gesekkan jarinya pada daging kecil itu.

Aku merasakan sensasi geli yang luar biasa sehingga pahaku merapat mengapit tangan Syaiful. Rasa geli itu juga kurasakan pada telingaku yang sedang dijilati Adi, hembusan nafasnya membuat bulu kudukku merinding. Tangannya menjalar ke dadaku dan mengeluarkan payudaraku yang satu lagi. Diremasinya payudara itu dan putingnya dipilin-pilin, kadang dipencet atau digesek-gesekkan dengan jarinya hingga menyebabkan benda itu semakin membengkak. Tubuhku serasa lemas tak berdaya, pasrah membiarkan mereka menjarah tubuhku.

Melihatku semakin pasrah, mereka semakin menjadi-jadi. Kini Rois memagut bibirku, bibir tebal itu menyedot-nyedot bibirku yang mungil, lidahnya masuk ke mulutku dan menjilati rongga di dalamnya, kubalas dengan menggerakkan lidahku sehingga lidah kami saling jilat, saling hisap, sementara tangannya sudah meremas bongkahan pantatku, kadang jari-jarinya menekan anusku. Tonjolan keras di balik celana Adi terasa menekan pantatku. Secara refleks aku menggerakkan tanganku ke belakang dan meraba-raba tonjolan yang masih terbungkus celana itu.

Payudara kananku yang sudah ditinggalkan Rois jadi basah dan meninggalkan bekas gigitan kini beralih ke tangan Adi, dia kelihatan senang sekali memainkan putingku yang sensitif, setiap kali dia pencet benda itu dengan agak keras tubuhku menggelinjang disertai desahan. Si Syaiful malah sudah membuka celananya dan mengeluarkan penisnya yang sudah tegang. Masih sambil berciuman, kugerakkan mataku memperhatikan miliknya yang panjang dan berwarna gelap tapi diameternya tidak besar, ya sesuailah dengan badannya yang kerempeng itu.

Diraihnya tanganku yang sedang meraba selangkangan Adi ke penisnya, kugenggam benda itu dan kurasakan getarannya, satu genggamanku tidak cukup menyelubungi benda itu, jadi ukurannya kira-kira dua genggaman tanganku.

"Ini aja Ci, burung gua kedinginan nih, tolong hangatin dong!" pintanya.
"Ahh.. Eemmhh!" desahku sambil mengambil udara begitu Rois melepas cumbuannya.
"Gua juga mau dong, udah gak tahan nih!" ujar Rois sambil membuka celananya.

Wow, sepertinya dia memang ada darah Arab, soalnya ukurannya bisa dibilang menakjubkan, panjang sih tidak beda jauh dari Syaiful tapi yang ini lebih berurat dan lebar, dengan ujungnya yang disunat hingga menyerupai helm tentara. Jantungku jadi tambah berdegup membayangkan akan ditusuk olehnya, berani taruhan punya si Adi juga pasti kalah darinya.

Adi melepaskan dekapannya padaku untuk membuka celana, saat itu Rois menekan bahuku dan memintaku berlutut. Aku pun berlutut karena kakiku memang sudah lemas, kedua penis tersebut bagaikan pistol yang ditodongkan padaku, tidak.. bukan dua, sekarang malah tiga, karena Adi juga sudah mengeluarkan miliknya. Benar kan, milik Rois memang paling besar di antara ketiganya, disusul Adi yang lebih berisi daripada Syaiful. Mereka bertiga berdiri mengelilingiku dengan senjata yang mengarah ke wajahku.

"Ayo Ci, jilat, siapa dulu yang mau lu servis"
"Yang gua aja dulu Ci, dijamin gue banget!"
"Ini aja dulu Ci, gua punya lebih gede, pasti puas deh!"

Demikian mereka saling menawarkan penisnya untuk mendapat servis dariku seperti sedang kampanye saja, mereka menepuk-nepuk miliknya pada wajah, hidung, dan bibirku sampai aku kewalahan menentukan pilihan.

"Aduh.. Iya-iya sabar dong, semua pasti kebagian.. Kalo gini terus gua juga bingung dong!" kataku sewot sambil menepis senjata mereka dari mukaku.
"Wah.. Marah nih, ya udah kita biarin Citra yang milih aja, demokratis kan?" kata Syaiful.

