Kamis, 16 Februari 2012

Ibu Kost

Cerita ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Waktu itu saya harus dinas ke Surabaya, dari kantor saya mendapat tiket kereta api Argo Bromo, karena kereta api akan sampai di Surabaya pada pukul 04.00 pagi, maka saya hubungi teman saya yang kost dekat kantor untuk dapat istirahat sambil menunggu jam kantor.
Seperti biasa saya sampai di kost teman saya jam 04.45, saya langsung menuju ke kamar teman saya di lantai II, untungnya terdapat dipan tambahan yang dapat saya pakai untuk istirahat. Saya langsung tidur lagi karena sangat ngantuk dan saya baru ke kantor nanti siang setelah istirahat makan. Jam 09.00 saya baru bangun, teman saya sudah tidak ada lagi di kamarnya berangkat kerja, juga teman kostnya yang lain. Lalu saya turun ke lantai I untuk mandi, karena kebetulan kamar mandi di lantai II lagi rusak dan masih dibetulkan.
Selesai mandi (hanya menggunakan handuk dililitkan di badan) saya keluar dari kamar mandi menuju lantai II. Pada saat mau naik tangga saya dipanggil ibu kost teman saya, “Mas, itu sudah disiapkan kopinya, silakan langsung di minum, mumpung masih hangat”, ibu kost teman saya itu umurnya kira-kira 30 tahun lebih sedikit, langsung saja saya menuju ke meja makan yang dimaksud dan duduk untuk minum kopi yang sudah disediakan. Ibu kost itu juga menemani saya di meja makan minum kopi. Sambil mijit-mijit pundaknya ibu kost bertanya.
+ “Kopinya cukup manis nggak Mas?”
-”Sudah kok bu, pas banget, tetapi ibu kok kelihatan sakit?”
+ “Iya nich pundak ibu agak sakit”,
-”Biasa dipijit nggak bu?”
+ “Iya sich, tapi pembantu ibu lagi ke pasar.”
-”Kalau mau saya bisa bantuin pijit sebentar bu supaya bisa agak baikan?”
“Boleh.”
Lalu saya pijat pundaknya sebentar, kelihatannya sich nggak terlalu banyak masalah dengan pundaknya. Dia bilang:
+ “Wah nikmat juga ya pijatan Mas ini, sebenarnya pinggang ibu juga agak keseleo sedikit”,
+ “Ibu mau dipijitin pinggangnya, tapi kalau pijit pinggang harus sambil tidur karena posisinya susah kalau sambil berdiri.”
+ “Boleh saja kalau Mas nggak keberatan kita ke kamar ibu saja ya?”
-”Yuuk.”
Sambil saya ikuti langkahnya menuju kamar dia.
Sampai di kamar langsung saja dia tidur tengkurap di tengah tempat tidur, saya jadi bingung bagaimana caranya mijit dia, rupanya dia mengerti kebingungan saya dia bilang “Mas langsung saja naik di tempat tidur dan pijitin ibu, kalau butuh body lotion itu ada di meja rias ibu.” Saya ambil body lotion yang dimaksud dan menuju ke tempat tidurnya sambil saya bilang “Bu, bajunya tolong di buka bagian atasnya supaya saya bisa pijit pinggang ibu.” Langsung dia bangun lagi dari tempat tidurnya dan melepas dasternya ternyata di balik dasternya itu sudah tidak ada apa-apa lagi alias bugil. Saya hanya bisa bengong saja melihat pemandangan yang aduhai ini, bodinya termasuk lumayan bagus, dengan payudaranya yang tidak terlalu besar dan putingnya yang tegak menantang berwarna coklat kemerahan, dan bulunya yang di potong pendek dan rapi berbentuk segitiga, dan pantatnya yang aduhai bentuknya, walaupun wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi bodinya yang yahud bikin tegang penis saya. Sampai jakun saya naik turun melihat pemandangan tersebut. Dia tersenyum saja melihat saya bengong melihati dia.
+ “Mass, jangan bengong achh, cepet bantuin ibu.”
+ “Mas, cepet saja tuh handuk di lepas, lihat tuch yang di dalam sudah pingin nongol lihat temennya”, karena saya hanya pakai handuk yang dililitkan tentu saja penis saya yang sudah tegang berat nongol dari lilitan dan kelihatan penis saya. Melihat saya masih bengong saja, dia dekati saya sambil menarik lilitan handuk saya, begitu handuk saya lepas penis saya langsung mengacung.
+ “Mas, gede juga ya penisnya”, sambil dipijit-pijit dengan lembut dan dia jilati penis saya dan sekali-sekali memasukkan penis saya ke mulutnya sampai 1/2 nya, saya sudah nggak bisa mikir apa-apa lagi karena rasanya nikmat banget, saya sudah nggak sabar lagi saya raih payudaranya dengan dua tangan, dan saya angkat badannya yang masih jongkok ke ranjang.
Langsung saya ciumi bibirnya yang langsung tanggap dengan mengeluarkan lidahnya, saya mainkan lidahnya dengan lidah saya sambil tangan saya bergerilya memegang payudaranya, dan tangannya rupanya tidak mau kalah, karena dia juga memegang penis saya sambil di urut-urut. Lalu saya putar posisi 69, saya ciumi mulai dari bibirnya, terus turun ke payudaranya, waktu saya jilat pentilnya yang sudah keras dia juga jilat pentil saya, rasanya nikmat sekali. Terus saya turun ke pusarnya, dan pelan-pelan menyusuri kakinya yang sudah celentang, saya jilati dari pusar sampai ke pahanya dan pelan-pelan balik lagi ke bulunya yang rapi dan ke paha satunya lagi dan kembali ke vaginanya yang sudah basah.
Saya nggak mendengarkan desahannya karena dia juga melakukan yang sama untuk saya, dia jilat habis penis saya sampai ke zakar dengan sedikit di gigit-gigit, rasanya nikmat banget, lama juga saya lakukan 69 itu.
+ “Mass, shh, shh, udach acchh, nggak kuat lagi, masukin dong, achh.”
Saya langsung balik badan dan arahkan penis saya ke vaginanya yang sudah basah, bless, terasa hangat dan licin, langsung saya kocok keras-keras penis saya. Terdengar ritihannya lagi
+ “Mass, shh, shh aduhh, achh”, saya lihat mukanya makin memerah dengan sedikit mengerut di dahinya, rupanya dia menahan kenikmatan yang dialami. Kemudian dia berhenti goyang dan mendorong badan saya dan dibalik, rupanya dia ingin main di atas. Sambil goyang-goyang dia pegang payudaranya yang berayun-ayun seirama dengan goyangannya, tiba-tiba dia sorongkan payudaranya ke muka saya. + “Mass, diisep dong”, rupanya dia mau klimaks, saya hisap payudaranya sambil saya remas yang satunya, gerakan dia lebih menggila lagi sambil mendesah-desah “Sshh, scchh, aduhh, acchh”, lalu dia memeluk saya “Mass, aku keluar acchh”, saya peluk dia sambil mencium pipinya, lalu saya cabut penis saya yang basah kena cairannya, karena saya belum selesai dan dia sudah kelelahan saya sikat dia dari belakang dengan doggy style, pelan-pelan saya masukan dan keluarkan penis saya, sampai hampir keluar semua, rupanya gerakan saya yang panjang-panjang ini juga dinikmati olehnya, karena saya dengar desahannya “Shh, shh, achh, achh”, nggak lama kemudian saya juga keluar “sruut, srruut sruut,sruut”, nggak pakai tanya saya keluarkan saja di dalam habis nikmat. Setelah itu saya rebahan di ranjangnya. Kemudian mandi lagi bersamanya.
Sejak itu saya jadi senang kalau di tugaskan ke Surabaya oleh kantor. Sekarang ini saya lagi siap-siap guna nanti malam berangkat ke Surabaya lagi dan saya sudah telepon dia untuk siap-siap manuver lagi.
TAMAT

Ibu Mertuaku Yang Aduhai

Namaku Heri, umurku sekarang ini 26 tahun. Ini adalah pengalamanku yang benar-benar nyata dengan Ibu mertuaku. Umurnya belum terlalu tua baru sekitar 45th. Dulunya baru umur 18 tahun dia sudah kawin. Ibu mertuaku bentuk tubuhnya biasa-biasa saja malah boleh dikatakan langsing dan singset seperti perawan. Tak heran sebab hingga kini ia masih mengkonsumsi jamu untuk supaya selalu awet muda dan langsing.

Singkat cerita ketika istriku baru melahirkan anak pertama dan aku harus puasa selama sebulan lebih. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana pusingnya aku. Hingga suatu saat aku mengantar Ibu mertuaku pulang dari menengok cucu pertamanya itu. Aku biasa mengantarnya dengan motorku. Namun kali itu turun hujan ditengah perjalanan. Karena sudah basah kuyup dan hari sudah menjelang tengah malam aku paksakan untuk menerobos hujan yang deras itu.

Setiba dirumah aku ingin segera membersihkan badan lalu menghangatkan badan. Di rumah itu hanya ada aku dan Ibu mertuaku karena kakak iparku tinggal ditempat lain. Sedangkan adik iparku yang biasa menemani Ibu mertuaku dirumah itu untuk sementara tinggal dirumahku untuk menjaga istriku.
“Kamu mandi aja deh sana, Her” Kata Ibu mertuaku menyuruhku mandi
“Ah.. nggak usah.. Ibu duluan deh” Kataku menolak dan menyuruhnya agar lebih dulu
“Udah.. Ibu disini aja” Kata Ibu mertuaku yang memilih tempat cuci baju dan cuci piring diluar kamar mandi. Karena disitu juga ada air keran.
“Yah.. udah deh” Kataku sambil mendahuluinya masuk ke kamar mandi.

Suasana waktu itu agak remang-remang karena lampu penerangannya hanya lampu bohlam 5 watt. Aku iseng ingin tahu bentuk tubuh Ibu mertuaku yang sebenarnya ketika ia telanjang bulat. Maka aku singkapkan sedikit pintu kamar mandi dan menontonnya melepas satu per satu bajunya yang sudah basah kuyup karena kehujanan. Dia tidak tahu aku menontonnya karena dia membelakangiku.

Aku perhatikania mencopot kaus T-shirt-nya ke atas melewati bahu dan lehernya. Lalu BH-nya dengan mencongkel sedikit pengaitnya lalu ia menarik tali BH-nya dan BH itupun terlepas. Adegan yang paling syur ialah ketika ia membuka celana panjang jeansnya. Sret.. celana jeans ketat itu ditariknya ke bawah sekaligus dengan CD-nya. Jreng..! Aku lihat kedua buah pantatnya yang kencang dan montok itu menantangku.

Aku yang sudah tak merasakan sex selama satu bulan lebih dan lagi dihadapkan dengan pemandangan seperti itu. Aku nekat untuk mendekatinya dan aku peluk dia dari belakang.
“Eh.. Her.. ini apa-apaan.. Her” hardik Ibu mertuaku.
“Bu.. tolongin saya dong, Bu” rayuku
“Ih.. apaan sih..?!” Katanya lagi
“Bu, udah dua bulan ini saya nggak dapet dari Dewi.. tolong dong, Bu” bujukku lagi
“Tapi aku inikan ibumu” Kata Ibu mertuaku
“Bu.. tolong, Bu.. please banget” rayuku sambil tanganku mulai beraksi.

Tanganku meremas-remas buah dadanya yang ukurannya sekitar 34b sambil jariku memelintir putting susunya. bibir dan lidahku menjilati tengkuk lehernya. Tanganku yang satu lagi memainkan klentit-nya dengan memelintir daging kecil itu dengan jariku. Batang penisku aku tekan dilubang pantatnya tapi tidak aku masukkan. Ibu mertuaku mulai bereaksi. Tangannya yang tadi berusaha meronta dan menahanku kini sudah mengendor. Dia membiarkanku memulai dan memainkan ini semua. Nafasnya memburu dan mulai mendesah-desah.

“Dikamar aja yuk, Bu” bisikku
Aku papah Ibu mertuaku menuju kamarnya. Aku baringkan dia tempat tidur. Aku buka kedua kakinya lebar-lebar dan sepertinya Ibu mertuaku sudah siap dengan batang penisku. Tapi aku belum mau memulai semua itu.
“Tenang aja dulu, Bu. Rileks aja, Ok?” Kataku.
Aku mengarahkan mukaku ke liang vaginanya dan aku mulai dengan sedikit jilatan dengan ujung lidahku pada klentitnya.
“Ough.. sshhtt.. ough.. hmpf.. hh.. ooghh” Ibu mertuaku mendesah dan mengerang menahan kenikmatan jilatan lidahku.
Dia sepertinya belum pernah merasakan oral sex dan baru kali ini saja ia merasakannya. Terlihat reaksi seperti kaget dengan kenikmatan yang satu ini.

“Enak kan, Bu..?” Kataku
“Hmh.. kamu.. sshtt.. kamu.. koq.. gak jijik.. sih, Her?” Tanyanya ditengah-tengah desah dan deru nafasnya.
“Enggak, Bu.. enak koq.. gimana enak gak?”
“Hmh.. iyahh.. aduh.. sshhtt.. eenak.. banget.. Her.. sshhtt” jawab Ibu mertuaku sambil terus merintih dan mendesah.
“Itu baru awalnya, Bu” Kataku.

Kali ini aku kulum-kulum klentitnya dengan bibirku dan memainkan klentit itu dengan lidahku. Aku lihat sekujur tubuh Ibu mertuaku seperti tersetrum dan mengejang. Ia lebih mengangkat lagi pinggulnya ketika aku hisap dalam-dalam klentitnya. Tak sampai disitu aku terobos liang vaginanya dengan ujung lidahku dan aku masukkan lidahku dalam-dalam ke liang vaginanya itu lalu aku mainkan liukkan lidahku didalam liang vaginanya. Seiring dengan liukanku pinggul Ibu mertuaku ikut juga bergoyang.

“Ough.. sshhtt.. ough.. sshhtt.. oughh.. hmh.. ough.. shhtt.. ough.. hmh.. oufghh.. sshhtt” suara itu terus keluar dari mulut Ibu mertuaku menikmati kenikmatan oral sex yang aku berikan.
Aku sudahi oral sex ku lalu aku bangun dan berlutut dihadapan liang vaginanya. Baru aku arahkan batang penisku ke liang vaginanya tiba-tiba tangan halus Ibu mertuaku memegang batang penisku dan meremas-remasnya.
“Auw.. diapain, Bu..?” Tanyaku
“Enggak.. ini supaya bisa lebih tahan lama” Kata Ibuku sambil mengurut batang penisku.
Rasanya geli-geli nikmat bercamput sakit sedikit. Sepertinya hanya diremas-remas saja tetapi tidak ternyata ujung-ujung jarinya mengurut urat-urat yang ada dibatang penis untuk memperlancar aliran darah sehingga bisa lebih tegang dan kencang dan tahan lama.
“Guedhe.. juga.. punya kamu, Her” Kata Ibu mertuaku sambil terus mengurut batang penisku.
“Iya dong, Bu” Kataku.