Setelah kutimbang-timbang, tangan kiriku meraih penis Syaiful dan yang kanan meraih milik Rois lalu memasukkannya pelan-pelan ke mulut.

"Weh.. Sialan lu, gua cuma kebagian tangannya aja!" gerutu Syaiful pada Rois yang hanya ditanggapinya dengan nyengir tanda kemenangan.
"Wah gua kok gak diservis Ci, gimana sih!" Adi protes karena merasa diabaikan olehku.

Sebenarnya bukan mengabaikan, tapi aku harus memakai tangan kananku untuk menuntun penis Rois ke mulutku, setelah itu barulah kugerakkan tanganku meraih penis Adi untuk menenangkannya. Kini tiga penis kukocok sekaligus, dua dengan tangan, satu dengan mulut.

Lima belas menit lewat sudah, aku ganti mengoral Adi dan Rois kini menerima tanganku. Tak lama kemudian, Syaiful yang ingin mendapat kenikmatan lebih dalam melepaskan kocokanku dan pindah berlutut di belakangku. Kaitan bra-ku dibukanya sehingga bra tanpa tali pundak itu terlepas, begitu juga celana dalam hitamku yang masih tersangkut di kaki ditariknya lepas. Lima menit kemudian tangannya menggerayangi payudara dan vaginaku sambil menjilati leherku dengan lidahnya yang panas dan kasar. Pantatku dia angkat sedikit sampai agak menungging.

Kemudian aku menggeliat ketika kurasakan hangat pada liang vaginaku. Penis Syaiful telah menyentuh vaginaku yang basah, dia tidak memasukkan semuanya, cuma sebagian dari kepalanya saja yang digeseknya pada bibir vaginaku sehingga menimbulkan sensasi geli saat kepalanya menyentuh klitorisku.

"Uhh.. Nakal yah lu!" kataku sambil menengok ke belakang.
"Aahh..!" jeritku kecil karena selesai berkata demikian Syaiful mendorong pinggulnya ke depan sampai penis itu amblas dalam vaginaku.

Dengan tangan mencengkeram payudaraku, dia mulai menggenjot tubuhku, penisnya bergesekan dengan dinding vaginaku yang bergerinjal-gerinjal. Aku tidak bisa tidak mengerang setiap kali dia menyodokku.

"Hei Ci, yang gua jangan ditinggalin nih" sahut Adi seraya menjejalkan penisnya ke mulutku sekaligus meredam eranganku.

Aku semakin bersemangat mengoral penis Adi sambil menikmati sodokan-sodokan Syaiful, penis itu kuhisap kuat, sesekali lidahku menjilati 'helm'nya. Jurusku ini membuat Adi blingsatan tak karuan sampai dia menekan-nekan kepalaku ke selangkangannya. Kocokanku terhadap Rois juga semakin dahsyat hingga desahan ketiga pria ini memenuhi ruangan lift.

Teknik oralku dengan cepat mengirim Adi ke puncak, penisnya seperti membengkak dan berdenyut-denyut, dia mengerang dan meremas rambutku..

"Oohh.. Anjing.. Ngecret nih gua!!"

Muncratlah cairan kental itu di mulutku yang langsung kujilati dengan rakusnya. Keluarnya banyak sekali sehingga aku harus buru-buru menelannya agar tidak tumpah. Setelah lepas dari mulutku pun aku masih menjilati sisa sperma pada batangnya. Rois memintaku agar menurunkan frekuensi kocokanku.

"Gak usah buru-buru.." demikian katanya.



Cerita Seks Seru Kampus Terbaru bahagian 2

by Cerita Sex on 01:27 PM, 04-Jan-12

"Cepetan Ful, kita juga mau ngerasain memeknya, kebelet nih!" kata Rois pada Syaiful.
"Sabar jek.. Uuhh.. Nanggung dikit lagi.. Eemmhh!" jawab Syaiful dengan terengah-engah.

Genjotan Syaiful semakin kencang, nafasnya pun semakin memburu menandakan bahwa dia akan orgasme. Kami mengatur tempo genjotan agar bisa keluar bersama.