Kali ini kedua tangan Ibu mertuaku beraksi mengurut batang penisku. Tangan yang satunya lagi mengurut-urut buah pelirku dan yang satu lagi seperti mengocok namun tidak terlalu ditekan dengan jari jempol dan telunjuknya. Tak lama kemudian..
“Egh.. yah.sudah.. pelan-pelan.. yah sayang” Kata Ibu mertuaku sambil menyudahi pijatan-pijatan kecilnya itu dan mewanti-wantiku supaya tidak terlalu terburu-buru menerobos liang vaginanya.
Aku angkat kedua kaki Ibu mertuaku dan aku letakkan dikedua bahuku sambil mencoba menerobos liang vaginanya dengan batang penisku yang sedari tadi sudah keras dan kencang.
“Ouh.. hgh.. ogh.. pelan-pelan, Her” Kata Ibu mertuaku ditengah-tengah deru nafasnya.
“Iya, Bu.. sayang.. egh.. aku pelan-pelan koq” Kataku sambil perlahan-lahan mendorong penisku masuk ke liang vaginanya.
“Ih.. punya kamu guedhe banget, sayang.. ini sih.. gak normal”Katanya
“Kan tadi udah diurut, Bu” Kataku.
Aku teruskan aksiku penetrasiku menerobos liang vaginanya yang kering. Aku tidak merasa istimewa dengan batang penisku yang panjangnya hanya 15cm dengan diameter sekitar 3 cm.

Dengan sedikit usaha.. tiba-tiba.. SLEB-SLEB-BLESSS! Batang penisku sudah masuk semua dengan perkasanya kedalam liang vagina Ibu mertuaku.
“Ough.. egh.. iya.. sshh.. pelan-pelan aja yah, sayang” Kata Ibu mertuaku yang mewantiku supaya aku tidak terlalu terburu-buru.
Aku mulai meliukkan pinggulku sambil naik turun dan pinggul Ibu mertuaku berputar-putar seperti penyanyi dang-dut.
“Ough.. gilaa, Bu.. asyik.. banget..!” Kataku sambil merasakan nikmatnya batang penisku diputar oleh pinggulnya.
“Ough.. sshtt.. egh.. sshh.. hmh.. ffhh.. sshhtt.. ough.. sshhtt.. oughh” Ibu mertuaku tidak menjawab hanya memejamkan mata sambil mulutnya terus mendesah dan merintih menikmati kenikmatan sexual.
Baru sekitar 30 menit aku sudah bosan dengan posisi ini dan ingin berganti posisi. Ketika itu kami masih dalam posisi konvensional. Aku mau menawarkan variasi lain pada Ibu mertuaku..
“Eh.. Ibu yang di atas deh” Kataku.
“Kenapa, sayang.. kamu capek.. yah..?” Tanyanya.
“Gak” jawabku singkat.
“Mo keluar yah.. hi.. hi.. hi..?” Godanya sambil mencubit pantatku.
“Gak.. ih.. aku gak bakalan keluar duluan deh” Kataku sesumbar.
“Awas.. yah.. kalo keluar duluan” Goda Ibu mertuaku sambil meremas-remas buah pantatku.
“Enggak.. deh.. Ibu yang bakalan kalah sama aku”Kataku sombong sambil balas mencubit buah dadanya
“Auw.. hi.. hi.. hi” Ibu mertuaku memekik kecil sambil tertawa kecil yang membuatku semakin horny.

Dengan berguling ke samping kini Ibu mertuaku sudah berada di atas tubuhku. Sambil menyesuaikan posisi sebentar ia lalu duduk di atas pinggulku. Aku bisa melihat keindahan tubuhnya perutnya yang rata dan ramping. Tak ada seonggok lemakpun yang menumpuk diperutnya. Buah dadanya juga masih kencang dengan putting susu yang mengacung ke atas menantangku. Aku juga duduk dan meraih putting susu itu lalu ku jilat dan ku kulum. Ibu mertuaku mendorongku dan menyuruhku tetap berbaring seolah-olah kali ini cukup ia yang pegan kendali. Ibu mertuaku kembali meliuk-liukkan pinggulnya memutar-mutar seperti Inul Daratista.

“Egh.. sshhtt.. ough.. sshhtt.. ough.. egh.. hmf” desah Ibu mertuaku.
“Gila, Bu.. enak banget..!”
“Ough.. sshhtt.. ough.. sshtt.. ough” Ibu mertuaku mendesah dan merintih sambil terus meliuk-liukkan pinggulnya memainkan batang penisku yang berada didalam liang vaginanya.
Tanganku meremas buah dadanya yang tak terlalu besar tapi pas dengan telapak tangan. Tanganku yang satunya lagi meremas buah pantatnya. Batang penisku yang kencang dan keras terasa lebih keras dan kencang lagi. Ini berkat pijatan dari Ibu mertuaku tadi itu. Bisa dibayangkan jika tidak aku sudah lama orgasme dari tadi.
“Ough.. sshtt.. emh.. enagh.. egh.. sshhtt.. ough.. iyaahh.. eeghh.. enak.. ough” liukan pinggul Ibu mertuaku yang tadinya teratur kini berubah semakin liar naik turun maju mundur tak karuan.
“Ough.. iiyyaahh.. egghh.. eghmmhhff.. sshhtt.. ough.. aku udah mo nyampe” Kata Ibu mertuaku.
“Bu.. aku juga pengen, Bu.. egh” Kataku sambil ikut menggoyang naik turun pinggulku.
“Egh.. iyah.. bagusshh.. sayangg.. ough.. sshhtt.. ough.. sshtt.. ough” Ibu mertuaku merespons gerakanku untuk membantunya orgasme.
Aku mempercepat goyanganku karena seperti ada yang mendesak dibatang penisku untuk keluar juga.
“Hmfh.. terusshh.. iyah.. ough.. oughh.. AAAUGHH.. OUGH.. OUGH.. OUGH” Ibu mertuaku telah sampai pada orgasmenya.

Pada batang penisku terasa seperti ada cairan hangat mengucur deras membasahi batang penisku. Ibu mertuaku menggelepar dan diakhiri dengan menggelinjang liar dan nafasnya yang tersengal. Ibu mertuaku telah berhenti melakukan liukan pinggulnya. Hanya denyutan-denyutan kencang didalam liang vaginanya. Aku merasakan denyutan-denyutan itu seperti menyedot-nyedot batang penisku Dan.. CROT.. CROTT.. CROTTT..! muncrat semua air maniku diliang vagina Ibu mertuaku.
“Bu, kerasa nggak air mani saya muncratnya..?” Tanyaku
“Eh.. iya, Heri sayang.. Ibu udah lama pengen beginian” Kata Ibu mertuaku
“Iya.. sekarang kqn udah, Bu” Kataku sambil mengecup keningnya
“Oh.. kamu.. hebat banget deh, Her” Kata Ibu mertuaku sambil membelai-belai rambutku.
“Itu semua kan karena Ibu” Kataku memujinya
“Ih.. bisa aja.. kamu” sahut Ibu mertuaku sambil mencubit pinggulku.

Ibu mertuaku masih di atas tubuhku ketika HP-ku berbunyi ternyata dari istriku yang menyuruhku supaya menginap saja dirumah Ibu mertuaku. Setelah telepon di tutup aku memekik kegirangan. Setelah itu kami melakukan pemanasan lagi dan melakukannya sepanjang malam hingga menjelang subuh kami sama-sama kelelahan dan tidur. Entah sudah berapa kali kami bersenggama dalam berbagai posisi. Pagi harinya kami masih melakukannya lagi dikamar mandi untuk yang terakhir lalu setelah itu aku sarapan dan pulang.

Demikian kisah nyataku ini aku tulis. Bagi yang ingin kirim pendapat atau tanggapan harap kirimkan e-mail.

Ibu Sekdes di Desa Terpencil

Pada waktu KKN di suatu daerah terpencil di Jawa Tengah (Di suatu desa kecil yang belum terjangkau angkutan dari arah kota, bahkan untuk mencapai jalan raya yang dilalui mobil angkutan, harus berjalan kaki selama 2 jam), kukira warganya masih terbelakang dan kurang pergaulan. Maklum di salah satu dusun, yang dihuni sekitar 100 keluarga, hanya satu yang mempunyai TV dengan menggunakan aki. Tetapi kenyataannya lain. Inilah pengalamanku hidup ditengah-tengah penduduk tersebut, tentu saja pengalamanku di bidang seks.
Aku kebetulan menginap di rumah Sekdes, yang ternyata seorang ibu muda berumur aku taksir kurang dari 40 tahun. Langsing, kulitnya mulus dan rupawan. Memang lain dibandingkan dengan penduduk kebanyakan di sekitarnya. Dan yang menjadikan aku sangat bernafsu adalah karena statusnya yang janda beranak satu.
Disuatu sore, menjelang malam, ketika baru datang dari kampus untuk konsultasi skripsi, kudapati rumah Mbak Yati (begitulah panggilan Sekretaris Desa yang rumahnya kutempati itu) tampaknya sepi. Badanku basah kuyup, karena kehujanan sepanjang perjalanan kaki dari jalan raya. Aku dorong pintunya dan ternyata tidak terkunci. Aku segera menuju ke kamarku, kulepas semua pakaianku dan kukeringkan dengan handuk. Tiba-tiba ada suatu langkah mendekati kamarku, kuintip dari balik korden, Mbak Yati mendekat ke kamarku. “Ini kesempatan,” pikirku.
Aku terus mengeringkan kepalaku dengan handuk sehingga mataku tertutup dan pura-pura tidak tahu kalau Mbak Yati mendatangi kamarku. Tanpa kusengaja kemaluanku jadi bertambah besar. Tergantung kesana-kemari ketika tubuhku tergoncang karena gosokan yang keras di kepalaku.
Benar saja Mbak Yati menyingkapkan korden, namun aku pura-pura tidak melihatnya, walaupun dari pori-pori handuk aku melihat Mbak Yati dengan raut wajahnya agak terkejut, tetapi dia diam saja. Bahkan sepertinya dengan seksama memperhatikan alat vitalku yang makin lama makin besar oleh tatapan Mbak Yati. Aku pura-pura terkejut ketika kulepas handukku dari kepalaku. “Oh, Mbak Yati, kirain siapa,” Aku sengaja membiarkan kemaluanku tidak kututupi, ada perasaan bangga mempertontonkan kemaluanku disaat sedang gagah-gagahnya.
“Dik Windu, datang kok nggak bilang-bilang,” bicaranya cukup tenang, seakan-akan tidak melihatku aneh.
“Iya Mbak, baru datang terus kehujanan.”
“Aduh, nanti masuk angin, aku ambilkan minyak angin ya.”
“Nggak usah Mbak, takut panas.”
“Lha iya biar anget gitu lho.”
“Maksud saya, taku panas kalau kena ini, lho Mbak.”
“Ah Dik Windu bisa aja, mikiran apa sih kok ngacung-ngacung kayak gitu,” kali ini Mbak Yati mau melihat terpedoku, aku bahagia sekali.
“Ih, gede banget sih Dik.”
“Pernah aku ukur 17 cm kok Mbak,” Aku berjalan mendekatinya.
“Dik Windu bisa aja, pake diukur-ukur segala,” kupegang pundaknya, dan dia diam saja.
“Kok sepi Mbak, kemana anak-anak lain.”
“Anu.. khan, lagi bertemu Bapak Bupati,” tampaknya ia agak gugup dan seperti mau melangkah ke belakang. Tetapi kutahan dia, bahkan ketika kucium pipinya ia diam saja. Kulanjutkan dengan bibirnya, ia juga diam saja. Bahkan memberikan sambutan yang hangat.
Kini Mbak Yati yang aktif menciumi tubuhku dengan gemasnya, aku diam saja, dan kulucuti pakaiannya. Ketika kubuka BH-nya, aku tertegun, payudaranya masih kencang dan mulus, ukurannya sedang. Perutnya ramping, cembung di bawah, sedikit di atas jembutnya. Mbak Yati terus menyerangku dengan kecupan-kecupan yang membuatku kelabakan dan jatuh ke tempat tidur karena terdorong oleh kuatnya desakan Mbak Yati yang sudah telanjang bulat itu. Aku hanya bisa memegang payudaranya sambil memijat, mengelus dan memelintir putingnya.
Mbak Yati terus mengecup setiap inci dari tubuhku, dadaku, lenganku, perutku dan pahaku. Kejantananku yang sudah sangat keras dipegangnya terus seakan sudah menjadi hak miliknya saja. Dikecupnya ujung kemaluanku, aku mengelinjang kegelian. Namun Mbak Yati tidak meneruskan. Sambil tersenyum manis ia berkata, setengah berbisik, “Nanti saja..” Sambil memeluk dan menciumku dengan hangat dan membalikkan posisinya sehingga aku berada di atasnya. Kini posisiku lebih leluasa, aku bisa pandangi kemolekan tubuh Mbak Yati, setiap senti dari permukaan tubuh itu kuciumi dengan penuh nafsu. Nafas Mbak Yati makin memburu, lama kutempelkan pipiku pada perutnya. Perasaan senang luar biasa menyelimutiku. Sambil tanganku terus meremas-remas payudaranya. Kuturunkan kepalaku ke bawah, kuciumi paha sebelah dalam Mbak Yati, hingga sampailah ke jaringan lunak yang berada di tengah selangkangannya. Kujilati benda itu, hingga Mbak Yati menjerit kecil sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi, seakan-akan menginginkan aku menjilatinya. Liang kewanitaan Mbak Yati sudah sangat basah, aku terus menjilati daging kecil yang ada di bagian atas kemaluannya, yang menurutnya bernama “itil” ya mungkin bahasa kerennya ya “klitoris” itu.
Setelah jenuh aku menjilati liang kewanitaannya, aku bersiap-siap mengarahkan batang kejantananku ke liang senggamanya, Dengan cekatan ia bimbing batang kejantananku hingga di depan gerbang kewanitaannya. Dengan sekali sentak masuklah kepala burungku. Tampak masih lumayan seret, sehingga tidak semuanya langsung bisa menghujam ke dalam liang kewanitaannya. Setelah beberapa kali maju mundur barulah semuanya tenggelam hingga kurasakan ujung kemaluanku menyentuh dinding kewanitaannya yang paling dalam. Mbak Yati melenguh, menjerit dan makin memelukku dengan kuat. “Terus Dik.. terus Dik.. Tahan Dik, aku.. mau.. keluar, Ohhh…” Dia memelukku dengan kuat sambil meluruskan kakinya, hingga batang kejantananku terasa terjepit. Dengan nikmatnya. Hingga akupun tidak tahan lagi membendung air maniku bertahan. Aku segera mencabut kejantananku dan kukocok-kocok hingga muncratlah air maniku di atas perutnya.
Beberapa detik kemudian heninglah suasana di kamar itu. Tampaknya hari sudah mulai malam, hujan terus turun dengan derasnya. Namun nafas Mbak Yati yang memburu dan tubuhnya terbaring dengan lunglai. Aku terlentang di sampingnya. Dia segera tertidur dengan kepala di atas perutku, menghadap ke kemaluanku. Akupun tampaknya terlena juga. Pada waktu Mbak Yati membangunkanku, untuk makan malam. Aku memakai piyamaku dan menuju ke ruang makan, Mbak Yati mengenakan daster yang tipis. Ketika kurogoh dari bawah dasternya, ternyata ia tidak memakai celana dalam. Mbak Yati mengelak dengan genit meskipun sempat tersentuh juga.
Dalam percakapan selama makan malam, baru kutahu bahwa dia mempunyai anak perempuan yang sedang sekolah di Sekolah Pekerja Sosial di Semarang. Setiap minggu ia pulang ke rumah. Nani, anak Mbak Yati, memang manis dan supel. Pada suatu hari minggu ia memang datang dan aku sempat ngobrol dengan Nani. Waktu itu ibunya sedang ada tugas mendampingi Pak Kades menerima kunjungan anggota DPRD. Saking akrabnya aku ngobrol dengan Nani, hingga tidak canggung-canggung lagi ia masuk keluar kamarku maupun sebaliknya. Bahkan ketika Nani memintaku untuk membuat salah satu tugas teks pidato, aku tanpa sungkan-sungkan masuk ke kamarnya. Secara tidak sengaja aku menemukan amplop kecil di atas meja belajarnya. Ketika kubuka ternyata gambarnya adalah gambar porno kategori XXX. Nani cuek saja ketika kuamati gambar-gambar tersebut. Tidak terasa bagian bawahku mulai berontak.
Tiba-tiba Nani membungkukkan badan di depanku, sambil ikut melihat gambar-gambar porno tersebut. “Nani, nggak pakai BH lho..” Aku kaget bukan kepalang, mendengar suara manja itu, dan kulihat wajahnya sudah sangat dekat dengan wajahku. Dan yang lebih dahsyat lagi adalah, dengan posisi menduduk itu maka payudaranya yang bebas tidak terbungkus BH itu tergantung indah.
Aku segera meraihnya, sambil kucium bibirnya. Sebagai tindakan naluri dan refleks priaku saja. Nani membalasnya dengan tidak mau kalah lahapnya. Kubuka T-shirtnya, dan kuciumi putingnya yang kecil tetapi panjang, seperti puting ibunya. Dan kulepas semua pakaiannya, terakhir adalah celana dalamnya. Kuraih kemaluannya, jembutnya masih jarang, sehingga belahan liang kewanitaannya yang berwarna merah jambu dapat terlihat dengan jelas. Ia susupkan tangannya ke dalam celana pendekku. Begitu menemukan batang pelerku yang sudah sangat tegang ia lemas dan menarikku ke tempat tidurnya.
Aku melepaskan pakaianku, hingga telanjang bulat. Aku baringkan di tempat tidurku, dengan posisi telentang, memberikan kesempatan bagi Nani untuk menikmati bagian tubuhku yang sangat kubanggakan itu. Benar saja, ia dengan sigap meraih kemaluanku dan mengulumnya, meskipun masih sangat tidak profesional, tetapi kuhargai juga keberaniannya. Barangkali ia hanya ingin mempraktekkan apa yang pernah ia lihat pada foto porno. “Jangan kena kena gigi,” seruku ketika giginya menggesek ujung kemaluanku, yang membuatku nyengir. “Eh sorry, Mas..” Lalu ia jilati seluruh permukaan batang kejantananku, hingga kedua pelerku tidak luput dari serangan ini. Aku hanya meringis menikmatinya.
Setelah tidak ada lagi variasi darinya memperlakukan kemaluanku, kubimbing dia untuk terlentang. Ia menurut ketika kubuka pelan-pelan pahanya, kini dengan jelas liang kewanitaan yang manis bentuknya itu. Ketika kusibakkan, kulihat warna merah menantang, sedangkan lendirnya sudah banyak mengalir ke sprei batiknya. Posisiku sudah siap untuk menyetubuhinya. Batang kemaluanku sudah tepat di depan mulut liang kewanitaannya.
“Nan, masih perawan nggak, aku masukin ya?” pintaku.
Nani tidak menjawab namun dengan kuat ia menarik bokongku, hingga amblaslah batang kejantananku memasuki wilayah terlarangnya. Memang baru separuh, sempit sekali, aku hampir tidak tega ketika Nani meringis sambil memejamkan matanya.
“Kenapa Nan, Mas cabut ya..”
“Jangan,” bisik Nani sambil menjepit punggungku dengan kedua kakinya.
Kugerakkan maju mundur pelan-pelan, karena sempitnya liang kewanitaannya. Membuat Nani mengeleng-gelengkan kepalanya kekiri dan kekanan hingga sebuah jeritan panjang. Namun segera kuciumi mulutnya agar jeritan itu tidak terdengar tetangga.
Orgasme Nani lama sekali, seperti orang kesurupan, kepalanya kupegangi kuat-kuat agar mulutnya tidak lepas dari ciumanku. Sehingga suara jeritan itu tertelan sendiri. Badannya kejang, pelukannya kencang sekali.
Akhirnya tumpahlah kenikmatan Nani. Aku sangat gembira bisa memuaskannya. Biarpun maniku belum keluar, aku puas sekali. Nani tertidur, aku segera berpakaian, dan dengan berjingkat ke arah kamarku dekat kamar Mbak Yati. Di depan kamar Mbak Yati kudengar suara, saat kusingkap dan aku terkejut ternyatan ada Mbak Yati. Aku ketakutan dan hampir tidak bisa bicara. Dengan suara seadanya aku mendesis, “Oh, Mbak kok sudah pulang.” Tidak kusangka Mbak Yati tersenyum manis, mendekatiku dan mencium bibirku. “Jangan buat anakku hamil, ya.”
“Jadi, Mbak tahu kalau akau habis begituan sama Nani?”
“He eh, anak sekarang memang lain dengan jaman saya dulu, baru kenal sudah tidur bareng.”
Aku hampir tidak percaya ini, kemaluanku masih belum lemas, karena memang belum keluar. Mbak Yati tahu itu. Ia lepaskan celanaku dan segera dihisap-hisapnya kejantananku dengan lihainya hingga keluarlah maniku ke dalam mulutnya. Mbak Yati tersedak, dan segera menuju dapur meminum air kendi. Aku hanya bengong saja. Lama tidak bergerak dari tempatku berdiri. Kemaluanku tergantung dengan santainya.
TAMAT

Isteri Boss Yang Aduhai

Sebut saja namaku HAR (nama samaran), aku sudah menikah dengan 3 orang anak dan umurku masih 34 tahun. Isteriku cantik putih dan baik sekali bahkan saking baiknya dia mau menerima aku apa adanya, walaupun gajiku pas-pasan tapi dia tetap mencintaiku. Wajahku tidaklah ganteng atau macho akan tetapi biasa-biasa saja dan aku bukan pemuda yang tinggi, tinggiku hanya 160 cm dengan berat sekitar 55 kg. Tapi walaupun demikian aku termasuk orang yang beruntung karena beberapa kali aku memiliki selingkuhan yang cantik-cantik, jadi pengalamanku cukup banyak. Semua wanita yang menjadi pacar gelapku senang bermain seks denganku karena aku dapat memuaskan mereka, karena aku bisa memberikan kepuasan kepada mereka beberapa kali, bahkan sampai 8 kali orgasme ketika aku berpacaran dengan gadis bule.

Pengalamanku kali ini terjadi ketika tahun 2002 saat aku pergi ke Yogyakarta untuk urusan bisnis. Kebetulan aku bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi penelitian dan ekowisata maka aku berangkat ke kota Yogya dalam acara pameran ekowisata. Saat itu aku pergi sendirian dengan menggunakan kereta executive. Pertama kalinya aku pergi ke Yogya sendirian jadi aku tidak begitu hapal kota yogya tapi dengan modal nekat dan keberanian akupun memberanikan diri seolah-olah aku sering datang ke kota tersebut. Tadinya aku akan pergi dengan isteri bos ku yang kebetulan sering pergi ke Yogya. Karena masih ada urusan di Jakarta maka isteri bosku tidak jadi menemaniku.

Isteri bosku (bernama Mbak Wati) wajahnya cukup menarik dengan kulit yang coklat dan hitam manis dan badannya yang sintal walaupun usianya sudah menginjak 40 tahun tapi masih kelihatan sintal dan berisi, maklumlah sering aerobik dan olah raga. Pada waktu aku di Yogya Mbak Wati sering meneleponku hampir setiap hari bahkan sehari bisa lebih dari 2, pada mulanya aku sendiri tidak tahu mengapa dia sering telpon aku. Saat itu, aku tinggal di sebuh hotel yang lumayan bagus, bersih dan murah di dekat jalan Malioboro. Karena aku sendirian di kota itu aku seringkali kesepian dan aku selalu ingat anak dan isteriku. Akan tetapi itu semua hilang ketika Mbak Wati meneleponku dan aku selalu menggodanya bahwa aku kesepian dan horny di kota ini karena aku sering dengar erangan kenikmatan dari sebelah kamarku, dia hanya tertawa saja. Bahkan dia menggodaku untuk mencari wanita Yogya saja buat menemaniku.

Beberapa hari kemudian aku mendapat kabar bahwa bosku menyuruh Mbak Wati untuk menemaniku di Yogya, aku berfikir wah ini kesempatan yang baik buatku untuk menggodanya, memang keberuntungan masih berpihak pada diriku. Akhirnya dia bilang bahwa dia akan menyusul dengan menggunakan kereta dan minta di bookingkan satu kamar untuknya. Aku bilang pada hari itu mungkin kamar akan penuh.
Dia sedikit kecewa lalu dia bilang, “Terus gimana dong, ..aku gak mau tinggal di hotel yang jauh dari kamu, ..ngomong-ngomong Har kamar kamu ada 2 bed apa satu?”
“Kamarku Cuma satu bed tapi di bawah ranjang ada satu bed lagi jadi mungkin aku bisa pake, emang Mbak mau sekamar denganku?” aku menggodanya.
“Boleh kalo nggak ada kamar lagi” aku setengah tidak percaya akan ucapannya.
Aku berfikir inilah kesempatanya aku bisa mendekati dia dan menggodanya.
“Tapi Mbak aku suka tidur telanjang paling Cuma pake celana dalam doang dan selimut, apa Mbak gak apa-apa?.. Aku sedikit meyakinkan dia akan kebiasaanku.
“Nggak apa-apa siapa takut.. masalahnya aku juga kadang-kadang begitu juga”.
Aku semakin senang mendengarnya. Lalu aku menawarkan untuk tinggal sekamar denganku bila tidak ada kamar kosong dan dia setuju.

Ketika pada hari H nya, aku jemput dia di stasiun dan setelah bertemu aku ajak ke hotel tempat aku menginap, otak ngeresku mulai jalan dan aku mulai berfikir bagaimana caranya agar dia mau sekamar denganku lalu dengan akal bulusku aku berbohong bahwa kamar hotel penuh semua. Lalu aku langsung ajak Mbak Wati ke kamarku dan aku tidak menyangka ternyata dia mau sekamar denganku. Karena sebelumnya aku pikir dia hanya bercanda.

Ketika malam tiba, aku sengaja mengambil satu tempat tidur lagi, untuk menjaga agar dia tidak mempunyai fikiran yang jelek tentang diriku, karena aku masih takut kalau Mbak Mbak Wati akan marah dan tersinggung bila aku seranjang dengannya karena biasanya itu akan dianggap tidak sopan dan senonoh serta murahan dan perempuan akan marah sekali bila dianggap seperti itu. Sebelum tidur kami mengobrol tentang macam-macam dan pada akhirnya bicara tentang seks. Saking seriusnya bicara tentang seks, aku memberanikan diri memancing reaksinya.

“Mbak kalo ngomongin seks kayak gini, cewekku dulu seringkali udah basah duluan”.
Lalu dia menjawab, “Ah itu sih biasa, aku aja suka basah”.
Tak lama kemudian suasana berubah karena dia merasa perutnya agak sakit karena kembung. Aku mulai kasihan lalu aku menawarkan diri, “Biar aku refleksi dan pijit deh”.

Lalu aku pijit kaki dan betisnya. Pada mulanya dia kesakitan dengan pijitanku tersebut. Otak kotorku mulai datang dan aku coba untuk memijit pahanya dan dia meringis kesakitan. Lama aku memijit pahanya dan makin lama kau kendurkan pijitanku tetapi dia masih mengerang bahkan ketika aku elus-elus dia masih mengerang. Dengan segenap keberanianku aku coba mengelus hingga ke pangkal pahanya dan dia mengerang semakin menjadi, tentu saja penisku langsung berdiri apalagi ketika aku pijit dan elus bagian pahanya dia membuka pahanya lebar-lebar. Lalu aku singkapkan rok tidurnya dan aku elus di pangkal paha kemudian aku beranikan diri mengelus vaginanya, ternyata Mbak wati diam saja dan mengerang, tanpa pikir panjang aku masukkan jari-jemariku ke balik celana dalamnya dan memainkan klitoris dan lubang vaginanya dengan jariku. Ternyata vaginanya sudah basah sekali, lalu aku tarik celana dalamnya dan aku mulai menciumi pahanya hingga sampailah pada gundukan vaginanya yang sangat merangsang.

Aku hisap dan jilat vaginanya yang harum, Mbak wati semakin mengerang kenikmatan.
“Oh.. oohh.. mmhh.. ohhmm.. sayangg.. ohmm” jilatanku semakin liar dan semakin terasa kakinya mulai mengejang..aku semakin mempercepat tempo jilatan mautku dan dia mengerang semakin keras.
“Oohh.. ehheehmm.. ohh.. aauuaa.. hhmm” ternyata dia telah mencapai orgasme yang pertama.

Kemudian aku lepaskan celana dalamku karena kebetulan aku selalu tidur hanya memakai celana dalam dan saat itu aku hanya memakai kain sarung. Dengan penis yang masih menegang aku beralih posisi di atasnya dan menciumi bibir dan kedua susunya dengan jemari tanganku memainkah pentilnya. Karena tidak sabar lalu aku masukkan penisku yang sudah tegang. Sewaktu penisku masuk ke lubang kenikmatan tersebut terdengar erangan keenakan Mbak Wati.

Vagina Mbak Wati serasa sempit karena tulang panggulnya yang seakan-akan mempersempit lubang kemaluannya. Akan tetapi aku merasaka kenikmatan yang luar biasa di penisku dengan lubangnya yang sempit itu. Aku keluar masukkan penisku dan Mbak Wati membuka lebar-lebar kakinya sambil menopang satu kaki ke dinding kamar. Aku semakin merasakan sensasi yang luar biasa ketika penisku keluar masuk, karena dinding lubang vagina dan tulang panggulnya yang menggesek-gesek batang kemaluanku begitu terasa sekali.