"Uhh.. Uhh.. Udah mau Ci, boleh di dalam gak?" tanyanya.
"Jangan.. gue lagi subur.. Ah.. Aahh!!" desahku bersamaan dengan klimaks yang menerpa.
"Hei, jangan sembarangan buang peju, ntar gua mana bisa jilatin memeknya!" tegur Adi.

Syaiful menyusul tak sampai semenit kemudian dengan meremas kencang payudaraku hingga membuatku merintih, kemudian dia mencabut penisnya dan menumpahkan isinya ke punggungku.

"Ok, next please" Syaiful mempersilakan giliran berikut.

Adi langsung menyambut tubuhku dan memapahku berdiri. Disandarkannya punggungku pada dinding lift lalu dia mencium bibirku dengan lembut sambil tangannya menelusuri lekuk-lekuk tubuhku, kami ber-french kiss dengan panasnya. Serangan Adi mulai turun ke payudaraku, tapi cuma dia kulum sebentar, lalu dia turun lagi hingga berjongkok di depan vaginaku. Gesper dan resleting rokku dia lucuti hingga rok itu merosot jatuh. Dia menatap dan mengendusi vaginaku yang tertutup rambut lebat itu, tangan kanannya mulai mengelusi kemaluanku sambil mengangkat paha kiriku ke bahunya. Jari-jarinya mengorek liang vaginaku hingga mengenai klitoris dan G-spotku.

"Sshh.. Di.. Oohh.. Aahh!!" desisku sambil meremas rambutnya ketika lidahnya mulai menyentuh bibir vaginaku.

Aku mengigit-gigit bibir menikmati jilatan Adi pada vaginaku, lidahnya bergerak-gerak seperti ular di dalam vaginaku, daging kecil sensitifku juga tidak luput dari sapuan lidah itu, kadang diselingi dengan hisapan. Hal ini membuat tubuhku menggeliat-geliat, mataku terpejam menghayati permainan ini. Tiba-tiba kurasakan sebuah gigitan pelan pada puting kiriku, mataku membuka dan menemukan kepala Syaiful sudah menempel di sana sedang mengenyot payudaraku. Rois berdiri di sebelah kananku sambil meremas payudaraku yang satunya.

"Ci, toked lu gede banget sih, ukuran BH-nya berapa nih?" tanyanya.
"Eenngghh.. Gua 34B.. Mmhh!" jawabku sambil mendesah.
"Udah ada pacar lo Ci?" tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng dengan badan makin menggeliat karena saat itu lidah Adi dengan liar menyentil-nyentil klitorisku. Sensasi ini ditambah lagi dengan Rois yang menyapukan lidahnya yang tebal ke leher jenjangku dan mengelusi pantatku. Sebelum sempat mencapai klimaks, Adi berhenti menjilat vaginaku. Dia mulai berdiri dan menyuruh kedua temannya menyingkir dulu.

"Minggir dulu jek.. Gua mo nyoblos nih! Walah.. Nih toked jadi bau jigong lu gini Ful!" omelnya pada Syaiful yang hanya ditanggapi dengan seringainya yang mirip kuda nyengir.

Paha kiriku diangkat hingga pinggang, lalu dia menempelkan kepala penisnya pada bibir vaginaku dan mendorongnya masuk perlahan-lahan.

"Ooh.. Di.. Aahh.. Ahh!" desahku dengan memeluk erat tubuhnya saat dia melakukan penetrasi.
"Aakkhh.. Yahud banget memek lu Ci.. Seret-seret basah!"

Kemudian Adi mulai memompa tubuhku, rasanya sungguh sulit dilukiskan. Penis kokoh itu menyodok-nyodokku dengan brutal sampai tubuhku terlonjak-lonjak, keringat yang bercucuran di tubuhku membasahi dinding lift di belakangku. Eranganku kadang teredam oleh lumatan bibirnya terhadapku. Senjatanya keluar-masuk berkali-kali hingga membuat mataku merem-melek merasakan sodokan yang nikmat itu. Aku pun ikut maju mundur merespons serangannya. Saat itu kedua temannya hanya menonton sambil memegangi senjata masing-masing, mereka juga menyoraki Adi yang sedang menggenjotku seolah memberi semangat.