Mbak Wati masih terus mengerang ketika aku menekan penisku di vaginanya dalam-dalam. Walaupun penisku tidak besar sekali tapi berukuran normal akan tetapi sensasi yang aku berikan ketika aku mengocok penisku di dalam vaginanya membuat Mbak wati mengerang, menjerit keenakan sambil matanya merem melek. Setelah hampir satu jam sejak pemanasan Mbak Wati kelihatan tegang kemudian di merapatkan kedua kakinya dan aku mengangkangkan kakiku sehingga lubang vaginanya semakin sempit. Dengan gaya seperti itu aku masih tetap terus mengocok vaginanya dan Mbak wati semakin mengerang keras.
Akhirnya dia bilang, “Ohh sayang aku mau keluaarr.. ohh enakk”..

Akhirnya Mbak Wati tidak bisa menahan gejolak yang ada dalam dirinya, maka jebollah pertahanannya dengan jeritan yang membuatku semakin bergairah. Aku masih mengocok penisku karena sampai saat itu aku masih bertahan dan aku ingin memberikan kenikmatan yang dasyat untuknya sehingga dia tidak bisa lupa dan terus ketagihan. Aku semakin mempercepat kocokanku, semakin cepat aku mengocok jeritan keenakan Mbak Wati semakin kencang dan tak tertahankan.

Aku merasakan sensasi yang tiada taranya, sehingga aku merasakan ada sesuatu yang akan keluar dari batang kemaluanku dan akupun mempercepat irama kocokanku. Badanku semakin menegang dan Mbak Wati semakin mengerang.
“Ohh.. Mbak aku mau keluar.. Mbak udah mau lagi nggak?.. aku dah nggak tahan nih”
“Ohh sayang aku juga mau keluar.. ohh.. oohh kita bareng sayaangg.. oohh aku keluaarr”
“Aku juga Mbak, ..oohh Mbak eeaannakk?”
Dan bobollah pertahananku dan pertahanannya.., Crot..crot..crot..
“Oohh.. enaak..” akhirnya kami orgasme bersama-sama.
“Oh, kamu hebat sayang.. sampai aku orgasme tiga kali, padahal aku jarang banget loh orgasme walaupun sama suamiku. Malah aku keseringannya nggak bisa orgasme”.

Dengan peluh yang mengucur banyak sekali aku tidak segera mencabut penisku dari vaginanya, aku biarkan penisku merasakan sensasi vagina Mbak wati yang begitu nikmat. Akhirnya kamipun tertidur dengan tubuh masih telanjang.

Malam itu kami lakukan lagi sampai 4 kali. Pada keesokan harinya kami lakukan lagi hingga siang hari sampai 3 kali. Begitu pula pada malam harinya hingga pagi kami lakukan lagi 3 kali. Setiap hari kami lakukan terus dan sampai kembali ke Jakarta kami masih tetap melakukannya di dalam kereta walaupun hanya sebatas permainan jari-jariku di kemaluannya dan dia mengocok penisku dengan ditutup selimut. Sesampainya di Jakarta kami masih sering melakukannya terkadang di rumahnya ketika boss dan orang-orang pergi atau di kantor saat semua orang sedang keluar. Mbak Wati termasuk wanita yang kuat sekali seperti kuda liar karena untuk membuatnya orgasme memerlukan waktu yang lama dan perlu laki-laki yang betul-betul kuat dan pandai memberikan sensasi hebat, sehingga suaminyapun tidak dapat mengimbanginya, tapi dengan aku Mbak Wati tidak bisa berbuat apa-apa karena setiap kali bersetubuh aku selalu memberikannya kepuasan.

Akan tetapi sekarang kami tidak lagi, karena dia memiliki selingkuhan yang lainnya lagi. Sekarang aku kesepian lagi apalagi aku jarang sekali berhubungan dengan isteriku karena terkadang aku kasihan dia sering kecapaian.

Teman-temanku bilang bahwa aku memang jantan karena bisa memuaskan perempuan. Bahkan mereka yang merasa jantan di ranjang tidak dapat mengimbangi permainanku hingga bisa memuaskan perempuan berkali-kali. Sampai wanita bulepun kewalahan karena mereka jarang sekali mendapatkan kepuasan dengan laki-laki bule walaupun mereka memiliki penis yang besar, tapi itu bukan jaminan dan cewek-cewek bule mengakuinya ketika tahu bahwa aku bisa memuaskan mereka beberapa kali.

*****

Demikianlah sekelumit pengalamanku dengan isteri bosku yang sangat mengasyikkan. Apabila ada yang berminat menjadikanku sebagai kekasih gelap baik tante-tante atau bukan aku siap melayani dan memuaskan anda semua.


E N D

Istri Bossku

Aku bekerja di Semarang, ditengah lingkungan orang-orang Chinese yang kebanyakan perempuan. Aku berumur 35 tahun tetapi belum menikah dan sudah punya pacar yang jauh tempatnya. Istri bossku itulah yang merenggut keperjakaanku.
Suaminya affair dengan seorang perempuan marketing dari Jakarta. Memang aku kalau melihat istri bossku, aku jadi kasihan. Walau sudah punya 3 anak tapi kulihat akhir-akhir ini makin tambah seksi terutama kedua buah dadanya yang membesar. Aku tahu dia ikut fitness rutin dan body building di salah satu sanggar senam. Mungkin untuk mengimbangi WIL suaminya yang memang sangat seksi dan suaranya kalau telepon, minta ampun, merdu sekali. Makanya bossku sampai klepek-klepek seperti burung tak berdaya. Bossku orang sangat kasar, selalu menang sendiri dan otoriter pada istrinya. Tidak malu dia memarahi istrinya di depan karyawannya. Tapi anehnya aku cukup dipercaya. Itu dibuktikan ketika bossku suka cerita soal keluarganya, anak-anaknya juga. Aku yang paling dipercaya boleh masuk di rumah, bahkan di ruang pribadinya. Wah, hebat sekali. Kapan aku punya kamar begini, tempat tidur yang luks dan enak sekali.
Aku bekerja di kantor, di bagian ekspor dan komputer. Soal komputer aku paling pandai. Komputer inilah yang membuatku lebih dekat dan mendekati wanita yang paling cakep dan seksi di kantorku. Terus terang aku sekarang punya affair dengan manager keuangan, paling cantik dia di kantorku. Seksi? Bolehlah. Tapi aku sangat ingin menikmati seks dengan Cik Sasa. Wuah, aku suka membayangkan menggumuli tubuhnya yang seksi. Apalagi kalau aku melihat dari belakang. Paling membuatku tidak tahan. Habis, Cik Sasa punya pantat yang aduhai sangat merangsangku. Apalagi kalau dia memakai celana panjang. Wuah… kejantananku ini tegang minta ampun sampai maksimum (15 cm dengan diameter 3.5 cm). Aku suka membayangkan melakukan senggama dengannya dari belakang dengan menungging.
Aku juga ingin menikmati seks dengan adik ipar istri bossku, Cik Nina. Aku terobsesi menikmati tubuhnya yang sangat seksi. Adik ipar bossku ini lebih seksi segalanya dibandingkan Cik Sasa dan Ima (manager keuangan). Kalau ke kantor.. wah selalu berpakaian seksi dan ketat. Tubuhnya yang memang berbodi gitar, buah dadanya besar, ukuran 36 kali. Wah aku ngiler kalau dia menemuiku dan bicara soal internet dan komputer. Aroma tubuh dan polah tingkahnya sangat menantangku. Aku juga ingin menikmati tubuh Cik Nia. Cik Nia karyawan di bagian pemasaran. Aku baru sampai pegang-pegangan tangan saja dengan Cik Nia. Rambutnya sebahu, aku paling suka dengan kedua buah dadanya yang besar juga.
Dengan Ima, aku baru sampai pegang paha dan cubit bagian atas buah dadanya dan dia diam saja atau membalas manja kalau kami naik mobil. Dengan Cik Sasa, aku baru sampai pada tahap pegang-pegang tangan dan pinggang ketika aku mengoreksi pakaiannya yang seksi (padahal aku pengen memegang pinggang dan tubuhnya) tiga minggu lalu. Cik Sasa adalah peragawati di kantorku. Tapi bak durian runtuh, aku malah bisa menikmati tubuh istri bossku yang tak pernah kuduga.
Dengan kekasihku sekarang, aku belum pernah melakukan hubungan seks. Paling bercumbu sampai aku telanjang dan dia tinggal CD-nya saja. Kuharap ini kekasihku yang terakhir. Terus terang aku ingin menikahinya. Makanya aku tahan seksku padanya sampai pernikahan nanti.
Dua bulan lalu, kira-kira jam 9 malam, aku ditelepon istri bossku untuk menemuinya di hotel Santika. Dari suaranya, pasti ada masalah dengan suaminya. Hampir jam 10 malam aku baru sampai di lobby hotel. Dari lobby, aku kontak Cik Ling dan menyarankan aku lewat lift dari basement dan langsung masuk ke kamarnya. Aku turun ke bawah (basement) dan dari sana aku dengan lift naik ke lantai 6. Aku memencet bel kamarnya dan dibuka oleh Cik Ling sendiri yang memakai kaos dengan bukaan rendah dan celana pendek. Wah, aku terkesiap melihat bukaan dadanya yang makin montok sehingga membuatku berpikir yang bukan-bukan dengannya. Di kantor, kalau aku menghadapnya (Cik Ling juga direktur keuangan) aku seolah dibiarkannya melihat belahan dadanya. Bukannya ditutup (mestinya bisa) dengan blasernya, tapi blaser diregakkan saja dan dibuka lagi seolah membiarkan kedua belahan dadanya untuk kunikmati. Belahannya putih agak kecoklatan dengan leher panjang. Wah.. aku menelan ludahku sendiri.
Aku dipersilahkannya masuk dan duduk.
“Dimana koh Edward(suaminya), Cik..” kataku.
“Ooo suamiku ke Jakarta,” katanya.
“Ada apa sih Cik kok malam-malam begini?” Tanyaku.
Cik Ling mengambil dua minuman coke dan mematikan TV kemudian duduk di kursi (dia menariknya ke arah tempat tidur) agak mengahadapku. Cik Ling menerahkan Coke padaku dan aku minum hampir setengahnya. Cik Ling mulai gelisah dan aku bertanya lagi, “Ada apa Cik?”. Dengan menahan tangis Cik Ling menceritakan WIL suaminya yang di Jakarta. Cik Ling memang sudah tahu perselingkungan suaminya itu. Tadi sebelum ke Jakarta, Cik Ling pesan agar Ko Edward hati-hati. “Kurang apa sih aku ini,” katanya. “Aku istri baik, memberikan padanya tiga anak.” Cik Ling menikah sangat muda dengan tiga anak. Anak yang bungsu sudah kelas 1 SD. “Aku juga ikut senam dan membuat tubuhku tambah seksi,” katanya melanjutkan sambil menangis. “Sejak suamiku punya WIL, aku dibiarkannya merana dua tahun terakhir ini,” lanjutnya sambil menangis.
Aku terpaku mendengar itu semua, tidak tahu apa yang harus kukerjakan. Apalagi ketika dia tambah menangis keras. Kedua tangannya menutup wajahnya yang tertunduk. Wah, untung ruangannya kedap dan terkunci. Lalu kutarik kursiku dan duduk lebih dekat dengannya, di depannya.
“Cik,” kataku memecah kesunyian. “Cik Ling sabar ya? Pasti ini akibat Puber ke dua,” kataku. Aku memberanikan memegang pundaknya dan kepalanya. Cik Ling terdiam mendengar perkataanku seolah membenarkan. Ko Edward usianya 45 tahun, Cik Ling 37 tahun usianya. Jadi kupikir puber kedua setelah membaca buku psikologi yang pernah kupelajari.
Cik Ling memandangiku sebentar dan kemudian meledak tangisnya dan ya ampun, dia merebahkan kepalanya di pahaku. Aduh, mati aku. Aku nggak bisa menahan sesuatu yang bergerak mengeras di balik celanaku. Kuelus lagi kepalanya dan beberapa nasehat meluncur dari mulutku sementara pikiranku macam-macam. Apalagi aku bisa melihat belahan pungungnya (karena pakai kaos rendah). “Kok nggak pakai BH,” batinku. Kuraba kepala dan pundaknya, kulihat tangisnya mereda walau belum selesai benar. Karena aku tidak tahan dengan birahi di dadaku, aku telusurkan saja tanganku ke arah punggungnya yang terbuka bagian atas. Aku saat itu sudah sangat sengaja melakukannya dengan takut-takut. Oh my God, Cik Ling diam saja ketika aku melakukannya. Kuelus leher belakang, kepala belakangnya dan kuberanikan mengangkat kepalanya dengan memegang kedua pipi dan telinganya dari samping. “Cik Ling,” kataku sambil mata kami berpandangan. Kuambil sapu tanganku dan kuusap air mata di wajahnya. “Bibirnya bagus sekali,” pikirku. Ini kali pertama aku melihatnya sedekat ini, apalagi dia adalah direktur keuanganku. Kami berpandangan dan ya ampun, dia memejamkan matanya dan membuka sedikit mulutnya. Aku ingat kekasihku kalau kami mau bercumbu, dia pejamkan matanya dan bibirnya dibuka sedikit.
Kasihan Cik Ling, aku pikir pastilah suaminya sudah lama sekali tidak menjamahnya, menyetubuhinya. Karena kesempatan itu datang, kuraih saja bibir Cik Ling. Kukecup beberapa kali sebelum akhirnya aku mengulum bibirnya dan Cik Ling membalasnya. Oh God, aku dapat durian runtuh malam ini. Pikiranku sudah dipenuhi dengan birahi dan ingin menikmati tubuh Cik Ling di Hotel Santika malam ini. Ahhh, lembut sekali bibirnya, kami menikmatinya dan lidahnya, lidahku menari-nari. Kutelusuri lehernya yang panjang dengan mulutku sementara tanganku memegangi tangannya, meremasnya. Ahhh, Cik Ling kegirangan menyambut cumbuanku. Dia pasrah. Apalagi ketika tanganku mulai merambati pinggang dan menggapai kedua bukitnya, kuelus dari luar kaosnya yang tanpa BH itu. Aku menikmati sementara mulutku menelusuri lehernya dan turun lagi memutari dada atasnya. Cik Ling mendesah-desah dan mendesis kegirangan. Lalu kami berdekapan, kutuntun Cik Ling ke arah tombol musik yang tersedia dan kuraih chanel yang tersdia di hotel. Kami berdekapan lama sambil berdiri mengikuti irama musik instrument.
“Aku milikmu Jo, malam ini.” kata Cik Ling memecah kesunyian. Aku dipanggilnya dengan Jo, seperti yang biasa dia lakukan di kantor. Dia berkata begitu sambil tangannya melepas celanaku, bajuku dan semua yang melekat padaku. Aku telanjang di depannya. Didekapnya aku, diraba dan elusnya batang kejantananku yang sudah mengejang keras. Jantungku serasa lepas. Lalu kami bercumbuan lagi. Aku membalikkan tubuhnya dan kucumbui Cik Ling dari belakang. Mulutku menelusuri lehernya, punggungnya, pipinya, telinganya dan dilingkarkannya tangan Cik Ling di kepalaku, kulumat bibirnya. Tanganku meremas kedua bukitnya dengan lembut dan membuat gumpalan itu makin mengeras. Cik Ling menggeliatkan tubuhnya, melengkung ke depan. Ahh, pemandangan yang indah kulihat. Kulepas kaos merahnya dan betapa indahnya kulihat buah dada Cik Ling, masih kencang dan cukup besar, puntingnya berwarna coklat sangat ranum dan membuatku lebih terangsang untuk memetik kedua buah dadanya yang siap panen dan kunikmati dengan mulutku.
Kubiarkan Cik Ling menikmati sensasi-sensasi yang kustimulasikan pada tubuhnya. Cik Ling membiarkan aku meremasi lembut kedua buah dadanya. Kulihat Cik Ling memejam dan menggeliat-geliat melengkung ke depan. Aku ingin menelanjanginya. Kuraih celana pendeknya dan kulorotkan ke bawah, Cik Ling melepas sendiri. Aku sekarang melihat gundukan pink di balik celana dalamnya. Kuraba gundukan itu dan Cik Ling bertambah menikmati dengan desah dan geliatnya. Kustimulasi dengan kedua tanganku sesaat dan akhirnya tanganku kumasukkan ke celana dalamnya, kulepaskan dan sekarang aku benar-benar melihat Cik Ling telanjang di dekapanku.
“Basah Cik,” kataku.
“Iya, aku sudah nggak tahan Jo. Aku sangat menikmati cumbuanmu sampai sekarang, dan aku ingin kau membuatku terpuaskan Jo. Ayo lakukanlah..” Pinta Cik Ling dengan manja padaku.
“Tapi Cik… aku..” aku ingin katakan bahwa aku belum pernah melakukannya pada wanita.
Gelora birahi di dadaku memuncak dan batang kejantananku sudah tidak tertahankan lagi. Cik Ling kupeluk erat dan membiarkan kepalanya bersandar di dada kiriku. Ahhh, manja sekali Cik Ling ini, pikirku. Kukecup pipinya, dahinya. Kukecup telinganya dan Cik Ling sangat menikmati sensasi gelora seks yang kulakukan padanya. Kubalikkan tubuhnya lagi dan Cik Ling berhadapan denganku. Aku mencumbuinya lagi. Dibiarkannya mulutku menelurusi leher dan dadanya. Aku hampir tidak tahan menahan geliat tubuhnya. Apalagi ketika aku sampai di dadanya. Ahhh, aku sangat menikmati kedua buah dadanya. Kuputar lembut dan membuat Cik Ling membusungkan dadanya sehingga aku semakin leluasa. Lenguhan, desahan dan geliatnya makin membuat birahiku meledak-ledak. Kupaguti bergantian kedua buah dadanya. Kukulum kedua puntingnya bergantian dan membuat tubuh Cik Ling makin menggeliat dan akhirnya aku tidak kuat lagi menahan tubuhnya, kubiarkan terjatuh di tempat tidur.
Kubiarkan Cik Ling makin ke tengah tempat tidur, aku memandangi tubuhnya yang indah. Cik Ling membuat gerakan-gerakan yang menandakan letupan birahinya sehingga membuatku sangat terangsang. Apalagi ketika dibukanya kedua kakinya dengan diangkat pahanya. Betapa menggairahkan. Kulihat gundukan hitam di puncak selangkangannya. Malam ini, pastilah akan menjadi malam pertamaku menyetubuhi wanita dan Cik Ling lah yang akan membuatku tidak perjaka lagi. Ini tekadku malam ini. Aku ingin memberinya kesan dan sensasi yang mendalam tentang diriku.
Kudekati tubuh Cik Ling dari samping. Tangannya menarikku. Kucumbui Cik Ling lagi. Aku mencumbuinya dari atas ke bawah dengan tubuhku merambat di atasnya. Kunikmati kedua bukitnya dengan leluasa dan tanganku menggapai kedua kakinya menelusuri liang senggamanya, membuat Cik Ling menggeliat mendesah lagi. Kutelusuri perutnya akhirnya aku sampai di liang senggamanya. “Oh, wangi sekali,” pikirku. Tapi belum sempat aku bertindak lebih lanjut, diraihnya batang kejantananku dan dikulumnya. Aku mendesis kenikmatan. Disedotnya batang kejantananku hingga masuk penuh di mulutnya. Ohhh, ini pertama kali mulut wanita mengulum batang kejantananku. Betapa nikmatnya sampai aku hanya bisa berkata “Ooohh Cik… ahhh..” dan pinggulku tergoyang-goyang mengikuti sensasi yang Cik Ling berikan melalui batang kejantananku.
“Oooh Cik, saya nggak kuat, mau keluar Cik,” kataku.
Tapi tak ada sahutan. Yang ada hanya hisapan dan kuluman yang makin membuat batang kejantananku mengeras. Aku mencoba menahan diri dengan menikmati liang senggamanya dengan mulutku. Akhirnya aku tidak tahan dan kumuntahkan sperma hangatku penuh di dalam mulut Cik Ling. Aku terdiam.. inikah namanya orgasme? Kulihat Cik Ling sangat menikmati dengan apa yang baru saja terjadi.
“Thanks ya Cik,” kataku. Dia hanya tersenyum tipis dan memelukku. Kucumbui lagi Cik Ling dan aku sangat suka menikmati kedua buah dadanya dengan putingnya yang ranum. Hal ini membuat Cik Ling bergelinjang kenikmatan. Kalau mulutku memaguti dan menggulumi yang kiri, tangan kananku meremas lembut yang kiri, begitu sebaliknya. Aku seperti bayi yang menikmati ASI dari samping. Kulihat gerakan kakinya yang merangsangku. Lalu sambil mulutku mengulum buah dadanya, kujulurkan tanganku menggapai liang senggamanya. Cik Ling makin menikmati permainanku ini. Kuelus liang senggama dan sekitarnya, membuat gerakan kakinya membuka lebar, semakin lebar menantiku menyetubuhinya. Kurasakan liang senggamanya yang makin membasah dan akhirnya ketika kedua kakinya masih mengangkang, aku bergerak dan berada diantara kedua kakinya. Kupandangi liang senggamanya dan kunaikkan kaki kirinya, aku menciumi pahanya lembut menukik ke bawah dan akhirnya aku mencumbui liang senggamanya. Kepalaku diremas-remas dan ditekannya, kudengar geliat dan desahnya makin menjadi-jadi. Kedua kakinya terbuka lebar di depanku. Aku sangat menikmati liang senggamanya. Ini kali pertama aku mencumbui liang senggama wanita. Aku mulai merasakan cairan dan membuatku makin terangsang dan Cik Ling memintaku agar aku segera menyelesaikannya.
Ditaruhnya kedua kakinya di pundakku dan batang kejantananku yang sudah kembali menegang kutuntun memasuki liang senggamanya. Kumasukkan sedikit demi sedikit dan kuputarkan di seputar liang senggama Cik Ling yang membuatnya melenguh kenikmatan sejadi-jadinya. Aku memasukkan lagi dan lebih dalam lagi dan akhirnya tertanam penuh di liang senggama Cik Ling. Kupegangi kedua tangannya, aku diam sejenak merasakan sensasi kenikmatan di sekeliling batang kejantananku, lalu kugoyangkan lembut sementara mulutku menikmati kedua puting susunya bergantian. Aku terus menggoyang lembut di seputar dinding kemaluannya. Aku merasakan Cik Ling mau orgasme. Kupercepat goyanganku dan kudengar suara teriakan tertahan, tubuh Cik Ling mengejang dan menjepit batang kejantananku kuat-kuat. Seketika itu aku merasakan spermaku mau keluar lagi. Akhirnya aku menikmati saat akhir yang sangat menggairahkan. Cik Ling mencapai orgasme, juga aku. Aku merasakan sangat kenikmatan. Aku tidak perjaka lagi.
“Thanks ya Cik,” kataku. Kukatakan itu ketika aku mengecup telinganya, bibirnya, dahinya dan menelusuri lehernya juga dadanya yang meninggalkan warna kemerahan. Tangannya masih agak menggelepar di kanan kiri seperti pelepasan.
“Cik, ini kali pertama aku menyetubuhi wanita,” kataku melanjutkan. Cik Ling tersentak dan aku meyakinkannya.
“Cik Ling lah yang merenggut keperjakaanku malam ini,” kataku sambil mengecup dahi dan pipinya.
Aku dipeluknya erat lagi dan aku membalasnya.
Malam itu aku tidur di hotel sampai pagi dengan kehangatan tubuh Cik Ling di pelukanku. Rasanya tubuh Cik Ling menjadi selimut hangat buatku. Pagi-pagi aku pulang ke rumah dan masuk kerja seperti biasanya walau aku merasa ngantuk. Tapi aku minum obat penguat agar tidak ngantuk dan terbukti cukup kuat menahan rasa kantukku. Apalagi juga dengan kedatangan Cik Ling. Senyumnya sungguh beda. Aku suka. Dan lagi-lagi aku sangat tertarik dengan kedua buah dadanya yang pagi itu nampak lebih mempesona buatku. Cik Ling sepertinya bangga. Aku diteleponnya dari ruangannya dan berkata terima kasih dan senang karena dapat membuatku tidak perjaka lagi.
“Gila!” Pikirku. Pengalaman dengan Cik Ling membuatku makin terobsesi menikmati tubuh gadis dan istri orang di kantorku. Aku ingin menikmati tubuh Cik Sasa. Aku ingin menyetubuhi Ima, Nia dan Cik Nina adik ipar Cik Ling.
Gila! Ketika aku menulis tulisan ini, aku sudah makin jauh dengan Nia. Dia istri Mas Budi. Aku ingin menikmatinya. Dan sudah kurencanakan di hotel dekat dengan rumahnya. Aku sudah belikan dia daster hitam untuk dipakai nanti dan dia menerimanya dengan suka hati. Ada hotel berbintang disana.
Sementara dengan Cik Ling, aku masih terus berhubungan. Yang paling gila adalah aku menyetubuhinya di rumahnya sendiri, di sofa di ruang multimedia. Dia memanggilku ke sana saat suaminya ke luar negeri dua minggu lalu. Karena memang aku pandai komputer dan multimedia. Jadi Cik Ling memakai alasan itu. Aku menyetubuhinya berkali-kali dan Cik Ling mengajariku berbagai posisi. Aku suka posisi dogy style, padahal sudah kurencanakan mau kuterapkan nanti untuk Cik Sasa.. entah kapan, tapi menjanjikan.
TAMAT

Istri Muda Sekdes

Kejadian ini kualami ketika aku kuliah kerja nyata di salah satu desa terpencil di Jawa Tengah. Aku menginap di rumah Sekretaris Desa tersebut, sudah berumur, sekitar 60 tahun, namun isterinya masih muda, sekitar 25 tahun, sebut saja Mbak Is.
Pada waktu itu aku kehilangan cucian celana pendek, ketika Mbak Is selesai mandi dengan memakai handuk yang terbelit menutupi sebagian tubuhnya, sambil membawa keranjang cucian yang sudah kering, masuk ke kamarnya yang hanya ditutup dengan korden. Aku mengikutinya, ikut masuk ke kamar untuk menanyakan apakah dia melihat CD-ku. Begitu kukuakkan korden kamarnya, aku melihat Mbak Is sudah melepas handuknya, tanpa sehelai benangpun. Kulitnya kuning, mulus, langsing dan kencang. Payudaranya berukuran sedang bulat. Aku kaget namun Mbak Is melihatku dengan tenang. Sambil menutup sebuah payudaranya dengan telapak tangan kiri, sedangkan telapak tangan yang lain menutup kemaluannya. Sedangkan payudara yang satunya masih menggantung dengan bebasnya. Aku sempat memangsa pemandangan yang jarang terjadi ini.
“Ada apa Dik Agus?” tanyanya dengan suara lembut.
“Anu Mbak, nggak. Lihat celana pendek saya nggak, Mbak..”
“Baru dicuci. Ditumpukan itu barangkali, coba saja dicari sendiri Dik Agus,” jawabnya sambil menunjukkan onggokan cucian. Sementara aku mengaduk-aduk cucian, ia mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tentu saja payudara dan kemaluannya, walaupun dari samping, cukup jelas terlihat olehku. Mulanya aku agak tidak enak, tetapi karena Mbak Is bersikap cuek, maka aku pun nekad menatap secara langsung pamandangan itu dengan berani.
“Tubuh Mbak Is, masih singset ya,” pujiku mesra.
“Ah, Dik Agus bisa aja,” katanya dengan tenang, tetapi kemudian ia tersentak, “Eh, kok liat-liat Mbak, kan saru,” bisik Mbak Is membuyarkan lamunanku.
“Habis, rejeki kan tidak bisa dibiarkan,” kataku nyengir.
“Uh, dasar..” kemudian ia cepat-cepat mamakai pakaian.
Jam 8 malam, karena tidak ada hiburan TV, dan suasana sudah sangat sepi, aku pergi tidur. Pak Sekdes kebetulan sedang menginap di rumah isteri tuanya. Lampu minyak tempel kuredupkan, dan bersiap untuk memejamkan mata. Tiba-tiba ada orang masuk ke kamarku. Setelah kuamati bayangan itu ternyata Mbak Is.
“Dik Agus belum tidur ya,” sapanya mesra.
“Belum mbak,” sahutku.
“Mbak Is kedingingan nih, nggak bisa tidur,” balasnya dan duduk di tepi tempat tidurku.
“Tidur di sini saja Mbak,” ajakku penuh birahi.
“Nggak apa-apa nih,” balasnya dengan senyum menggoda.
“Nggak,” bisikku.
“Tapi jangan macam-macam ya,” katanya sambil tertawa genit.
Kugeser tubuhku ke kanan memberikan ruang bagi Mbak Is berbaring di sampingku. Mulutku terkunci lagi, karena gejolak yang sangat hebat berkecamuk di dalam dada ini ketika ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Bau parfumnya membuatku semakin bergejolak.
“Dik Agus sudah pernah melihat perempuan telanjang nggak,” akhirnya Mbak Is membuka percakapan.
“Belum, kalau anak-anak sering, eh maksud saya baru sekali, lihat Mbak tadi..”
“Apa Mbak masih singset sih?, khan Dik Agus bilang begitu tadi,” tanyanya manja.
“Iya betul Mbak, betul, seperti di gambar porno saja,” jawabku.
“Dik Agus punya foto begituan.”
“Punya, sebentar ya saya ambilkan..”
Kuambil majalah berwarna kategori triple X, kubesarkan lampu minyak di dinding.
“Dik Agus dapat dari mana majalah ini,” sambil menerima majalah yang kuberikan.
“Serem..” komentarnya, tapi matanya terus menatap gambar orang sedang senggama. Pada gambar lain tampak adegan 69, dimana saling menjilati kemaluan lawannya.
“Mbak pernah ngisep barangnya Bapak, nggak,” tanyaku dengan berani.
“Ah, Dik Agus ada-ada saja, jijik ah,” jawabnya pura-pura malu.
“Enak Mbak, seperti ngisep kemaluan, khan enak,” kataku lagi meyakinkan
.”Memangnya Dik Agus pernah?” sambil menatap wajahku dalam-dalam, menjadikan aku gelagapan.
“Belum, cerita teman-teman saya yang sudah kawin. Mbak mau disun kemaluannya,” pancingku nakal.
“Ah Dik Agus ini ada-ada saja, malu ah,” Sambil tangannya menyingkirkan tangan saya yang sudah melingkar di perutnya. Tapi tanganku kembali merangkul tubuhnya, kali ini agak ke atas dekat dengan buah dadanya.
“Emang Bapak nggak pernah ngesun barangnya Mbak?” tanyaku.
“Ah, Bapak kan sudah tua, nggak mau yang macem-macem,” obrolan yang semakin menjurus ini menjadikan kemaluanku makin mengeras, sehingga celanaku terasa semakin sempit.
Aku terus mencari akal agar malam itu tidak terbuang sia-sia. Belum sempat aku menemukan caranya, tiba-tiba ia menarik tanganku ke atas sehingga menyentuh buah dadanya yang montok. Aku segera bereaksi dan mulailah mengelus-elus buah dadanya. Kulihat wajahnya sudah berubah, nafasnya memburu, kusingkap gaun tidurnya ke atas, dan ia membiarkannya bahkan melepasnya sendiri. Dan kemudian melepas BH-nya, sehingga buah dada montoknya yang tadi siang kulihat, kini dapat kusentuh, kuelus-elus dan kupencet-pencet kekenyalan buah dadanya. Mbak Is kembali berbaring, bibirnya menyambut dengan hangat ketika kucium Mbak Is. Sambil berciuman tanganku bergerilya, sampai di sekitar kamaluannya. Kuelus pahanya dan akhirnya kemaluannya dari luar celana dalamnya. Mbak Is semakin liar mempermainkan bibirnya dan lidahnya, melumat habis bibirku. Kuselipkan jariku lewat samping celana dalamnya meraih liang senggamanya, ternyata sudah basah kuyup. Bersamaan dengan itu, ia raih pula kemaluanku. Kubantu membuka celanaku dan semua yang menempel di bajuku.
Dengan kencang ia terus memegang kemaluanku, seakan sudah menjadikan haknya dan tidak ingin melepaskannya. Sementara aku terus mencium semua permukaan kulitnya. Sampai pada bukit kembarnya, kuisap, kusedot dan kujilati puncaknya hingga membuatnya semakin memburu nafasnya. Begitu kuteruskan jelajahanku ke bawah lepaslah pegangan di kemaluanku, sampai dipusar dan terus ke bawah sampailah di selangkangannya. Kulebarkan pahanya, tetapi dia menahannya.”Jangan ah, malu,” sambil merapatkan pahanya dan menutupi kemaluannya dengan tangannya.Aku terus menciumi pahanya, menjilati dan mengecupnya. Lama-lama makin ke dalam pahanya. Mbak Is mulai mengendorkan kakinya, kubuka pelan-pelan pahanya. Pelan-pelan pula ia mau membukanya. Sampai akhirnya rela juga mengangkangkan pahanya dengan lebar, sehingga membuatku mempunyai ruang yang jelas untuk menyaksikan pamandangan yang sangat membangkitkan nafsuku itu. Segera kusergap bagian yang sangat dirahasiakan wanita itu. Begitu lidahku kupermainkan di bibir kemaluannya sebelah atas. Ia segera menjerit histeris sambil menjambaki rambutku. Pinggulnya dia angkat tinggi-tinggi, gerakannya semakin liar sambil mulutnya meneriakkan suara yag tidak jelas. Kemaluannya semakin basah saja, bercampur dengan ludahku untuk memberikan kehangatan pada liang senggamanya. Beberap menit kemudian ia sampai pada puncak yang tertinggi, disertai dengan lengkingan yang tertahan karena wajahnya ditutupi bantal. Tubuhnya menegang dan pinggulnya diangkatnya tinggi-tinggi. Beberapa detik kemudian terkulailah dia.
Selanjutnya kuambil posisi, kuarahkan kejantananku pada liang kemaluan, pada tubuh yang lunglai itu. Mbak Is diam saja, hanya sekali-sekali menciumiku. Aku masukkan batang kemaluanku pada liang senggamanya yang basah kuyup sehingga licin luar biasa. Mbak Is diam saja ketika kugenjot dengan cepat sehingga buah dadanya tergoncang kesana kemari. Mbak Is mulai merasakan kenikmatan lagi, makin lama dahinya makin dikernyitkan pertanda birahinya mulai naik. Tetapi lahar yang sudah lama kubendung keburu keluar, segera kutarik. Mbak Is, mulanya menahan bokongku, agar kemaluanku tetap terselit di lipatan kemaluannya. Tetapi karena tenaganya sudah habis, lepas juga kemaluannya dan kukocok dengan cepat sehingga muncratlah di atas perutnya yang indah.
Mbak Is dengan takjub menyaksikan peristiwa muncratnya spermaku. Lalu tersenyum manis.
“Kok nggak dikelaurin di dalam,” tanyanya.
“Nanti kamu hamil,” jawabku mesra.
“Paling Bapak juga nggak tahu kalau itu anakmu,” jawabnya dengan enteng.
Sejak saat itu aku jadi jarang pulang, ketika hari Sabtu dan Minggu kupergunakan mencuri-curi waktu agar bisa bermain dengannya. Apalagi kalau sedang sepi. Misalnya tidak ada cukup waktu untuk melakukan senggama, maka ia aku suruh saja mengocok hingga keluar.
Sejak itu sepertinya Mbak Is semakin ceria saja. Sampai selesai waktu KKN-ku, aku tidak kurang melakukan senggama secara sempurna sebanyak delapan kali. Tanpa ada seorangpun yang tahu dan curiga. Dan ternyata ini membawa berkah lain, yang paling menonjol adalah cara Mbak Is dalam melayani suaminya yang sepertinya berlebihan.
TAMAT

Kamar 315

“Temui aku di Hotel H kamar 315, tapi sebelumnya telp dulu ya Dik Sakti, siapa tahu Mbak Ratna sedang keluar sebentar…” begitulah pembicaraan yang singkat yang maknanya dapat aku pahami dengan cepat. Oh ya, Mbak Ratna sudah mengenalku kurang lebih setengah tahun, tapi selama setengah tahun tersebut, kami hanya sebatas berteman, karena perbedaan tempat yang cukup jauh, aku di kota S sedang Mbak Ratna di kota J. Dia mengenalku dari Mbak Vian, ya semoga pembaca masih ingat dengan kisahku di “Gelora Di Kolam Renang”. Tapi aku tidak tahu apa hubungan antara Mbak Vian dengan Mbak Ratna, menurut Mbak Vian sih hanya teman dari “milist groups” (aku lupa namanya), di situ Mbak Vian cerita tentang hubunganku dengannya. Dan Mbak Ratna minta bagaimana agar bisa dikenalkan denganku.
Singkatnya, pertemanan setengah tahun berjalan sebatas kirim e-mail dan telepon, tapi tentu saja dia yang telepon duluan. Mbak Ratna adalah janda beranak 2, dia bekerja di bidang Public Service sebuah perusahaan finance di kota J, tidak jelas bagaimana ia menjanda, yang pasti mantan suaminya orang melayu. Dari yang kubayangkan selama ini lewat pembicaraan telepon, fisiknya sedang-sedang saja, hanya suaranya, ya.. suaranya yang aku ingat selalu, berat dan serak, mungkin karena dia perokok berat.
Berbekal uang recehan, aku datang ke hotel H, dan melalui public phone, aku telepon ke kamar 315. Cukup lama nada dering telepon aku dengar dan tidak ada yang mengangkat, tiba-tiba…
“Halo…” lho kok suara laki-laki? pikirku.
“Maaf Mbak Ratna ada?”
“Sebentar, dari siapa ini?”
“Sakti, saya sudah janji untuk bertemu sore ini,”
“Tante, ada orang namanya Sakti, katanya mau ketemu…”
Terdengar suara mengeras memanggil nama Ratna. Tante? Siapakah gerangan laki-laki ini?
“Ya Dik Sakti, aduh maaf Tante masih terima Hand Phone dari teman di J, langsung aja deh naik.”
Begitu pintu terbuka, aku kaget, ternyata bayanganku tentang Mbak Ratna meleset seratus persen! Umurnya 37 tahun, sedang aku saat itu masih 25 tahun, kulitnya coklat, tidak cantik, cenderung gemuk tinggi tubuhnya yang 160 cm dengan berat 75 kg.
“Wah maaf ya, kenalin ini saudara Mbak di S, namanya Andi, dia anak dari kakak Mbak yang paling tua, kebetulan sedang kuliah di sini ambil jurusan… apa Di?”
“Manajemen,” jawab Andi singkat sambil berjabat tangan formal sekali.
“Semester berapa kamu Di?”
“Baru semester dua kok Tante.”
“Oh ya ini Sakti, dia yang membantu Tante urusan kantor di S,” jawabnya menutup-nutupi yang sebenarnya, dan aku mendukung apa yang dikatakannya.
“OK deh Tante, karena sudah ada Mas Sakti, Andi permisi dulu, besok keretanya jam berapa sih, biar Andi antar sama mama sekalian,” tawaran Andi dijawab singkat Mbak Ratna.
“Ah, nanti aku telepon Mbak Ning deh, sekalian besok minta dijemput main ke rumahmu, salam buat mama dan papa ya, sampai ketemu besok.”
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam,
“Sampai dimana tadi Sakti… oh ya, selamat berjumpa deh dengan Mbak Ratna? Bagaimana menurut Dik Sakti? Mbak Ratna gemuk ya? Hayoo jujur saja, nggak perlu bohong?”
“Iya, untuk ukuran Mbak Ratna memang tergolong gemuk, tapi nggak apa kok, lagian kami sudah akrab kan setengah tahun ini,” aku mencoba mencairkan suasana.
Mbak Ratna menyulut sebatang rokok Mild dan menawariku,
“Terima kasih, aku lebih suka Dji Sam Soe Filter,” sambil ikut merokok kepunyaanku sendiri.
“OK, sengaja aku tidak cerita fisik Tante, takut kalau Dik Sakti nggak mau ketemu.”
“Ah Mbak Ratna salah mengira aku, aku tidak melihat wanita dari fisiknya kok, gemuk, kurus, cantik atau tidak, China atau Pribumi, pendek atau tinggi, yang penting ‘permainan’-nya.”
Tiba-tiba aku langsung nyerocos.
“Lagi pula, aku juga tidak tampan dan bertubuh atletik kan? aku hanya laki-laki biasa yang beruntung bisa menemani beberapa wanita yang maaf lho Tante… seperti… Mbak Ratna ini.”
Tiba-tiba, belum selesai rokok satu batang, Mbak Ratna langsung merangkulku dan melumat bibirku. Didekapnya tubuhku, dan terasa sesak nafasku karena tubuhnya yang gemuk langsung menindihku di tempat tidur. “Dik Sakti, sudah sembilan bulan ini Mbak Ratna belum merasakan sentuhan laki-laki, tolong Mbak Ratna ya… oohhkkk,” suaranya yang berat dan serak memecahkan kesadaranku untuk ikut melayani permainannya. Bayangan tubuhnya yang gemuk sudah hilang dari pikiranku, karena untuk pertama kali ini, aku menemui wanita yang berani langsung tanpa pemanasan. Dan ciumannya aku akui sangat panas (mungkin karena sembilan bulan puasa). Belum selesai permainan pertama, Mbak Ratna sudah mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu. Dan hebatnya, sambil melepas pakaian, tangannya yang satu tidak berhenti meraba kemaluanku yang masih rapat tertutup celana. Aku sudah tegang sejak ia mempermaikan kemaluanku.
“Ookkhhhh, Sakti, tunjukkan dong sama Mbak, kemaluan kamu, sudah tegang tuh… okkkhh yeesss,”
Tidak sampai satu menit, kami berdua sudah polos. Tubuh yang gemuk itu, berukuran payudara sedang-sedang saja, tetapi rambut kemaluannya jelas terawat sekali, panjang, lebat tetapi lurus, dan sudah basah karena terangsang. Batang kemaluanku langsung saja dituntun ke mulutnya, dan hisapannya… “Aaauu, pelan-pelan Mbak, sakiiit!” rupanya Mbak Ratna terlalu terburu-buru. Kubimbing dia untuk bermain pelan-pelan. “Terus Mbak! yaaa, teerrusss, ohh, pelan Mbak, ohh terus, nah begitu,” sambil mukanya maju-mundur, burungku terus dijilati seperti es krim. Tidak perlu lama-lama menunggu, aku mulai ikut mempermainkan bibir kemaluannya. Karena sudah basah, aku tidak perlu kerja keras untuk mengajaknya memasukkan batang kemaluanku ke lubang kemaluannya. Dan rupanya Mbak Ratna masih ingin mengulum batang kemaluanku, walaupun sudah amat sangat keras dan tegang, apa boleh buat, aku hanya bisa menunggu giliran untuk menusuk lubang kemaluan yang sudah sangat basah itu.
“Ohhk my God, Mmmbakk,” suaraku bergetar, karena sudah ingin memuntahkan sperma. Sepuluh menit hanya mengulum saja, segera kupercepat gerakan, dan agak tersedak Mbak Ratna semakin liar menghisap kemaluanku. Dan aku mengeluarkan sperma di mulut Mbak Ratna, tidak banyak, tapi cukup untuk memuaskan nafsuku yang pertama. Aku klimaks hanya dengan oral seks saja, dan Mbak Ratna masih mengulum habis sekalian membersihkan sisa sperma di kemaluanku. Dan lima menit kemudian, burungku sudah mulai bereaksi kembali. Kali ini Mbak Ratna semakin bernafsu, dan belum tegang benar, aku sudah dikangkanginya, posisiku di bawah, dan Mbak Ratna di atasku. Wah, aku hampir sulit bernafas, sepertinya (sialan) kali ini aku benar-benar habis dikuasai permainan Mbak Ratna.
Dengan dibimbing tangan kiri Mbak Ratna, burungku digenggam dan diarahkan ke lubang kemaluannya. Mmhh… hangat terasa dan diikuti suara gesekan kemaluan dan dinding kemaluan sebelah dalam. Mbak Ratna mulai bergerak naik-turun, dan aku pasif saja menyaksikan apa yang sedang dikerjakan. “Oh ya… ohhkk yaaa, uuuchhh,” Mbak Ratna sangat aktif sekali, gerakannya semakin tidak teratur, kini mulai bergerak maju-mundur, dan kadang-kadang menghentak, dan setengah melompat, seolah-olah ingin menancapkan burungku dalam-dalam ke lubang kemaluannya yang sudah sangat licin. “Dik Sakti adduhhh, gimana ini, oohhh ssshitt, aauuwww, ohhkk,” entah teriakan apa lagi yang kudengar, Mbak Ratna semakin buas memainkan pinggulnya, tetapi sangat berirama dengan keluar-masuknya batang kemaluanku ke lubang kemaluan Mbak Ratna.
Tiba-tiba Mbak Ratna berputar membelakangiku dengan posisi masih di atas, dan batang kemaluanku tertancap di lubang kemaluannya, Mbak Ratna bertumpu dengan kedua kakinya dengan posisi jongkok kembali menaik-turunkan tubuhnya, ohhhkkk, sangat aktif sekali. Kini aku hanya melihat bagian pantatnya saja, sambil sesekali melihat gerakan kemaluanku yang sudah basah dilumuri cairan dinding kemaluan Mbak Ratna tampak keluar-masuk di lubang yang nikmat sekali. “Oocchh, please… huuhhh… hhuhhh… ooohh ohhhh,” gerakannya makin cepat, dan kini jelas sangat tidak beraturan. Kasur seperti bergerak dihantam gelombang oleh permainan Mbak Ratna sedang aku hanya rebahan menikmati permainannya. Dan tiba-tiba, dia memperlambat gerakannya dengan hujaman ke bawah yang sangat keras, dengan demikian burungku menusuk sangat dalam ke mulut kemaluannya. “Aauuhh,” sedikit sakit karena dipaksa.
Semakin lambat gerakan Mbak Ratna, tetapi suaranya makin kencang (semoga tidak terdengar sampai keluar). “Yeess… yesss.. yeess… uuhhh, aakkhh, aakhhh, oohhh, oh.. oh.. oh.. ohh.. yees, ouucchh.. oouucch, please, pleease… pleeeassee, aaoucchh, shhitt!” Hening, dalam sekali batang kemaluanku menusuk ke lubang kemaluan Mbak Ratna, dan dibiarkan tetap di dalam, sementara Mbak Ratna menggeliat, seolah ada gerakan otomatis di dinding kemaluannya yang mengurut-urut batang kemaluanku dengan gerakan menjepit dan melebar, menjepit kembali dan tiba-tiba hangat terasa, seperti ada cairan tambahan.
Ya, aku sampai pada puncak klimaksku, ketika dalam diam tersebut, ada gerakan otomatis dari dinding kemaluan Mbak Ratna, seolah-olah meremas kemaluanku dengan sangat teratur dan diselingi desiran cairan kental yang membuat licin, sehingga batang kemaluanku terasa berdenyut-denyut dipompa oleh dinding kemaluan Mbak Ratna. Dan kejadian yang singkat ini berlangsung kurang dari setengah jam, adalah permainanku yang terakhir di kota S. Sekarang aku sudah di J, sekota dengan Mbak Ratna. Tetapi sejak di kota J ini, justru aku tidak pernah lagi berhubungan dengan Mbak Ratna. Sejak kejadian yang pertama dengan Mbak Ratna, kami masih sempat bercinta 3 kali di kemudian hari, dan seperti permainan kami yang pertama, aku hanya diam saja menyaksikan permainan Mbak Ratna yang agresif dan kutunggu sesuatu yang istimewa, gerakan dinding kemaluannya, yang belum pernah kutemui dengan wanita yang lain.
Ketika pembaca membaca pengalamanku ini, aku beruntung dapat meneruskan hobiku di kota J ini, karena selalu saja ada pembaca yang ingin berkenalan dengan mengirimkan e-mail ke alamatku. Dan dari perkenalan tersebut, walaupun tidak semuanya, ada beberapa yang berani mencoba untuk bercinta denganku. Dan kepada pembaca yang ingin berkenalan dan siapa tahu juga tertarik untuk mencoba, aku tunggu e-mailnya. Salam buat Ratna (yang melepas keperjakaanku, baca kisahku selanjutnya, Anggi, Mbak Vian (cewek Chinese yang seksi), Mbak Ratna (yang liar) yang sudah berbagi kepuasan denganku.
TAMAT

Karena Salah Sambung

Aku sedang asik membuat laporan cashflows project yang harus kuselesaikan dan mengirimkannya malam itu juga ke perusahaan partner kami di Paris. Aku ditemani oleh seorang “OB” yang meski sudah beristri dan memiliki 1 orang anak, masih suka senang meladeni/mencari-cari orang yang salah sambung telepon ke kantor. Jam di meja kerjaku 10.30 tapi lampu (line) telepon masih menyala, sambil istirahat sebentar, kucari pesawat mana yang masih online itu. Belum sempat ketemu, “OB”-ku sudah panggil aku lewat intercom dari pentry tempatnya ber-online ria, “Bang, ada yang mau ngomong nih.. ambil yang kelap-kelip ya..” (Bang = Abang; “OB” kantorku yang satu ini selalu meng-Abang-kan).
Dengan malas kuangkat gagang telepon, sambil teriak ke “OB”-ku itu.
“Siapa Nang?”
“Angkat aja.. Bang,” jawabnya lagi sambil teriak dari pentry (pentry dengan mejaku agak berjauhan).
Pada akhirnya salah sambung ini berkelanjutan jadi menarik. Nama orang yang “salah sambung” itu adalah Lia dan dengan setia akan meneleponku setiap 2 minggu sekali setiap jam 21:00 – 24:00 dan akhirnya aku juga jadi menunggu-nunggu telepon dari Lia. Perlu kuberitahukan di sini, sejak pertama telepon, Lia (aku memanggilnya “Li”) ini bicaranya tidak jauh dari selangkangan dan pusar, dan mungkin ini juga yang membuat aku ketagihan melayaninya.
Hingga pada 4 bulan berikutnya, hari Sabtu kami copy darat. Dari situlah baru aku kenal Li dengan wajah melayunya, kulitnya putih, tinggi 162 cm, berat 55 kg, payudara 36C, betis kecil, pantatnya kecil tapi pinggulnya lebih lebar (bahenol), usianya sekitar 35 tahunan. Terus terang, fisiknya dari dada ke bawah lebih meruntuhkan iman, ketimbang wajahnya. Setelah makan dan ngobrol ngalor ngidul, kami ke luar.
“Li, mau terus pulang atau ada acara lain lagi nih..?”
“Aku tadi ijin keluar mau ke Bogor, tempat temen waktu SMA, jadi kayaknya kalo pulang sekarangmasih kesiangan deh.. kita jalan aja yuk..!”
“Kemana?” tanyaku, sambil menggoda nakal.
“Ah.. kamu ngelantur deh…” sambil mencubit pinggangku.
aku hanya meringis, sambil aku langsung gandeng pinggangnya menuju mobil di parkiran. Keluar dari Wendy’s, aku langsung mengarahkan mobil ke tol Jagorawi. Setelah masuk tol,
“Kok, kita ke sini.. mau kemana?”
“Ya.. ke Bogor lah.. paling tidak kan, kamu nggak terlalu banyak bo’ongnya.”
Lia diam saja sambil merenggut manja dan memalingkan wajah ke luar.
Kupegang bahunya, “Jangan marah gitu doong, eh.. tapi kamu manis juga kalo lagi cemberut gitu..” lagi-lagi Lia mencubitku di pinggang. Kali ini kubiarkan, malah kutangkap tangannya dengan tangan kiri, dan kutaruh tangannya di pangkuanku. Lia tidak menarik tangannya, malah mengelus-elus perlahan bagian terlarangku sampai menggeliat di balik celana. Mobil memasuki jalan desa di pesisir Kali Cisadane dan berbelok masuk ke rumah yang kubeli untuk beristirahat.
“Li.. kita udah sampai, yuk.. masuk..” aku mendahului langsung masuk kamar, membuka kaos dan jeans lalu menggantinya dengan celana pendek.
“Li, kalo kamu mau pakai celana pendek atau kaos, di dalam ya..” teriakku dari dalam.
“Iiihhh.. emangnya aku mau langsung ngamar gitu..” sambil berjalan ragu-ragu, melongokkan wajah ke pintu kamar.
“Eh.. yang mau begituan siapa…?”
“Aku mau berenang di kali bawah, kalo kamu mau ikut, ganti kaos dan celana pendek, nih…”
Belum lagi Lia masuk, aku sudah berlari ke luar dan di pintu bertabrakan dengan Lia yang maumasuk. Kami jatuh bertindihan dan tertawa bersama-sama. “Li, gila nih.. aku jadi kepinginbanget… tadi niatnya mau berenang, tapi jadi berubah kebelet gini…” Dengan refleks kubopong Lia ke dalam kamar dan kubimbing untuk berdiri sambil kupeluk dari belakang, mulut dan bibirku ramai dengan kecupan rangsangan yang lembut namun bergairah di telinga, tengkuk, dan leher, tanganku mengusap-usap di sekitar perut. Ketika rangsangan itu menjalar di dadanya, Lia membalik, “Gi… Aku juga spaning, nih…” sambil bibirnya terbuka dengan gemetar sensual karena gairah, mencari-cari bibirku. Kulumat bibirnya, kukecup bibir bawahnya dan kuputar dan kulepaskan dan langsung memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Belum lagi Lia siap, aku sudah menangkap lidahnya dan menghisapnya dalam-dalam, sambil tangan kiri menopang punggung, tangan kanan menjalar di antara dua bukit kembar bergantian. Lia terlihat sangat bergetar, menahan gejolak akibat rabaan tanganku di dadanya dan sedotan mulutku pada lidahnya sembari berjalan perlahan ke belakang untuk bersandar pada dinding kamar. Kutarik lepas BH-nya, aku agak renggangkan dan mengangkat tangannya ke atas untuk melepas t-shirtnya, dan menarik turun jeans beserta celana dalam yang dipakainya.
Lia tidak ketinggalan menarik lepas celana pendek dan CD yang kukenakan sekaligus, aku pun melepas kaosku sendiri. Sehingga kami sudah berbugil ria tanpa sehelai benangpun yangmelekat. Pada posisinya berdiri kujilati sekitar permukaan vaginanya, jari-jariku bermain indah menyibakkan rambut di belahan kemaluannya yang coklat kemerahan dan lembab yang beraroma khas wanita, menciumi bibir luar vagina sebelah luar dan menjepitnya dengan bibir serta menariknya dengan lembut, melepaskannya, dan berulang-ulang, terlihat Lia menggeletar dan sedikitmembungkuk, menahan geli dan gejolak yang luar biasa, “Ssshhh.. ah… Gi… ssshhh.. aduuhhh.. enak bangeeet… ssshhh… ahh…” kumasukkan lidah ke dalam liang vagina dan mengeluar-masukkannya secara teratur. Vagina Lia sudah banjir air liur dan cairan birahi kewanitaannya.
Lia memegang rambutku dan menekan-nekan kepalaku ke arah vaginanya, sambil menceracau. “Ogi.. ahhhh.. ssshhh… terus masukin lagi… sayang… aduhh… ahhh… lebih enak oralnyaini dari pada online, sayanggghhh… ssshhh… ahhh…” (Selama kurang lebih 4 bulan Liaselalu melakukan “bercinta/mastubrasi” selama sedang online denganku). Kubimbing Lia untuk merebah di lantai yang berkarpet, dan kuputar tubuhku 180 derajat sehingga posisi “69″, dan langsung dilahapnya kemaluanku yang sudah menegang dan mengacung melengkung ke atas, dikulum, disedot, bukan main nikmatnya, sampai-sampai tidak bisa berkonsentrasi untuk mengerjaivaginanya. “Aahhh… agghhh… ssshhh agghhh…” Hampir 10 menit kami melakukan posisi itu, dan sambil mengangkat pantatnya dan pinggulnya, Lia mengeluarkan cairan dari vaginanya, lembut hangat terasa di ujung lidahku. Aku seka dengan lidah dan kusedot sampai kering, nikmat sekali protein itu, dan Lia berhenti sejenak untuk ketegangan dan orgasme yang dilaluinya. “Ahhh.. ahh.. ayo bikin aku keluar lagi sayang…”
Kuusap lagi vaginanya dan menekan-nekan di antara lubang vaginanya yang kiri dan kanan, sambilmenarik-narik rambut kemaluannya, sambil menjepit klitorisnya dengan bibirku. Sekali-kali kujulurkan lidahku menyentuh bagian dalam vaginanya, dari kekenduran sehabis orgasme. Vaginanya mulai terlihat menegang kembali, terus kupacu sampai kembali berdenyut-denyut seperti nadi. Sementara batang penis dan “topi baja” tak henti-hentinya dikerjai dan dijilati oleh Lia, yang hampir aku tidak kuat menahan. Sebelum terlontar, ternyata Lia sudah benar-benar “siap tempur” di vaginanya. “Ayo, Gi… masukin kontol kamu ke memekku, aku udah enggakkkh shhabar.. nihhh..ahhh..” Kulepaskan perlahan penisku dari genggaman dan kulumannya. Posisi kami sekarangberhadap-hadapan, kuangkat/berdirikan pahanya dan posisi telapak kaki tetap pada karpet, sehingga vaginanya benar-benar terlihat dan terkuak dengan lebarnya, dan kupandangi.
“Li, memek kamu seksi banget, belum pernah aku nemuin yang kayak gini..” (berbohong).
“Ayooo.. dong Gi… udah nggak nahan nih.. kok cuma diliatin aja sih,” sambil memegangi paha.
Terus ke arah vagina yang sudah lembab dan licin itu, kuarahkan penis yang sudah menegang melengkung dan mengkilap kepalanya itu ke vaginanya. Perlahan-lahan masuk, dan dengan tiba-tiba kutancapkan sampai sedalam-dalamnya. “Aghh.. gila.. kamu.. asshh..” tanpa menjawab kuputar searah jarum jam berkali-kali dan ke arah sebaliknya tanpa menarik penis, baru perlahan-lahan kutarik dan tekan, mulailah ceracaunya, “Aaghh.. Gi… ahhh.. aggghhh…” aku juga mengalami hal yang sama, “Li… memek kamu hangat, dan kayak ngejepit kontolku nih.. ahhh… aggghh…” Peluh sudah membanjir di tubuhku dan Lia, cairan birahi telah membanjir di dinding vagina Lia,sehingga menimbulkan suara yang romantis dan binal, “Ssebbbh… beebb… sebb…” berulang-ulang.
Lebih 15 menit kutarik keluar seluruh penisku, sehingga menimbulkan bunyi, “Plob…” Lia benar-benar sedang “on” dan nyaris klimaks, dan langsung melihat ke arahku.
“Kenapa dicabut sayanghh…”
“Sabar, ya… kamu udah mau keluar khan.. tahan dulu yah..” sembari ganti posisi sambil kami istirahat, biar asik klimaksnya.
Tanpa menjawab Lia setuju dengan alasan yang kuberikan. Kutelungkupkan posisi merangkak (doggy style) dan kumasukkan ke vaginanya, terpeleset… dan dengan bantuan tangan Lia akhirnya penis yang sudah mengkilap saking tegangnya itu berhasil masuk ke dalam, dan mulai menarik dan mendorong pantat untuk menikmati permainan ini sampai puncak. kuraih bukit kembar yang bergelantungan, kuusap putingnya, kutarik-tarik dan kutekan, kujilati punggungnya yang penuh dengan peluh. Terlihat Lia menegang dan aku tidak tahan lagi, kucabut penis dan kubalikkan posisi Lia menjadi terlentang, kembali kumasukkan penisku ke vaginanya terus kupertahankan irama permainan sesantai mungkin. Rupa-rupanya cara inilah wanita yang biasatergila-gila dalam mencapai orgasme klimaksnya yang tiada tara.
“Gi… tekan sayang… ahhh…. agghhh… ssshhh..” bergantian ceracau kami berdua. Kamisama-sama menegang, terus berpacu dengan kenikmatan gelora yang tiada tara, dan pada hampir menit ke-50, kubisikkan kepada Lia,
“Aku.. udahhh… mau keluar… sayangghh.. aggghhhh… ssshhh.., bagaimana dengan kamu..?”
“Aku juga mau keluarhh…” jawab Lia sambil merem-melek.
“Ayoo… kita keluarin bareng yahhh… aduhhh… ssshhh… agghh…”
Kami menegang, Lia menjepit pinggangku dan menjambak rambutku. Kuhisap bergantian puting bukit kembarnya sambil sekali-kali kumasukkan semuat-muatnya gundukan bukit itu dan kuhisap serta dilepaskan. Lia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak tahu mana yang lebih nikmat pada penghujung permainan seks ini, dan aku tidak tahan, hampir bersamaan kami keluarkan cairan bersamaan, seolah tidak ada kering-keringnya. Hampir 14 kali tembakan penisku menyemburkan sperma di dalam vagina Lia, demikian Lia juga kurasakan mengalir seperti mata air, air mani yang dikeluarkannya pada saat klimaks.
Pulang dari Bogor, kuantar Lia ke rumahnya. Sampai di rumah, ternyata Lia masih berhasrat lagi, kebetulan di rumah hanya ada anaknya yang sudah kelas 2 SMU sedang tidur siang dan pembantu sedang mencuci di belakang. Aku khawatir juga, karena bermain api di kandang macan.
“Suamimu pulang jam berapa?” tanyaku pelan.
“Dia sih jam 9 malam baru sampai,” jawab Lia sambil menyodorkan minuman marquisa dingin.
“Yuk.. kita ke atas!” ajaknya sambil manarik tanganku, dan lagi-lagi aku menurut.
Baru saja kami melakukan warming up dan saling membelai dan berciuman, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan-lahan dan entah sudah berapa lama Ita anak Lia berdiri di situ sambil memperhatikan mamanya sedang aku kerjai, sampai pada suatu waktu kami melihatnya dan refleks menghentikan segala aktifitas.
“Kok berhenti Mah..” aku diam dan sedikit pucat, lebih-lebih Lia, sebaliknya Ita dengan tenangnya menghampiri kami.
“Mah.. tenang aja, Ita ngerti kok, Ita juga udah pernah kayak gini, sama Mas Andre.”
Belakangan aku tahu Andre adalah pacar Ita. Dengan mengorbankan aku, Lia bilang,
“Ini Mas Ogi mau pulang, tapi maksa Mamah untuk dicium, Mamah malu, jadi ngasihnya di sini aja (atas loteng),”
Lebih terkejut lagi, aku dan Lia,
“Udahlah Mah… aku udah tahu kok kesepian, Mamah terusin aja, dan pasti aman, tapi asal aku boleh liat.”
Kami berpandangan, tapi jengah untuk meneruskan. Dengan santainya, Ita membukapakaian SMU-nya, dan terus memandangi kami. Akhirnya Lia memeluk Ita dan meminta maaf, tapi dengan halus Ita mendorong Lia dan mengalungkan tangannya ke leherku dan menciumiku. Hilang semua kekakuan, dan akhirnya Lia membantu melepaskan pakaian yang kupakai dan akhirnya melepas pakaiannya pula. Jadilah pertandingan 2 lawan 1. Gila anak dan ibu sekaligus. Ita ternyata memiliki gaya konvensional, meski dia sudah beberapa kali melakukan hubungan seks, sehingga mau tidak mau Lia harus mengalah ketika Ita kukerjai dan kulumat. Yang paling banyak kami lakukan adalah dengan gaya telentang atau duduk dan bergantian. Lia dan Ita di atas sambil ber-rodeo di atas rudal yang berdiri kokoh. Ketika Lia menggunakan doggy style, Ita berada di atas punggungnya (tidak sampai menduduki) dan vaginanya mengarah ke mulutku dan kukerjai habis-habisan sampai berkali-kali. Ia menjerit karena klimaks prematur akibat sensitifitas rangsangannya yang begitu peka.
Lia telah bercucuran peluh, aku dan Ita juga serupa, dan permainan itu hampir 2 jam kami lakukan karena Ita cepat keluar dan cepat sekali “on”, sementara Lia terkontrol karenasedikit agak malu bersaing dengan Ita, serasa spermaku terkuras habis. Jika dengan Lia, kumuntahkan di dalam vaginanya, sedangkan dengan Ita kukeluarkan di mulutnya. Ita dengan terampil menyedotnya sampai tuntas. Sampai akhirnya kami terkulai lemas di kamar atas, ketika sedang maghrib, aku diam-diam meninggalkan kamar itu dengan lunglai. Sejak itu tidak pernah lagi Lia menghubungiku, dan aku pun segan untuk menghubunginya, namun permainan seperti ini baru sekali dalam pengalaman seks-ku. Ma’afkan dan terimakasih untuk Lia dan Ita atas pengalaman itu, karena salah sambung.
TAMAT

Karena Sebuah Lagu

Sejujurnya, aku merasa menyesal berdomisili di Surabaya, karena panas dan lingkungannya tidak sesuai denganku. Akan tetapi aku harus menjalaninya karena aku sedang dalam masa menuntut ilmu, kuliah. Dan, aku semakin betah sejak mengenal Tante Stella, tetangga sebelah.
Untuk mengisi waktu luang, aku membentuk group musik bersama teman-temanku. Kami memilih aliran latin sebagai anutan. Seperti biasa, kami latihan setiap sabtu pagi di beranda rumah kontrakan. Kebetulan rumah kontrakan kami berada di lingkungan perumahan yang mayoritas dihuni oleh keturunan Chinese.
Pagi itu aku kebagian lagu di mana aku harus menyanyikannya. Oh ya, kami semua bisa bernyanyi dengan baik. Latihan pun dimulai. Aku membawakan lagu Habla Me dari kelompok Gipsy Kings dengan serius dan menghayatinya. Ketika asyik-asyiknya menyanyi, tiba-tiba pintu rumah tetangga depan terbuka. Dari dalam keluar seorang wanita yang tak asing lagi bagi kami. Dialah Tante Stella, wanita berumur sekitar 35 tahun. Dia juga seorang guru les piano, disamping sebagai ibu rumah tangga tentunya.
Pagi itu dia tampak cantik dan seksi, dengan celana ketat hitam berpadu dengan kaos ketat hijau muda tanpa lengan menambah kecantikan wajah Chinese-nya yang putih bersih. Dadanya yang menantang tampak sedikit tersembul di balik pakaiannya yang tampak hot. Dengan senyum manis dia berjalan mendekat seolah-olah ingin memberi penilaian atas lagu yang sedang kami bawakan. Teman-temanku tampak salah tingkah. Aku sendiri sempat tidak konsentrasi ketika secara naluriah aku memandangi bagian dadanya yang aduhai.
“Lagunya bagus”, pujinya singkat.
“Terima kasih Ci”, balasku spontan. Kami memang biasa memanggilnya Cici.
“Gimana kalo Cici coba gabungkan dengan piano.. akan kedengaran luar biasa.”
“Ide yang bagus Ci”, sambar Tigor temanku dengan cepat, seolah-olah dia sudah membayangkan hal yang sedap.
“Tapi Cici cuma perlu seorang gitaris saja, biar tidak terlalu berisik”, katanya sambil menatapku penuh arti. Alamak, dadaku berdesir.
“Kamu aja, lagian kamu kan yang nyanyi tadi”, lanjutnya.
“Iya Ci”, balasku. Tampak jelas teman-temanku seketika lemas.
“Besok jam 5 sore”, katanya seraya meninggalkan kami.
Hari yang ditentukan tiba juga. Aku merasa deg-degan karena baru pertama itu aku melihatnya jelas sekali. Dengan pakaian daster yang santai tapi mengundang birahi, membuat darahku mengalir tak menentu.
“Orang rumah pada ke mana Ci”, tanyaku.
“Ke mall.”
“Ohhh..”
“Pianonya sebelah sini”, katanya sambil menunjuk ruangan di sebelah pojok.
Aku menenteng gitarku yang tadi kubawa. Dia segera duduk di kursi piano dan memintaku menyanyikan lagu yang kemarin, sambil dia mencoba menyesuaikan dengan permainan pianonya.
“Suara kamu bagus, seksi…” pujinya tentang suaraku yang serak-serak basah.
Saat itu pikiranku sudah tak menentu. Entah kenapa, batang kejantananku tiba-tiba menegang.
“Cici punya tablature lagu latin yang agak klasik, mungkin kamu cocok menyanyikannya.. mari ikut Cici.. bukunya ada di kamar”, ajaknya.
Aku menurut saja ketika dibawa ke dalam kamarnya. Kamar itu mewah sekali. Foto-foto keluarga berjejer rapi di dinding yang putih mulus.
“Tolong kamu cari di sini”, katanya sambil berlalu.
Semula aku mengira dia hendak menyediakan air minum buatku. Tapi.., “Klikk..” Pintu kamar segera ditutupnya, dan dikunci.
“Ke sini dong”, pintanya sambil menarik tanganku. Dia merebahkan dirinya di ranjang empuk itu. Aku agak gemetaran juga ketika mendekatinya. “Temani Cici yaahh..” pintanya manja. Direngkuhnya tubuhku dan bibirku langsung dipagutnya dengan ganas. Aku yang masih agak bingung seperti orang bodoh.
Sesaat kemudian naluri alamiahku pun keluar. Bibirnya balik kuserbu dan mengeluarkan lidahku. “Oughhh…” dia mengerang. Sambil menciumi bibirnya, tanganku mulai bergerilya. Kuelus dadanya yang montok itu dengan birahi. Dia terus mengerang manja.
“Ci.. aku pengen liat dada Cici..” pintaku sambil melepas lumatan bibirku.
“Ini.. tapi buka sendiri yahh..” balasnya manja.
Aku membuka bajunya dengan agak terburu-buru. Wow.. indahnya. Sepasang payudara yang lumayan besar. Walaupun agak berkerut dimakan usia tapi bersih dan menantang. Segera saja kujilati puting yang satu sementara tanganku meremas payudara lainnya. Dia cuma bisa menggelinjang. Karena gemas aku memberi cupangan pada permukaan dadanya yang mulus.
“Ahh.. jangan, nanti suami Cici liat”, pintanya mesra.
“Oh.. maaf Ci”, balasku.
“Di jilat aja..” pintanya.
Kali ini tanganku bergerilya ke arah bawah. Sejenak aku berjongkok dan melepas celana ketatnya. Aku juga sekalian melepas celana dalamnya karena sudah tidak sabar.
“Sini Cici bukain punya kamu”, katanya. Dengan sigap dia mulai melepaskan pakaianku. Ketika CD-ku dibukanya dia sedikit terkejut. “Wuihhh…” pekiknya sambil tersenyum. Batang kemaluanku yang sejak tadi menegang tampak makin kokoh mengeras. Tak kuduga tiba-tiba langsung dipegangnya dan dikocok-kocok. Aku hanya bisa menahan kenikmatan sambil mengelus rambutnya yang indah.
“Ci.. diemut dong”, pintaku terbata-bata.
“Iya.. iya… sabar dong..”
Batang kemaluanku yang membesar di masukkannya ke dalam mulut mungilnya. Aku menarik dan mendorong kepalanya agar batang kemaluanku terasa terkocok di mulutnya. Dengan rakus dia menjilat dan mengulum batang kejantananku. Sesekali kuremas payudaranya yang empuk.
“Ci.. gantian”, kataku. Dia kutarik dan kusuruh telentang. Kakinya kutarik sampai lututnya tepat di pinggir ranjang. Pahanya kulebarkan dan aku berjongkok di depan liang kewanitaannya. Segera kujilati sambil mengocok senjataku sendiri. “Auuggghh.. ” serunya tertahan. Aku makin beringas. Lidahku kumasukkan ke liang sanggamanya sambil terus mengocok batang kemaluan. “Ini diremas sayanggg.. ahhh”, katanya sambil menarik tanganku tepat di payudaranya. Semakin cepat jilatanku mengitari liang kewanitaannya, dan remasanku makin kuat. Dia sampai menjerit menahan nikmat yang kupersembahkan buat Tante Chinese-ku yang cantik itu.
“Aduhhh, Cici nggak kuat lagi.. ayo dimasukin.. ayo.. ohhh”, dia meminta ketika liang kewanitaannya sudah digenangi cairan lendir yang beraroma khas itu. Sebagian lendir itu juga kucicipi karena gemas. Segera saja aku berlutut dan mengangkat kedua kakinya. Batang kenikmatanku kuarahkan ke liang senggamanya yang becek. “Ahhhh.. Oughh..” kami berseru berbarengan. Dengan ganas, kuhantam liang kewanitaan Tante Stella tanpa ampun. Terdengar bunyi berdecap di sela rintihannya yang menghanyutkan.
Permainan sudah berlangsung 20 menit.
“Ci.. nungging yah..” pintaku mesra.
“Tapi jangan main anus ya sayang..” balas Tante Stella.
“Iya Ci… santai aja”
Dari belakang dia kusodok sekuatnya. Gempuranku makin gencar sambil meremas kedua payudaranya. Dia pun hanya bisa berteriak kenikmatan. Ada beberapa cairan berjatuhan ke sprei tempat tidurnya. Ternyata Tante Stella sudah keluar. Tak puas dengan posisi itu, aku memutar tubuh dan membiarkannya di atas. Dia menari-nari sambil menggoyang pinggulnya dengan hebat. Aku hanya pasrah menerima rezeki ini. Dia pun mulai meremas payudaranya sendiri.
Suasana kamar ber-AC itu makin panas. Kami berdua berkeringat.
“Ahhh.. Ci.. aku mau keluar.. di dalam atau di luar nihh Ciii? tanyaku bergetar.
“Dalem aja sayang.. ayo, kita sama-sama.. saattuu.. duaaa.. ti..” pada hitungan ketiga aku menggenjot sekuat tenaga. Kupeluk dia sekuat tenaga ketika spermaku memancar keluar di dalam liang kewanitaannya. Aku juga merasakan cairan hangat membasuh batang kemaluanku di dalam sana.
“Ahhhhh.. Ci.. nikmaattt..”
“Ouggghhh.. ahhh.. yahhh.. yah..”
Kami pun terkulai lemas. Dia memelukku sambil tersenyum puas. Batang kejantananku belum kucabut karena aku tidak mau kehilangan kenikmatan yang tersisa.
Lima menit kemudian dia menyuruhku berpakaian.
“Nanti Cici hubungi kamu lagi yah…”
“Sering-sering ya Ci”, kataku nakal.
Aku pun keluar dari rumahnya dengan senyuman walau sedikit capek. Malamnya dia meneleponku dan berjanji untuk bercinta itu dua hari lagi. Hidup ini memang indah.
TAMAT