Sementara dia berpacu di antara kedua pahaku, aku mulai merasakan klimaks yang akan kembali menerpa. Tubuhku bergetar hebat, pelukanku terhadapnya juga semakin erat. Akhirnya keluarlah desahan panjang dari mulutku bersamaan dengan melelehnya cairan kewanitaanku lebih banyak daripada sebelumnya. Namun dia masih bersemangat menggenjotku, bahkan bertambah kencang dan bertenaga, nafasnya yang menderu-deru menerpa wajahku.

"Uuhh.. Uuh.. Ci.. Yeeahh.. Hampir!" geramnya di dekat wajahku.

Tubuhnya berkelojotan diiringi desahan panjang, kemudian ditariknya penisnya lepas dari vaginaku dan menyemprotlah isinya di perutku. Dia pun lalu ambruk ke depanku sambil memagut bibirku mesra. Karena Adi melepaskan pegangannya terhadapku, pelan-pelan tubuhku merosot hingga terduduk bagai tak bertulang, begitu pun dengannya yang bersandar di lift dengan nafas ngos-ngosan. Aku meminta Syaiful mengambilkan tissue dari tasku, aku lalu menyeka keringat di keningku juga ceceran sperma pada perutku sambil menjilat jari-jariku untuk mendapatkan ceceran sperma itu. Hingga kini pakaian yang masih tersisa di tubuhku cuma sepatu dan kaos yang telah tergulung ke atas.

Tenggang waktu ke babak berikutnya kurang dari lima menit, Rois setelah meminta ijin dahulu, memegangi kedua pergelangan kakiku dan membentangkannya. Ditatapnya sebentar lubang merah merekah di tengah bulu-bulu hitam itu, kedua temannya juga ikut memandangi daerah itu.

"Ayo dong.. Pada liatin apa sih, malu ah!" kataku dengan memalingkan muka karena merasa risi dipelototi bagian ituku, namun sesungguhnya aku malah menikmati menjadi objek seks mereka.
"Hehehe.. Malu apa mau nih!" ujar Syaiful yang berjongkok di sebelahku sambil mencubit putingku.
"Lu udah gak virgin sejak kapan Ci? Kok memeknya masih OK?" tanya Rois sambil menatap liang itu lebih dekat.
"Enam belas, waktu SMA dulu" jawabku.

Kami ngobrol-ngobrol sejenak diselingi senda gurau hingga akhirnya aku meminta lagi karena gairahku sudah kembali, ini dipercepat oleh tangan-tangan mereka yang selalu merangsang titik-titik sensitifku. Rois menarikku sedikit ke depan mendekatkan penisnya pada vaginaku lalu mengarahkan benda itu pada sasarannya. Uuh.. Vaginaku benar-benar terasa sesak dan penuh dijejali oleh penisnya yang perkasa itu. Cairan vaginaku melicinkan jalan masuk baginya.

"Aa.. aadduhh, pelan-pelan dong!" aku mendesah lirih sewaktu Rois mendorong agak kasar. Sambil menggeram-geram, dia memasukkan penisnya sedikit demi sedikit hingga terbenam seluruhnya dalam vaginaku.
"Eengghh.. Ketat abis, memek Cina emang sipp!" ceracaunya.

Dia menggenjot tubuhku dengan liar, semakin tinggi tempo permainannya, semakin aku dibuatnya kesetanan. Sementara Syaiful sedang asyik bertukar ludah denganku, lidahku saling jilat dengan lidahnya yang ditindik, tanganku menggenggam penisnya dan mengocoknya. Sebuah tangan meraih payudaraku dan meremasnya lembut, ternyata si Adi yang berlutut di sebelahku.

"Bersihin dong Ci, masih ada sisa tadi!" pintanya dengan menyodorkan penisnya ke mulutku saat mulut Syaiful berpindah ke leherku.

Serta merta kuraih penis itu, hhmm, masih lengket-lengket bekas persenggamaan barusan, kupakai lidahku menyapu batangnya, setelah beberapa jilatan baru kumasukkan ke mulut, aku dapat melihat ekspresi kenikmatan pada wajahnya akibat teknik oralku.

Tak lama kemudian, Syaiful berkelojotan dan bergumam tak jelas, sepertinya dia akan klimaks. Melihat reaksinya kupercepat kocokanku hingga akhirnya cret.. cret.. Spermanya berhamburan mendarat di sekitar dada dan perutku, tanganku juga jadi belepotan cairan seperti susu kental itu. Saat itu aku masih menikmati sodokan Rois sambil mengulum penis Adi.

Kemudian Adi mengajak berganti posisi, aku dimintanya berposisi doggy, Rois dari belakang kembali menusuk vaginaku dan dari depanku Adi menjejalkan penisnya ke mulutku. Kulumanku membuat Adi berkelojotan sambil meremas-remas rambutku sampai ikat rambutku terlepas dan terurailah rambutku yang sebahu itu. Penis itu bergerak keluar-masuk semakin cepat karena vaginaku juga sudah basah sekali.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian muncratlah sperma Adi memenuhi mulutku, karena saat itu genjotan Rois bertambah ganas, hisapanku sedikit buyar sehingga cairan itu tumpah sebagian meleleh di pinggir bibirku. Setelah Adi melepas penisnya, aku bisa lebih fokus melayani Rois, aku ikut menggoyang pinggulku sehingga sodokannya lebih dalam.

Bunyi 'plok-plok-plok' terdengar dari hentakan selangkangan Rois dengan pantatku. Mulutku terus mengeluarkan desahan-desahan nikmat, sampai beberapa menit kemudian tubuhku mengejang hebat yang menandakan orgasmeku. Kepalaku menengadah dan mataku membeliak-beliak, sungguh fantastis kenikmatan yang diberikan olehnya. Kontraksi otot-otot kemaluanku sewaktu orgasme membuatnya merasa nikmat juga karena otot-otot itu semakin menghimpit penisnya, hal ini menyebabkan goyangannya semakin liar dan mempercepat orgasmenya. Dia mendengus-dengus berkelojotan lalu tangannya menarik rambutku sambil mencabut penisnya.

"Aduh-duh, sakit.. Mau ngapain sih?" rintihku.

Dia tarik rambutku hingga aku berlutut dan disuruhnya aku membuka mulut. Di depan wajahku dia kocok penisnya yang langsung menyemburkan lahar putih. Semprotan itu membasahi wajahku sekaligus memenuhi mulutku.

"Gila, banyak amat sih, sampai basah gini gua!" kataku sambil menjilati penisnya melakukan cleaning service.

Setelah menuntaskan hasrat, Rois melepaskanku dan mundur terhuyung-huyung sampai bersandar di pintu lift dimana tubuhnya merosot turun hingga terduduk lemas. Dengan sisa-sisa tenaga aku menyeret tubuhku ke tembok lift agar bisa duduk bersandar. Suasana di dalam lift jadi panas dan pengap setelah terjadi pergulatan seru barusan. Aku mengatur kembali nafasku yang putus-putus sambil menjilati sperma yang masih belepotan di sekitar mulut, aku bisa merasakan lendir hangat yang masih mengalir di selangkanganku.

Adi sudah memakai kembali celananya tapi masih terduduk lemas, dia mengeluarkan sebotol aqua dari tas lusuhnya, Syaiful sedang berjongkok sambil menghisap rokok, dia belum memakai celananya sehingga batang kemaluannya yang mulai layu itu dapat terlihat olehku, Rois masih ngos-ngosan dan meminta Adi membagi minumannya. Setelah minum beberapa teguk, Rois menawarkan botol itu padaku yang juga langsung kuraih dan kuminum. Kuteteskan beberapa tetes air pada tissue untuk melap wajahku yang belepotan.

Kami ngobrol-ngobrol ringan dan bertukar nomor HP sambil memulihkan tenaga. Aku mulai memunguti pakaianku yang tercecer. Setelah berpakaian lengkap dan mengucir kembali rambutku, kami bersiap-siap pulang. Adi menekan tombol lift dan lift kembali meluncur ke bawah. Lantai dasar sudah sepi dan gelap, jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh. Lega rasanya bisa menghirup udara segar lagi setelah keluar gedung ini, kami pun berpisah di depan gedung sipil, mereka keluar lewat gerbang samping dan aku ke tempat parkir.

Dalam perjalanan pulang, aku tersenyum-senyum sendiri sambil mendengar alunan musik dari CD-player di mobilku, masih terngiang-ngiang di kepalaku kegilaan yang baru saja terjadi di lift kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar