Jumat, 13 April 2012

Bayar Hutang Dengan Tubuh Istri


Cerita Dewasa 17 Tahun ini cukup panjang. Jadi siapkan waktu untuk membacanya :D
Saat turun dari ketiak, ciuman dan lumatan Pakde meratai lembah dan bukit di dadanya, Rini nampak menggelinjang hebat. Pinggulnya menggeliat dan meliuk-liuk menahan kegelian yang amat sangat seperti ikan moa yang terlepas buruannya dan secepatnya berusaha menangkapnya kembali. Dan Herman juga semakin kenceng merabai kemaluannya sendiri sementara wajah Pakde Karto makin merosot ke perut isterinya.



Tidak mudah bisa bertahan hidup di Jakarta apabila seseorang tidak memiliki kepandaian, stamina dan daya tahan terhadap berbagai tekanan dan kesulitan. Dan itu semakin aku rasakan. Sejak tiga tahun terakhir aku bersama istri yang baru kunikahi meninggalkan kampungku di Sleman, Yogya, menuju ibukota Jakarta untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Hingga kini kehidupan yang lebih baik itu belum juga aku memperolehnya.

Aku mau dan pernah melakukan pekerjaan apa saja sepanjang itu halal. Dari penjaga toko, narik ojek, tukang batu atau pekerjaan lainnya yang sesuai dengan apa yang aku bisa. Tetapi itu semua nampaknya belum menjanjikan masa depan yang lebih baik.

Kebetulan ada famili jauhku, Pakde Karto yang telah lama hidup di Jakarta dan mendapatkan kehidupan yang cukup mapan. Usahanya sebagai tengkulak tembakau untuk pabrik rokok ‘gurem’ nampaknya membuat hidupnya kecukupan. Kalau aku kesulitan uang Pakde Karto selalu menjadi tujuanku dan biasanya dia mau menolongku. Dia bilang kasihan pada istriku yang masih muda harus menderita hidup di Jakarta. Dia tidak mau mengajak aku kerja di tempatnya. Alasannya karena kurang suka mempekerjakan sanak famili. Dia bilang dirinya punya sifat gampang marah dan kasar. Khawatir sifat itu bisa menyinggung perasaan dan putus hubungan kekeluargaan. Walaupun begitu dia sangat memperhatikan kepentingan kami, khususnya kepentingan istriku. Terkadang dia belikan sesuatu, misalnya baju atau perabot dapur atau lainnya.

Hanya satu hal yang aku kurang sreg dengan Pakde Karto. Kalau aku minta bantuan pinjam uang dia tidak ijinkan aku ke kantornya. Dia selalu menyuruh sampaikan saja apa kebutuhanku lewat telpon, nanti dia akan datang. Dan dia memang datang. Dia berikan pinjamanku dan dia juga bawa oleh-oleh untuk Rini, istriku.

Selama berada di rumah kuperhatikan matanya yang selalu nampak melotot memperhatikan tubuh istriku. Beberapa kali dia bertandang ke rumahku, tak pernah sekalipun dia bawa istrinya. Aku pikir dia nggak mau kesukaan melototnya saat melihati istriku terganggu. Rasanya Pakde Karto ini bandot tua. Kadang-kadang sikapnya aku anggap keterlaluan. Seharusnya dia mengetahui dirinya sebagai panutan karena lebih tua dari aku. Tetapi dia tidak pernah menampakkan perhatiannya padaku. Kalau aku ngomong, dia menyahut ‘ya, ya, ya’ tanpa pernah lepas dari pandangan ke Rini dan sama sekali tak pernah melihat padaku. Terus terang kalau tidak terpaksa aku segan berhubungan dengan Pakde Karto ini.

Dari sudut fisik, Pakde Karto ini memang masih gagah. Pada umurnya yang memasuki 57 tahun, disamping wajahnya yang memang cukup ganteng, tubuhnya juga cukup terawat baik, tangannya ada sedikit berbulu. Tingginya sama dengan aku 175-an cm. Agak gendut, mungkin karena cukup makmur. Dan tampang bandotnya memang nyata banget. Aku yakin Pakde Karto suka mencicipi berbagai macam perempuan dan tidak kesulitan untuk mendapatkan ‘daun-daun muda’.

Akan halnya Rini, istriku, dia adalah gadis idamanku saat kami masih sama-sama satu sekolah. Aku duduk di kelas 3 dan dia kelas 1 di SMU 1. Kami langsung berpacaran sejak dia masuk ke sekolah. Aku bangga dapat dia yang hitam manis dan paling ‘macan’, begitu teman-teman menyebut ‘manis dan cantik’ untuk Riniku ini. Dengan tingginya yang 170 cm, dia termasuk gadis paling semampai di sekolah kami. Kalau ada lomba volley antar sekolah Rini selalu menjadi bintang lapangan. Bukan karena menang bertanding tetapi karena macan-nya tadi. Aku tahu banyak perjaka lain yang naksir berat padanya. Walau Rini pernah juga mendapatkan julukan ‘piala bergilir’, aku tidak merasa keberatan. Dan pada akhirnya akulah pemenangnya yang bisa menggandengnya ke pelaminan.

Sesudah melewati tahun pertama pernikahan, kami merasakan adanya kurang seimbang, khususnya dalam hal hubungan seksual. Secara sederhana, Rini orangnya ‘hot’ banget, sementara aku mungkin ‘cool’ banget. Aku merasa kewalahan kalau mesti menuruti kemauannya. Dia mau setiap hari berhubungan seks. Sementara aku merasa cukup 2 kali seminggu. Untuk memenuhi keinginannya Rini memberikan aku berbagai macam jamu atau obat kuat. Pertama-tama kuikuti kemauannya itu. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Bagaimanapun kapasitas normalku ya, seminggu 2 kali itu. Akhirnya solusinya adalah kompromi, aku akan selalu berusaha menaikkan kapasitasku dan dia sedikit menurunkan kapasitasnya. Hasilnya? Entahlah.

Walaupun belum mempunyai anak, karena kami sepakat untuk KB sampai keadaan ekonomi kami mantap, Rini tidak kekurangan kesibukkan. Dia sering menerima pesanan ‘caterring’ dari teman atau tetangga untuk hajatan-hajatan kecil di seputar rumah kami. Terkadang dia juga membuat makanan kecil untuk dititipkan ke warung-warung. Itu semua dia kerjakan dengan senang hati untuk mencari sekedar tambahan nafkah rumah tangga.

Dia juga suka mengeluh risih dengan sikap Pakde Karto. Tetapi dia bilang nggak mau terlampau risau dan tetap menunjukkan sikap sopan sebagai keponakan mantu.

Sejak beberapa bulan terakhir ini aku terseret pergaulan teman di kampung ikut main lotere buntut atau yang biasa disebut ‘togel’. Pada awalnya aku menyaksikan seorang teman menarik kemenangan sebesar 15 juta rupiah kontan. Aku langsung tergiur. Saat pertama kali aku pasang togel, Rini marah dan sangat tidak setuju. Tetapi sesudah aku berusaha menenangkannya akhirnya dia tidak lagi menentang walaupun tidak sepenuhnya menerima gagasanku. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya dari sekian nomer yang kupasang salah satunya berhasil menang. Aku berhasil menarik 1 juta rupiah. Dengan gembira uang itu kuserahkan seluruhnya kepada Rini. Ternyata istriku ini menerimanya dengan dingin. Aku tidak putus asa dengan sikapnya itu. Aku anggap itu sebagai tantanganku untuk memenangkan kesempatan berikutnya. Kini setiap hari aku selalu sibuk dengan togel. Setiap hari berusaha mencari kode-kode nomer bagus. Mungkin lewat mimpi sendiri atau mimpi tetangga, nomer mobil yang melintas atau mentafsirkan gambar-gambar kode yang kudapat dari bandar atau tanya ke dukun.Demikianlah hal tersebut berjalan beberapa waktu dan ternyata aku tak pernah lagi menarik kemenangan yang berarti.

Pada akhirnya aku benar-benar bangkrut. Dan tak ada jalan lain kecuali aku telpon ke Pakde Karto untuk pinjam uang. Setelah berbasa basi untuk keperluan apa uang itu dan kapan aku mengembalikannya akhirnya dia setuju untuk memberi pinjaman. Sebagaimana biasa Pakde Karto datang ke rumah. Walaupun hatiku resah karena ada satu nomer togel penting yang kuyakini akan keluar malam ini tetapi aku harus sabar sampai Pakde Karto menyerahkan uangnya ke istriku Rini. Kali ini rasanya aku nggak keberatan kalau Pakde Sastro akan melotot untuk menikmati kecantikan istriku. Silahkan, yang penting duitnya cepet turun.

Sesudah aku menanda tangani pernyataan hutang yang selalu telah disiapkan Pakde dan saat amplop uang diserahkan ke istriku yang untuk selanjutnya dibawa dan dia taruh di bawah bantal, aku cepat bergerilya.

Tanpa sempat menghitung kucomot separo dari tumpukkan uang itu. Dengan alasan akan ke warung beli rokok kutinggalkan Pakde Karto di rumah bersama Rini istriku. Aku tak sempat lagi memperhatikan wajah Pakde yang langsung hingar bingar sambil menganggukan kepalanya padaku. Yang kupikir sekarang adalah secepatnya menuju tempat bandar togel dan memasang nomer pilihan. Aku akan tunjukkan pada istriku bahwa memasang togel juga merupakan usaha yang bisa menghasilkan. Lebih dari separuh uang yang kubawa kupasangkan pada nomer pilihanku dan sebagian lainnya kupasang sebagai cadangan apabila nomer pilihan meleset. Aku yakin besok bisa mengembalikan utangku pada Pakde dan sisanya yang masih sangat besar akan kuserahkan seluruhnya pada istriku.

Demikianlah perputaran kehidupanku akhir-akhir ini. Nomer togel itu nggak pernah lagi kumenangkan. Rini selalu marah-marah dan semakin sinis padaku. Dan hutangku pada Pakde Karto sudah tak terhitung lagi. Pada hari-hari terakhir ini aku selalu lari menghindar kalau orang suruhannya datang mencari aku. Dan melihat wataknya Pakde Karto pasti akan terus mengejarku hingga uangnya bisa kembali.

Pada suatu pagi datang utusannya membawa surat. Aku tak berani menemuinya. Isteriku menerima surat itu,
“Datanglah ke kantor. Jangan khawatir. Ada jalan keluar yang sama-sama menguntungkan. Saya tunggu siang ini. Pakdemu.”
Ah, nampaknya kali ini Pakdeku benar-benar mau membantu keponakannya yang sudah pusing tujuh keliling. Aku berpikir dia akan suruh aku membantu pekerjaannya di kantor agar aku bisa melunasi hutangku. Sesudah aku pamit istriku tanpa ragu aku datang ke kantornya.

Di kantornya aku langsung diantar Satpam masuk ke ruangan Pakde. Pakde menyuruh aku duduk di sofa dan menyuruh Satpamnya yang nampak kekar berotot itu agar berdiri menunggu. Ternyata Pakde menampakkan wajahnya yang sangar. Dia melihati aku seperti seorang pemangsa melihati korbannya. Dengan pandangan matanya yang bak elang siap mencabik-cabik mangsanya Pakde berbicara dengan garang, “Begini Herman. Aku tahu kamu nggak mungkin bisa membayar hutangmu yang hingga saat ini telah mencapai lebih dari 15 juta rupiah belum termasuk hitungan bunganya. Sekarang hanya ada satu pilihan yang menyelamatkan kamu atau urusannya jadi lain,” dia mengakhiri omongannya sambil melirik ke Satpamnya.

Dalam keadaan yang sangat putus asa mana mungkin aku punya gagasan-gagasan untuk memecahkan masalahku. Dan tekanan Pakde Karto ini memang pantas aku terima. Aku memang sudah banyak janji tak bisa kupenuhi. Aku bangkrut dan istriku terus marah-marah. Maka secepatnya aku pasrah saja. Aku menyerahkan pada Pakde. Apapun jalan keluarnya aku akan menyetujuinya yang penting hutangku lunas. Nampak sikap Pakde melunak. Dia suruh Satpamnya meninggalkan ruangan.

Pakde mendekat sambil menepuk pundakku. Dia minta aku mendekatkan kupingku. Beberapa saat dia membisikkan usulnya. Sejak awal bisikkan kupingku sudah langsung panas terbakar dan aku benar-benar terpojok tanpa punya pilihan. Pakde bilang, aku bisa melunasi hutangku kalau dia boleh mengajak isterku Rini ke villanya. Kalau aku tidak setuju mesti melunasi hutangku dalam tempo 1 kali 24 jam atau urusannya jadi lain.

Masih ada tambahkan lagi, dia akan tidur bersama Rini selama 3 hari dan agar aku ikut juga ke villa. Pelayannya sengaja dia liburkan karena Pakde takut mereka lapor ke istrinya. Aku harus menggantikan tugas pelayan-pelayan itu untuk membersihkan kamar dan melayani kebutuhan Pakde bersama Rini istriku selama di sana.

Dia bilang hal itu terpaksa dia lakukan sebagai pelajaran untukku. Kini aku harus cepat pulang untuk menyampaikan hal ini kepada istriku. Besok pagi dia akan mengirim mobil untuk menjemput aku dan Rini. Kami harus berlagak sebagai suami istri yang datang dan menginap di villa itu. Pakde Karto akan datang sendirian menjelang sore hari yang akan berlagak seolah-olah sebagai tamu kami.

Rupanya naskah Pakde sudah dirancang secara matang. Mataku langsung berkunang-kunang mendengar bisikkan iblis itu. Aku tak ingat apa-apa lagi dan terjatuh lemas ke lantai. Saat aku sadar kulihat Satpam tadi sudah mendudukkan aku ke sofa. Aku diberinya minum. Aku masih terhenyak beberapa saat. Pakde Karto tak kulihat lagi. Dia hanya pesan pada Satpam untuk menyampaikan sebuah amplop. Saat kubuka kulihat dua puluh lembar 100 ribuan rupiah dan secarik surat, “Herman, besok mobil menjemput kamu bersama Rini, jam 7 pagi. OK?! Pakdemu.”
“Bajingan..!”

Aku tak melihat jalan keluar. Dengan sebelumnya aku minta maaf yang sebesar-besarnya, dengan susah payah aku sampaikan keinginan Pakde Karto. Istriku Rini menerima amplop Pakde Karto menengok isinya sambil mendengarkan bicaraku kata demi kata dan kemudian melihat aku dengan penuh iba. Aku tak mampu membaca perasaan dia. Dia nampak marah dan sangat kecewa padaku. Pasti sepertinya sangat dihinakan dan itu sangat menyakitkan. Aku juga langsung membayangkan Pakde akan menjamahi bagian-bagian tubuhnya yang indah dan sangat rahasia. Pakde akan melahapnya dengan kerakusan bandot tua. Dasar ibliiss..!!
Selesai aku bicara Rini rubuh ke lantai. Ah, kasihan kamu Rini.. Kamu jadi korban ketidak mampuanku. Aku gagal menunjukkan tanggung jawabku selaku suamimu. Aku sebenar-benarnya adalah suami yang pengecut. Ayoo.., bangunlah. Kuraih tangannya untuk bangun dari lantai. Dengan limbung dia tertatih dan bangkit. Dia langsung lari ke kamar tidur sambil menghempaskan pintunya. Kususul tetapi ternyata pintunya terkunci. Kucoba mengetok-etoknya. Akhirnya kubiarkan. Sebaiknya kubiarkan. Biarlah dia melampiskan kemarahan dan kekecewaannya dulu. Pasti dia tidak ingin aku mendekatinya. Dan pasti, entah bagaimana, Rini saat ini sangat memandang aku dengan penuh kehinaan.

Aku mencoba sabar dengan menunggunya hingga sore. Sementara rasa marah, cemburu, dendam, cemburu, cemburu dan cemburu terus mengejar aku setiap aku mengingat ucapan Pakde Sastro. Tetapi aku langsung ingat masa-masa masih pacaran dulu. Aku sering memergoki Rini, yang pacarku waktu itu, nampak jalan berduaan dengan teman lelaki yang lain. Waktu itu aku selalu berpikir positip. Aku yakin dengan kesabaranku akhirnya Rini akan tetap kembali ke aku. Dan itulah yang kemudian terjadi. Dialah yang kini menjadi Rini Herman, khan?! Jadi aku sesungguhnya sudah terbiasa dengan rasa cemburu yang kali ini berkobar dalam hatiku. Aku tetap akan berpikir positip adanya Pakde Sastro bersama Rini istriku selama di villa nanti. Apalagi dengan cara ini Pakde Sastro berjanji akan menganggap lunas seluruh hutang-hutangku.

Dan besok, aku bersama Rini harus telah siap saat mobil Pakde datang. Dari berbagai pikiranku yang campur aduk, harapanku tetap pada Rini. Harapanku Rini bisa memahami kondisi ini. Dan Rini siap untuk melayani keinginan Pakdenya.. Ah.. aku sudah semakin pusing.
Aku tak mampu lagi memikirkan tetek-bengek apa yang mungkin bisa terjadi. Lebih baik kini aku sedikt mencari hawa segar.

Kulihat amplop di meja. Aku ingat nomer impianku hari ini. Ah, nggak salahnya kalau aku ambil sedikit uang itu. Aku langsung bergegas ke bandar togel.

Cerita Rini Sang Istri

Masa sekolah adalah masa yang paling menyenangkan. Begitu lulus SMP 3 aku diterima di SMU 1 Sleman, Yogyakarta. Sebagai gadis remaja yang menginjak dewasa aku dimanjakan alamku. Alam telah bermurah memberikan aku kecantikan. Dan bak kembang yang sedang mekar, kumbang-kumbang di sekitarku setiap saat mengelilingi aku untuk siap mencicipi maduku. Dalam kelompok olah raga, dengan tinggi tubuhku yang 170 cm aku diterima sebagai anggota club volley SMU. Setiap ada kompetisi, biar kalah atau menang aku selalu menjadi bintangnya. Para jejaka antar SMU pada mengenali ‘macan’ku. Demikian mereka memberi julukan padaku yang mereka artikan sebagai manis dan cantik. Tentu saja hal itu amat membanggakan dan sekaligus membuat para siswi dan gadis-gadis cemburu dan iri. Aku bersikap ramah pada siapapun yang berusaha mendekati aku.

Beberapa pria memang memberikan kesenangan padaku. Aku pikir tidak salah kalau aku memberikan perhatian lebih pada mereka. Salah satunya adalah Ditto yang anak dokter itu. Dia sangat simpatik. Wajahnya yang tampan telah membuat aku kesengsem. Aku merasakan ciuman pertamaku dari Ditto ini. Duh.., rasanya selangit. Aku juga akrab dengan Usman. Dia anak yang paling cerdas di sekolahnya. Dia bercita-cita menjadi ahli pertanian dan peternakan. Kesulitan pelajaranku selalu kutanyakan kepadanya. Usmanlah yang menjadi pria pertama yang berani menjamah dan bahkan menyedoti buah dadaku. Saat itu, dia cerita tentang proses kelahiran ikan paus. Sesudah sekian bulan dalam kandungan ikan paus lahir sebagaimana binatang menyusui lainnya. Dia langsung bisa menyesuaikan lingkungannya yang di tengah samudra. Anak ikan paus langsung bisa berenang dan mencari susu induknya. Aku sangat menikmati saat dia memperagakan sebagai anak paus dan aku induknya.

Lain lagi dengan Pandi. Tubuhnya yang jangkung itu membuat dia menjadi banyak incaran gadis-gadis di kota kecil Sleman ini. Kuakui memang dengan jangkungnya itu dia nampak sangat menawan. Gadis-gadis suka cekikikan kalau membicarakan Pandi. Mereka berbisik mengenai penis lelaki jangkung yang dipercayai pasti panjang dan besar. Aku ingin menjadi yang pertama bisa menbuktikan bisikkan-bisikkan para gadis itu. Dan akhirnya aku percaya. Dan aku jadi blingsatan serta penasaran saat berkesempatan jalan dengan dia.

Saat itu dengan sepeda motornya dia mengajak aku menyaksikan Samudra Hindia dari Parangtritis yang tidak jauh dari kotaku. Sesudah menelusuri pantainya yang sangat indah kami beristirahat di tempat yang sunyi dari pengunjung kebanyakan. Sesudah melalui proses saling raba dan cium yang cukup lama, dengan tetap duduk di sepeda motornya Pandi membiarkan saat tanganku merabai tonjolan di selangkangan celananya. Aku juga tidak tahu kenapa nafas birahiku memburu. Tanganku melepasi resluiting dan menarik kebawah celananya.

Birahiku semakin tak tertahankan saat kulihat alur besar agak melengkung melintang dari balik celana dalamnya. Tanganku merabai, kemudian menyusup lewat tepiannya dan meraih penis itu. Woow.. gede banget. Telapak tanganku merasakan batangan sebesar pisang tanduk yang keras kenyal dan hangat. Batangan itu berdenyut-denyut menggoyahkan saraf-saraf birahiku. Kugerakkan bersama jari-jariku untuk mengelusinya. Kudengar suara yang sangat nikmat ditelingaku. Suara debur Samudra Hindia dan derai angin Parangtritis bersamaan erangan nikmat dari mulut Pandi.

Itulah untuk pertama kalinya aku melihat dan menyentuh dan bahkan mencicipi air mani lelaki. Saat mau muncrat kelakuan Pandi menjadi kasar. Kepalaku diraihnya untuk dipaksa mengulum penisnya. Air maninya yang kental keluar dari setiap denyutan penisnya. Karena dorongan birahiku, aku juga menjilati yang tercecer di pahanya dan juga di jok sepeda motornya. Aku nggak habis mengerti kenapa sesudah itu Pandi tak pernah lagi mengajak aku pergi.

Kuperhatikan teman-teman pria itu gede cemburuannya. Mereka mau monopoli aku. Aku menjadi kurang nyaman dalam kungkungan macam itu. Biasanya, kalau tidak mereka, ya aku yang meninggalkannya untuk pergi ke pria lain.

Akhirnya aku menikah dengan Mas Herman. Ternyata lelaki macam dialah yang bisa menerima aku dengan penuh sabar. Aku tahu Herman telah naksir berat padaku begitu aku menginjak SMU-nya. Sebagai yunior aku sering mendapatkan bantuan mengenai perpustakaan, grup olah raga atau acara antar siwa lainnya.

Herman memang sabar dan penuh toleransi. Bahkan saat dia melihat aku jalan berdua-an dengan anak lelaki yang lain Herman tidak merubah sikapnya padaku. Herman juga selalu jadi terminal dan tempat aku mengadu. Kekecewaanku pada pria lain kuceritakan apa adanya padanya. Dia sabar mendengarkan aku dan pada sikapku yang labil. Aku merasakan libidoku kelewat panas. Aku tidak hidup tanpa ada lelaki disampingku. Dan Hermanlah akhirnya yang selalu mengisi kekosonganku.

Saat kami sepakat pindah ke Jakarta aku sudah siap untuk menghadapi berbagai cobaan hidup. Aku punya bakat bertualang. Dan salah satunya sudah kubuktikan dalam hal berhubungan dengan lelaki. Aku tidak takut kesulitan di Jakarta. Aku yakin pada diriku, aku juga tidak khawatir dengan Herman yang selama ini mengetahui dan sabar menghadapi berbagai macam kesulitan.

Yang kurang aku setujui akhir-akhir ini adalah kesukaannya akan lotere buntut. Aku benci banget kalau lihat lelaki sibuk dengan lotere buntut atau togel itu. Di mataku mereka itu kumuh. Bayangkan saja, mandi saja rasanya tidak sempat. Mereka terjebak pada kertas-kertas kode. Sepanjang harinya hanya memikirkan ramalan-ramalan dukun atau firasat mimpi-mimpinya bahkan mereka ini sudah demikian rapuh dimana sebuah keyakinan bisa langsung buyar berkeping-keping oleh nomer plat mobil yang kebetulan melintas di depannya.

Itulah Herman hari ini. Dalam tempo pendek dia terlibat hutang yang besar. Pakde Karto adalah Pakde sepupunya yang kebetulan punya usaha yang cukup maju di Jakarta. Pada Pakdenya inilah Mas Herman minta pinjaman uang kalau lagi kesulitan. Pada awlnya pinjaman itu tak begitu besar dan bisa lekas dikembalikan saat ada sedikit rejekinya. Tetapi sejak bermain togel, kebutuhannya semakin tinggi dengan kemampuan pengembaliannya semakin rendah, bahkan boleh dibilang nol. Pakde sudah tidak mau memberikan pinjaman lagi. Bahkan beberapa hari terakhir ini orang suruhannya mencari-cari Mas Herman yang selalu menghindar. Terus terang aku repot banget menghadapi kenyataan ini.

Tadi pagi orang suruhannya kembali datang membawa surat. Aku terima dan baca. Dari nada tulisannya Pakde Karto akan memberikan jalan keluar yang sama-sama menguntungkan. Nggak usah kawatir, begitu katanya. Aku berpikir, mungkin Mas Herman dimintanya untuk membantu pekerjaannya agar bisa melunasi hutangnya. Aku sampaikan surat itu kepadanya. Dia minta pertimbangan aku, apa mesti menemui Pakdenya. Aku bilang itu urusan Mas Herman, terserah mau datang atau tidak. Aku memang agak ketus. Soalnya aku sudah kesal. Sejak awal aku sudah sampaikan bahwa aku tidak suka judi.

Akan halnya Pakde Karto, aku memahami sifatnya sebagai lelaki. Umumnya lelaki memang mata keranjang. Apalagi Pakde ini punya uang, dan tampangnya juga ‘handsome’ kata gadis-gadis jaman aku masih SMU dulu. Walaupun sudah umur, lelaki itu ibarat keladi, makin tua semakin jadi dan semakin seksi. Dan itu semua dimiliki Pakde Karto. Dan aku juga sepenuhnya menyadari bahwa Pakde nampak kesengsem padaku. Dari pandangan matanya kurasakan betapa dia pengin banget melahap tubuhku. Terus terang diam-diam aku menikmati mata keranjangnya Pakde. Tentu sikapku ini tak akan kutunjukkan pada Herman suamiku. Aku masih suka mimpi merasakan kembali bagaimana kumbang-kumbang terbang mengitari aku sebagai kembangnya. Kekaguman lelaki yang nampak matanya rakus menikmati tubuhku sungguh membuat bergetar hatiku. Mata-mata penuh nafsu yang seakan melihat aku telanjang itu benar-benar memberikan aku gairah birahi.

Aku memang berdarah panas. Aku selalu rindu belaian. Aku selalu merindukan sentuhan dan tusukkan erotis. Mas Herman suamiku berterus terang tidak bisa mengimbangi darah panasku. Aku sering membayangkan lelaki lain atau semacam Pakde Karto yang mampu memberikan kehangatan semacam itu. Kalau sudah begitu aku ingat kembali saat-saat bersama Ditto, Usman atau Pandi. Masih terasa banget dihidungku aroma mereka. Masih terasa banget dibibir dan lidahku di bibir, leher dan dada mereka dalam kecupan dan jilatan manisku. Masih terasa banget hangatnya cairan kental dari penis Pandi yang membasahi mulutku. Ah.., akankah hal itu akan kudapatkan lagi?

Memang Pakde Karto tidak lagi pantas menjadi panutan Mas Herman sebagai keponakannya. Setiap kali datang ke rumah yang semestinya urusannya sama Mas Herman, Pakde justru mengumbar matanya seakan hendak menelanku. Sering aku lihat dia hanya mengangguk-angguk saat Mas Herman menyampaikan sesuatu, sementara wajahnya melihati ke arahku.

Belum lama ini dia datang atas permintaan Mas Herman untuk meminjami uang, sesaat sesudah menerima uang Mas Herman yang sedang kegilaan sama togel pergi ke bandar togel untuk mengejar mimpinya dan meninggalkan aku yang hanya bersama Pakde Karto. Tentu saja Pakde langsung menggunakan kesempatan itu untuk lebih mendekati aku.

Dengan gaya seolah-olah orang tua yang melindungi anaknya, dia mengelusi rambutku,
“Rini, kalau kamu punya masalah biar Pakde bantu ya. Kamu masih muda dan sangat ayu. Seharusnya kamu nggak perlu menderita. Kamu perlu apa? Ngomong saja nanti aku bantu ya, Cah Ayu”.
Duh, gombalnyaa.. Aku merinding saat tangannya yang nampak berbulu sempat menyentuh kudukku. Kemudian dia merogoh kantongnya dan memberikan kepadaku amplop besar,
“Ini buat kamu sayang. Jangan kasih Herman. Nanti buat judi lagi.”
Tentu saja aku terima. Aku juga perlu uang pribadi. Aku bertemu pandang dengan Pakde,
“Terima kasih,” ucapku pelan yang dia balas dengan senyuman buaya sambil tangannya menjumput daguku kemudian menariknya untuk mencium bibirku.

Peristiwa itu sama sekali tak kuduga dan berlangsung sangat cepat sehingga aku tak sempat menghindarinya kecuali dengan secepatnya aku menarik diri dan melepaskan dari rengkuhannya. Ah, seharusnya aku tersinggung dengan tingkahnya itu. Tetapi entahlah. Sepertinya aku tidak bisa berkutik didepan Pakde Karto ini. Pada saat seperti ini rasanya dia sangat kharismatik. Aku tunduk. Aroma parfum lelakinya semburat menerpa hidungku.
Sepulang dari kantor Pakde kulihat Mas Herman sangat tegang, kasihan. Aku berjanji pada diriku, apapun aku akan bantu suamiku. Aku ingin meringankan bebannya. Dia langsung duduk bengong, linglung. Aku sodorkan segelas air putih yang langsung diminumnya habis. Dia belum juga ngomong. Diserahkannya padaku amplop yang penuh. Loh, kok dapat malahan uang, pikirku. Aku langsung membukanya. Kudapati segepok uang dan secarik kertas. Aku belum juga ngerti makna semua ini.

Pakde Karto akan menjemput kami besok pagi. Apa maksudnya? Mau menjemput kemana? Dengan penuh tanda tanya aku goyang-goyangkan tubuh Mas Herman. Akhirnya dengan tersendat-sendat dia bicara dan bicara. Aku mencoba menangkap kata per kata. Kemudian aku mencoba memahami rangkaian kata-kata tadi. Hingga akhirnya aku tetap tak mengerti bahwa seorang Pakde Karto akan caranya yang demikian buruk untuk bisa mendapatkan dan menikmati tubuhku. Ah, kenapa mesti begini..?!

Tetapi yang sesungguhnya paling menyedihkan dan langsung membuatku sangat kecewa adalah sikap Mas Herman sendiri. Dia sama sekali tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai suami. Dia ternyata hanyalah seorang pengecut. Dia dengan begitu tega mengorbankan aku sebagai isterinya. Dengan dia menerima amplop berisi uang yang kini ditanganku berarti dia benar-benar telah menjual aku dan menjadikan aku sebagai alat untuk membayar hutang-hutangnya dengan sama sekali tidak membicarakannya padaku terlebih dahulu. Dan kini, aku harus dan harus menerima buah kepengecutan dia. Aku langsung limbung. Kulihat dinding-dinding kamar oleng dan jungkir balik. Tubuhku sangat lunglai dan aku langsung terjerembab ke lantai. Aku kini merasa sebatang kara tanpa ada seorangpun yang melindungiku. Fungsi Mas Herman sebagai suami sudah musnah karena kepengecutannya. Dia tak akan pernah mampu menyelamatkanku lagi.

Kurasakan tangan Mas Herman menarikku bangkit. Pelan-pelan aku bangun dari lantai dan langsung lari ke kamar tidur. Pintunya kubanting dan aku mengunci diriku. Aku rebah tergolek dan tersedu di ranjang. Ketukan pintu yang bertubi-tubi dari Mas Herman tak kudengarkan. Kini yang hadir dalam hati dan pikiranku adalah rasa marah, kecewa dan dendam. Aku marah, kecewa dan dendam kepada kehidupan ini. Kepada ketidak mampuan dan segala kelamahan yang aku alami. Kepada sikap suamiku yang bagitu mengabaikan saat aku melarangnya berjudi. Dan tetap tak habis heranku memikirkan rencana Pakde Karto itu yang jelas-jelas mengorbankan hubungannya dengan keponakannya. Ber-jam-jam aku tidak keluar dari kamar. Pikiranku terus melayang-layang memikirkan banyak hal-hal. Aku menerawang jauh ke hari depan yang begitu gelap dan mendung.

Aku keluar kamar menjelang malam. Tak kujumpai Mas Herman. Kulihat amplop di meja setengah terbuka. Kuambil. Ternyata isinya tinggal separuh.
Edaann.., sungguh edaann.. kamu Mas.., dalam situasi begini kamu masih menyempatkan pergi untuk ke bandar togelnyaa..!! Edaann..!!
Tiba-tiba aku hatiku jadi menyala berkobar.. Kalau begini jadinya, sudahlah.. terjadilah apa yang mesti terjadi. Seperti dicambuk jilatan geledek dan petir aku bangkit sebagai banteng betina yang sangat marah dan kecewa. Aku mau bebas. Aku mau merdeka. Dan, ah, aneh.., tekad itu langsung membuat marah, kecewa dan dendamku langsung pupus. Kebebasan dan kemerdekaanku membuka kesadaranku bahwa aku tak perlu tergantung siapapun. Dan yakin mampu berjalan sesuai dengan rasa bebas dan merdekaku.

Sikap itu langsung membatu dalam diri sanubariku. Aku akan mengambil langkahku sendiri. Kini kuyakini, akulah yang harus mengambil keputusan untuk diriku sendiri. Tak ada lagi suami atau Mas Herman. Yang ada hanyalah aku yang sendirian dengan hari-hari depanku sendiri. Aku akan jalani apa yang mesti aku jalani. Aku akan jemput Pakde Sastro sesuai dengan kebebasan hatiku. Aku akan layani dan puaskan hausnya nafsu hewaniah Pakde Sastro. Aku akan mereguk kenikmatan syahwatku yang selama ini tak sepenuhnya kudapatkan. Aku akan tunjukkan pada Herman bahwa aku kini bebas se-bebas-bebasnya.

Cerita Pakde Karto

Setiap mengingat bahwa aku ini hanya jebolan SMP dari desa kecil di kecamatan Sleman, Yogyakarta, yang kalau aku turun di terminal saat pulang kampung masih memerlukan 1 jam lagi berjalan kaki dan nyeberangi kali hingga sampai ke rumahku di kaki bukit Menoreh, maka aku merasa bahwa apa yang kini aku bisa raih di Metropolitan Jakarta ini sungguh membanggakan.
Dan kalau aku pulang kini, ibaratnya aku cukup dengan duduk di jok empuk sambil nginjak-injak rem serta gas mobil Panther-ku sejak start dari pintu garasi rumahku di Jakarta hingga turun di samping kandang sapi orang tuaku di desa kecil di kecamatan Sleman itu.

Jakarta memang memberi apa yang kuminta. Usahaku yang menyalurkan tembakau untuk pabrik-pabrik rokok kecil di Jakarta membuahkan hasil. Aku menjadi pusat omongan di desaku.
Kalau kudengarkan omongan orang desa, aku kini sudah menjadi orang yang pantas menjadi contoh mereka. Nggak tahu dari mana asalnya, kalau mereka ketemu mereka memanggilku dengan ‘den Karto’. Aku nggak menampik panggilan itu. Aku anggap bahwa itu urusan mereka.

Yaahh.., semuanya itu karena kerja keras dan uang yang kuhasilkan. Terbukti dengan uang aku bisa meraih banyak kesenangan. Makan enak, rumah, beberapa mobil dan kesengan lainnya.
Bahkan biarpun umurku sudah 57 tahun dengan uang itu aku tetap dengan gampang menggaet gadis atau janda manapun yang kumaui. Memang menurut orang-orang aku juga termasuk lelaki yang memiliki tampang dan seksualitas yang lumayan.

Saat ini aku lagi kesengsem sama Rini istri Herman keponakan sepupuku. Pada awalnya Herman menemuiku di kantor untuk minta bantuan keuangan padaku. Aku memberikan bantuan ala kadarnya. Aku pikir nggak baik terlalu gampang pada famili, nantinya bisa jadi repot. Saat pulangnya, karena memang masih ada hubungan famili, aku antar pulang ke rumahnya untuk melihat keadaan rumah tangganya. Saat itulah aku lihat Rini. Isteri Herman ini benar-benar cantik dan manis. Pikiranku langsung terganggu. Aku tahu, perempuan macam Rini ini akan sangat galak dan panas saat di ranjang. Dengan warna kulit yang coklat hitam manis, dengan postur jangkung dan bahunya yang bidang indah itu, aku pastikan Herman kewalahan menghadapi birahinya Rini. Lihat, betisnya itu. Betis yang ‘merit’ bak padi Cianjur yang matang dan padat sebelum dituai. Itu menandai bahwa nafsu perempuan ini tak mudah terpuaskan.

Aku langsung kasmaran. Dalam hatiku aku langsung bertekad. Rin, kamu pasti akan tidur bersamaku. Aku akan meraihmu, lambat atau cepat. Sejak saat itu aku selalu menunggu kesempatan. Aku tak pernah menolak permintaan pinjaman uang Herman, karena memang aku selalu gunakan kesempatan itu untuk melihat Rini.

Suatu saat bisnisku mendapatkan kesulitan keuangan. Tagihan-tagihanku agak tersendat karena para langgananku mengulur waktu pembayarannya. Sementara para pemasokku yang dari berbagai daerah gencar banget menagih aku. Bahkan salah satu dari mereka mengancam aku secara fisik hingga aku khawatir akan keselamatanku maupun keluargaku. Aku menghadapi krisis berat, krisisnya bisnis di tengah metropolitan yang kejam. Aku kewalahan. Aku coba tengok-tengok kembali dimana uang-uangku. Dimana tunggakan-tunggakan macet.

Dan kudapatkan dari sekian penunggak hutang salah satunya adalah Herman. Ternyata pinjaman Herman padaku sudah kelewat besar dan telah jauh melewati batas waktu pembayaran. Ah, ini tak boleh kubiarkan. Aku tahu bahwa tak akan gampang bagi Herman melunasi hutang-hutang ini. Tetapi aku harus menagihnya. Bukankah terakhir ini dia suka pasang lotere buntut. Siapa tahu dia dapat pukulan telak yang bisa langsung melunasi seluruh hutangnya. Dan kalau toh tak bisa juga?
Bukankah ada Rini istrinya yang sangat seksi itu? Aku pikir biarlah hutang itu kuanggap lunas kalau aku bisa meniduri Rini barang 2 atau 3 hari saja. Kini kuperintah orangku untuk mendatangi Herman dan mengajukan surat tagihannya.

Setelah beberapa kali mencari-cari orangku tak berhasil menemui Herman aku mulai kesal. Masak bantuan dan kebaikanku padanya selama ini tidak dihargai. Setidak-tidaknya ada omongan atau janji kapan, begitu loh. Aku tersinggung dan marah. Herman ini mesti dikasih pelajaran. Dia harus tahu bagaimana aku Pakdenya menyelesaikan masalah-masalahnya. Aku harus cari siasat. Aku coba pikirkan dan analisa.

Kesimpulanku akhirnya, bahwa Herman tak akan mampu membayar hutangnya. Kuhitung telah lebih dari 15 juta rupiah, belum termasuk bunganya. Itu jumlah yang besar buatku kini. Aku tak mau rugi. Aku tak mau hasil jerih payahku begitu saja diambil Herman yang memang dasarnya pemalas itu. Aku harus mendapatkannya kembali uang itu. Kalau nggak bisa juga, aku harus dapatkan pengganti yang kira-kira nilainya sepadan. Rini, istrinya!

Kini Herman tinggal pilih, bayar hutang dengan uang atau Rini. Aku bergegas ke mejaku. Kutulis surat untuknya. Kuperintahkan orangku kembali mengantarkannya dengan pesan, kalau tak ketemu Herman, serahkan saja ke isterinya, suruh dia baca untuk disampaikan ke suaminya. Aku bersiasat dengan memberikan nada harapan pada surat itu. Aku minta datang ke kantor siang hari itu. Aku bilang jangan khawatir, ada jalan keluar yang sama-sama menguntungkan, tulisku.

Nah, akhirnya datang juga si pecundang ini. Dengan diantar Satpam dia masuk keruangan kerjaku. Aku menampakkan wajah sangarku. Kuperintah Satpamku agar menunggu dan mendengarkan bicaraku. Nampak wajah lelahnya. Aku bicara garang tentang hutangnya yang sama sekali belum dibayar. Aku berikan padanya kesempatan untuk mendengar bicaraku atau urusannya jadi lain. Nada bicaraku kubuat sangat menekan dia. Dan ternyata Herman langsung menyerah. Dia bilang terserah bagaimana aku. Yang penting dia ingin lekas terbebas dari hutang-hutangnya yang menumpuk itu.

Aku langsung bayangkan bahu bidangnya Rini. Juga betisnya yang bak beras Cianjur yang matang itu. Kutolehkan kepalaku ke Satpam. Kusuruh dia keluar ruangan. Kemudian aku mendekat ke Herman, kupegang bahunya dan kudekatkan bibirku ke telinganya, aku berbisik. Kuucapkan apa mauku. Aku mau mengajak Rini ke villaku selama 3 hari dan aku mau juga dia ikut untuk menggantikan tugas pelayanku yang kusuruh pulang selama aku bersama Rini di sana. Hal ini aku lakukan agar pelayanku itu tidak melihat apa yang kuperbuat dan lapor pada istriku. Kutekankan pula bahwa semua ini karena ulahnya yang tidak bertanggung jawab. Dia harus menerima pelajaran dariku.

Aku belum selesai bicara saat kulihat Herman nampak limbung dengan cahaya matanya yang layu. Dia rebah lemas ke lantai. Aku panggil kembali Satpamku untuk mengurusinya. Kuserahkan amplop berisi 20 lembar ratusan ribu rupiah berikut sedikit catatanku agar Rini bersama dia telah siap aku jemput besok jam 7 pagi. Aku percayakan pelaksanaan selanjutnya pada Satpamku, aku tinggalkan ruangan. Aku monitor sorenya. Tidak ada reaksi penolakkan dari Herman. Yaa.., dia nggak mungkin punya lain pilihan. Dan mengenai Rini. Aku yakin Rini tak akan menolakku. Aku masih ingat beberapa hari yang lalu saat aku mencuri ciuman dibibirnya, dia tidak menunjukkan kemarahan. Ah.. besok aku akan menikmati tubuh sensualnya. Aku menggigil menahan gelora birahiku yang langsung menyala.

Tiga hari di Villa Rimbun Ciawi

Pada suatu pagi hari, sekitar jam 7 pagi sebuah sedan Honda Civic keluaran terbaru dengan remnya yang berdernyit berhenti di depan rumah keluarga Herman. Seorang sopir yang amat sopan nampak turun, masuk kehalaman dan memberikan salam hormat kepada nyonya rumah yang rupanya sudah nampak tak sabar menunggunya. Tidak terlalu lama sang sopir menunggu, tuan dan nyonya rumah mengambil koper atau cangkingan lainnya yang telah disiapkan sebelumnya. Sesudah semua barang bawaan masuk ke begasi, Herman sang tuan dan Rini sang nyonya memasuki mobil. Ada sedikit insiden kecil. Rini mau Herman duduk di depan bersama sopir dan dia sendirian di belakang. Semula Herman menolak, dia ingat pesan Pakdenya mereka harus nampak sebagai suami istri yang akan memakai villanya.

Tetapi melihat kukuhnya Rini akhirnya Herman mengalah. Sepanjang hampir 1 jam perjalanan keduanya tidak banyak bicara. Hanya sesekali terdengar Herman ngomong sama sopir mengenai apa yang nampak sepanjang perjalanan. Adapun Rini kelihatannya sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Dia yang telah memutuskan dirinya sebagai pengambil keputusan bagi dirinya sendiri kini nampak tegar dan yakin akan keputusannya sebagai orang yang bebas dan merdeka untuk menentukan apapun yang terbaik bagi dirinya.
Walaupun saat ini dia masih dikuasai rasa muak dan telah kehilangan selera sama sekali untuk berbicara atau melihati tingkah suaminya itu, dia tetap berusaha untuk menghilangkan berbagai rasa kecewa dan dendam kepada siapapun teristimewa kepada Herman. Yang dia inginkan sekarang adalah menunjukkan kepada Herman bahwa dia berbuat apapun yang bisa dia perbuat sesuai keinginan hatinya.

Herman yang tadi malam baru pulang jam 11 malam untuk menunggu keluarnya nomer togel tidak memahami apa yang tengah berkecamuk pada diri istrinya Rini. Yang dia simpulkan hanya bahwa Rini ternyata mau menerima apa yang menjadi keputusan Pakde Karto. Dan itu artinya dia telah sukses dalam menjalankan misinya demi terbebasnya beban hutangnya pada Pakde Karto. Dia sudah tidak lagi dikuasai rasa cemburu atau rasa tertekan yang lain. Memang Herman termasuk lelaki yang paling mudah menyerah. Dengan sikapnya yang sabar dan selalu mau berpikir positip dia dengan cepat beradaptasi dengan kekalahannya. Tentu saja cara begini ini membuat rancu antara orang sabar dengan pikiran positif yang sejati versus orang yang memang tidak memiliki motivasi, daya juang dan stamina untuk bertahan di tengah berbagai kesulitan hidup macam si Herman ini.

Bangunan Villa Rimbun Ciawi milik Pakde Sastro ini relatip kecil dibandingkan halamannya yang hampir seluar 2 hektar itu. Dalam vila ada 2 kamar tidur, 1 utama yang besar lengkap dengan kamar mandi di dalam dan yang lainnya lebih kecil. Ada dapur yang lengkap dan ruang tamu berikut perabotannya yang sangat nyaman. Di belakang rumah ada taman yang asri lengkap dengan kali kecil yang mengalir di dalamnya. Nampak dikejauhan lebih ke belakang hutan pakis dan pinus yang bersuasana sangat alami. Kesejukkan pegunungan di kawasan Ciawi ini membuat villa ini terasa sangat romantis dan tepat bagi mereka pasangan yang sedang berbulan madu. Setelah menyerahkan kunci villa bersama amplop surat Pakde Karto khusus untuk Rini dan bungkusan besar berisi makanan untuk siang itu, Pak sopir minta pamitan untuk balik ke Jakarta.

Sepulang Pak sopir, Rini cepat membuka surat itu. Herman tahu menempatkan diri. Dia berpura tak acuh, berdiri dan jalan ke beranda. Pakde bilang agar Rini menempati kamar utama yang besar, dan Herman memasuki kamar di sebelahnya yang kecil. Pakde akan datang sekitar jam 3 sore, karena masih ada beberapa pertemuan di Jakarta. Tanpa bicara Rini kemudian menyerahkan surat itu kepada Herman agar tahu apa yang dimaui Pakdenya. Dengan membanting pintu dan menguncinya Rini memasuki kamar utama sesuai kemauan Pakde Karto. Dan Herman langsung mengangkat tasnya sendiri ke kamarnya.

Ah.. kamar ini.. betapa mewah dan nyamannya.. Diarah samping nampak jendela besar dengan pintu ke beranda yang memberikan pemandangan indahnya alam pegunungan. Sesudah menaruh kopernya Rini mengamati interior kamarnya. Di samping ranjang mewah yang beralaskan sutra dia dapati vas besar dengan kembang mawar merah yang segar. Haahh.. tentunya sesorang telah menatanya sebelum dia datang. Mungkin Pakde yang, siapa tahu, nginap disini tadi malam dan menyiapkan segalanya, kemudian subuh balik ke Jakarta. Ah.. ada surat kecilnya..
“Rini sayangku.. aku mencintaimu .. Karto.”

Lihat di pojok itu. Bukankah itu wewangian aroma therapy di atas lilin kecil dari Korea yang sangat mahal itu? Sangat romantis. Rini sangat tersanjung dengan pernik-pernik itu. Sungguh pintar bulusnya Pakde Karto ini.

Rini ingin tahu lebih banyak lagi apa yang telah diperbuat Pakde Karto. Dia temukan baju tidur lembut tergantung di lemari pakaiannya disamping beberapa gaun-gaun mewah dan baru yang juga siap pakai. Dia pastikan semuanya itu untuk dia. Sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dari suaminya sendiri. Dia ambil gaun-gaun itu dan bak peragawati dia memantas-pantaskan gaun-gaun itu pada tubuhnya di depan cermin. Sesekali dia senyum ketika menerawang ke cermin. Ah, bukankah kamu memang cantik dan luwes, Rin. Semua busana-busana itu dalam ukuran yang sungguh tepat untuk tubuhnya. Bukan main Pakde ini.

Berjam-jam dan hampir sepanjang hari Rini menyibukkan dirinya di kamar utama itu. Dia kembali membaca surat kecil romantis itu, Dia kembali mengamati wewangian mahal dari Korea itu dan berkali-kali mencoba pakaian-pakaian indah dan mewah yang bermacam dalam lemari itu.

Sementara itu Herman memasuki kamarnya. Tidak ada yang istimewa dia temukan dalam kamar itu. Mungkin ini kamar yang biasa dipakai pelayan atau penunggu villa ini. Nampak ranjangnya ditutup dengan sprei yang sudah lusuh. Kalau toh ada semburat wewangian itu karena aroma therapi yang semerbak menyebar keluar dari kamar utama dimana kini Rini berada. Sementara satu-satunya pemandangan adalah jendelanya yang justru menghadap ke arah jalanan dengan lalu lalang berbagai macam kendaraan yang melintas. Selebihnya adalah dinding-dinding kamar yang menjadi batas kamarnya dengan kamar Rini.

Ohh.. tunggu dulu. Bukankah ini dinding artistik buatan dari papan-papan kayu pegunungan. Dan lihatlah, papan-papannya yang artistik ini penuh celah-celah dimana sesorang bisa mengintip ke kamar sebelahnya. Nah, aku bisa ngintip Rini, dong. Sedang apa dia?

Dan itu yang kemudian dilakukan Herman. Dan, ah.. benar.. dia kini bisa melihat istrinya sedang memantas-mantas dirinya dengan busana-busana indah yang pasti telah tersedia baginya. Ah, betapa cantik istriku Rini, begitu kata hatinya. Memang dia selalu bangga akan kecantikkan istrinya. Dan Herman tahu banyak lelaki yang kepingin bisa tidur dengan Rini.

Kemudian dia membayangkan sesaat nanti akan menyaksikan dari celah papan ini bagaimana Pakde Karto si bandot tua itu melahapi tubuh cantik isterinya itu. Ah, jangaann..!!
Tiba-tiba kembali Herman disergap rasa sakit dan cemburu yang menyala-nyala. Rasanya tak mungkin dia bisa rela menyaksikan Rini dalam pelukan Pakdenya. Dan akan melihat bagaimana Pakdenya melepasi satu-satu pakaiannya hingga istrinya bertelanjang. Dan bahkan dia akan dalam rengkuhan penuh birahi Pakde Karto yang juga akan sama-sama telanjang. Tiddaakk..!!

Herman kepingin membenturkan kepalanya ke dinding-dinding kamar itu. Tetapi kenapa?? Bukankah karena pengorbanannya dan juga pengorbanan istrinya hutangnya yang kini mencekik lehernya itu akan lunas? Bukankah dia akan terlepas dari beban yang tak tak terelakkan itu? Dan Pakdenya tidak lagi mengejar-kejarnya? Ah.., aku rasa pantas apa yang mesti aku terima kini. Dan itu artinya, nilai istrinya tidak murah. Bayangkan hutang yang lebih dari 15 juta rupiah cukup dibayar dengan membiarkan Pakdenya tidur dengan isterinya selama 3 hari. Dan bukankah sesudah itu dia bisa kembali memiliki Rini untuk selamanya? Hanya 3 hari, Man!

Pikiran terakhirnya ini langsung meredakan perasaan marah, sakit dan cemburunya. Dia kembali ke lubang pengintipan. Tiba-tiba dia merasakan hal yang aneh pada dirinya..

Celananya langsung berasa sesak. Kini kemaluan Herman ngaceng saat membayangkan istrinya digauli Pakdenya. Memang terbersit rasa cemburunya kembali, tetapi dia juga membayangkan bagaimana nanti saat Rini menerima kenikmatan syahwat yang dilepaskan oleh Pakdenya. Bagaimana nanti dia mendengar rintihan dan desahan-desahan nikmat Rini sekaligus nafas-nafas yang memburu dari Pakde Karto. Bagaimana nanti tubuh telanjang Rini bergesekkan dengan tubuh telanjang Pakdenya untuk bersama-sama mendayung birahi dan melepaskan dendam-dendam nafsunya. Bagaimana nanti bibir Pakdenya yang melumati pentil susu istrinya dan sementara kemaluan Pakde berusaha mencari jalan untuk menembusi kemaluan istrinya. Dan bagaimana nanti saat kemaluan Pakde, yang dia yakin ukurannya pasti lebih hebat dari miliknya, menerjang dan merobek bibir kemaluan isterinya. Dan bagaimana nanti dinding-dinding vagina Rini dirundung rasa gatal kemudian mencengkerami batangan bulat besar dan panjang milik Pakdenya.

Ah.. sudah, sudah, sudaahh..!! Herman langsung lari keluar kamar. Dia nggak mau dikejar bayangannya sendiri. Dia menghambur ke taman dimana ada kali kecil yang mengalir di dalamnya. Dia hendak melupakan segala sakit dan cemburunya dengan menyibuki diri menangkapi ikan dan udang kecil dari kali itu untuk dilepaskannya kembali.

Hingga Pakde Karto datang Rini tidak pernah keluar dari kamarnya. Hari itu sama sekali tak ada dialog antara Herman dan Rini sebagai suami isteri. Nampaknya Rini memang menghindar dari kemungkinan dialog itu. Rini pasti kecewa padaku, demikian pikir Herman. Ah biarlah, yang penting dia sudah mau menuruti kemauan Pakdenya. Bayangkan seandainya Rini menolak, apa yang akan menimpa dirinya nanti. Dia bayangkan Satpam Pakdenya yang kekar berotot itu.

Pakde Karto datang lebih lambat dari janjinya disebabkan kemacetan lalu lintas saat memasuki gerbang tol Jagorawi. Begitu mobilnya memasuki halaman Pakde Karto turun dan melemparkan kuncinya kepada Herman yang telah siap di depan gerbang untuk berlaku sebagai pengganti pelayannya. Kini dialah yang harus membersihkan atau mencuci mobilnya sesudah perjalanan yang penuh debu dan kotor dari Jakarta itu.

Dari dalam rumah nampak Rini yang istrinya memperhatikan perlakuan Pakde pada suaminya. Tak terbersit sedikitpun keharuan Rini pada Herman. Rini akhirnya bisa menerima apa yang kini harus dilakukan suaminya. Suatu imbalan yang setimpal atas kepengecutannya sebagai lelaki maupun sebagai suami. Dan kini juga ingin menunjukkan pada Herman bahwa kini dia bulan Rini yang dulu. Dia kini adalah Rini yang bebas dan merdeka yang bisa mengambil keputusan apapun yang dia mau.

Begitu Pakde Karto memasuki teras rumahnya, secara menyolok didepan suaminya Rini keluar dari dalam untuk menyongsongnya. Sambil menebar senyuman dia menggait lengan Pakde Karto memasuki villanya. Herman hanya bisa mengikuti dengan ekor matanya. Dan Rini, lihatlah, dia seperti dewi dari surga. Rini mempersiapkan dirinya secara maksimal untuk menyambut Pakde. Dia memakai busana yang paling sensual. Nampak dari bahu dan dadanya yang setengah terbuka. Bahunya yang bidang itu menyajikan pesona sebersit ketiaknya sedemikian sensual.

Pakde Karto terpana. Dia tidak menduga bahwa Rini sedemikian antusias menyambut kedatangannya. Sebelumnya dia masih berpikir bahwa akan ada sedikit atau banyak kesulitan dalam menghadapi Rini ini. Ada apa? Mungkinkah ini merupakan ungkapan kekesalan Rini pada Herman suaminya? Ah, .. Pakde Karto tak sempat berpikir jauh. Parfum Rini telah menyeret naluri syahwatnya terbang ke-awang-awang. Rini langsung menggelandang Pakde menuju kamarnya. Ah, nanti aku akan tahulah, demikian acuhnya sambil menyambut rangkulan Rini pada lehernya, tangan-tangan Pakde merengkuh pinggul Rini.

Mereka kini saling berpagut. Kehausan bertahun-tahun Pakde Karto pada Rini kini tertumpahkan. Dan bagi Rini inilah puncak pelampiasan dari tumpukkan kemarahan, kekesalan dan kekecewaan pada kehidupannya yang telah beberapa waktu terus menjepit dan menyengsarakannya. Dia terus berusaha menapaki kehidupan yang baru ini. Tanpa ragu-ragu, tangannya dengan terampil melepasi ikat pinggang Pakde Karto. Dia ingin selekasnya menjamah khayalannya. Dia ingin merasakan apa yang pernah dia rasakan dulu bersama Pandi di pantai Parangtritis. Kalau waktu itu gemuruhnya ombak Samudra Hindia, maka kini gemuruh nafsu birahi di dadanya yang akan mengiringi pelampiasan syahwatnya. Gemuruh nafsu birahi Rini dan kehausan syahwat yang amat sangat Pakde akhirnya bertemu dalam kamar Villa Rimbun Ciawi ini.

Akan halnya Herman yang telah siap menerima apapun yang harus dia saksikan. Bahkan kini dia sudah memiliki solusi. Dia akan ikut menikmati apa yang terjadi dari balik dinding artistik kamarnya. Dia akan menyaksikan adegan-adegan yang pasti bisa merangsang birahinya. Dan dia akan bisa meraih kepuasan syahwat juga seperti mereka berdua. Dan kini kembali rasa sesak langsung memenuhi selangkangan celananya. Tangannya bergerak membetulkan letak kemaluannya untuk mengurangi jepitan celananya yang menyakitkan.
Sesudah dengan cepat menyelesaikan tugasnya Herman kembali memasuki kamarnya. Dengan hati-hati dia mulai mengintip dari celah papan itu dan menyaksikan ulah Pakdenya bersama Rini isterinya. Nafasnya terdengar memburu sejalan dengan apa yang dia saksikan melalui celah dinding papan artistik itu. Dia lihat bagaimana Pakdenya bersama istrinya bercumbu. Nampak celana Pakdenya telah merosot ke lantai dan tangan istrinya menggenggam kemaluannya yang gede panjang itu.

“Edan, penis Pakde itu.. penis kuda.., Duh penis Pakdee.. penis ituu..,” teriakkan histeris dari hati Herman melihat kemaluan Pakdenya yang membuatnya terpana.

Dia benar-benar terpesona dengan penis Pakdenya. Dan lebih-lebih lagi saat menyaksikan tangan indah dan manis isterinya yang biasa memegang berbagai macam makanan cattering pesanan tetangga itu kini menguruti batang penis yang berkepala mengkilat kecoklatan. Sementara Pakdenya dengan buas menyedot dan menggigiti dari leher turun ke susu dan puting-putingnya hingga membuat Rini menggeliat dan mendesah hebat sambil matanya merem-melek dan kepalanya tergeleng-geleng dan mendongak kelangit-langit kamar utama Villa Rimbun Ciawi itu.

Blusnya sudah lepas entah ke mana. Susu-susunya nampak ranum menggunung dan putingnya mencuat siap untuk lahapan haus nafsunya Pakde Karto. Sesekali kedengaran sentakan rintihannya. Itu disebabkan sesekali gigitan Pakde menyentuhi saraf-saraf peka pada buah dadanya yang sangat ranum itu.

Tanpa melepas pagutannya mereka bergeser dan bergeser untuk menuju rebah di ranjang. Masih dalam busana atas yang lengkap dengan dasinya yang setengah copot, sementara bagian bawahnya sudah telanjang bulat Pakde Karto menindih Rini. Ditelentangkannya kedua lengan Rini ke atas hingga kedua ketiaknya terbuka. Kemudian dengan penuh kehausannya Pakde Karto menyosorkan bibirnya melumati lembah-lembah indah ketiak Rini. Rini mendesah sambil bergelinjangan menggeliat-liat. Tak diragukan, pasti akan banyak nampak cupang-cupang bekas sedotan-sedotan ganas pada ketiak itu nantinya.

Dan kini Herman melihat mereka sambil mulai mengelusi kemaluannya sendiri. Kupingnya menikmati rintihan atau desahan istrinya. Sementara tangannya terus mengikuti alur sedotan dan jilatan Pakde yang turun dari ketiak ke lembah dan bukit di dada Rini isterinya itu.

Herman agak kesal, posisi Pakde Karto yang mencumbui istrinya tak nampak jelas disebabkan celah papan ini kelewat sempit. Yang jelas bisa dia tangkap jelas tinggalah suara-suara penuh iba nikmat. Betapa rintihan Rini dan dengus Pakdenya saling bersahut telah membuat dirinya semakin blingsatan karena terbakar birahinya. Tanpa sepenuhnya dia sadari, dia juga ikut-ikutan melepasi celananya, hingga tinggal kolornya yang tinggal. Tangannya merogoh kolor itu dan mengurut dan memijit-pijit kemaluannya. Herman ikut terbawa melayang bersama Pakde yang sedang melahap rakus isterinya.

Saat turun dari ketiak, ciuman dan lumatan Pakde meratai lembah dan bukit di dadanya, Rini nampak menggelinjang hebat. Pinggulnya menggeliat dan meliuk-liuk menahan kegelian yang amat sangat seperti ikan moa yang terlepas buruannya dan secepatnya berusaha menangkapnya kembali. Dan Herman juga semakin kenceng merabai kemaluannya sendiri sementara wajah Pakde Karto makin merosot ke perut isterinya.

Tak pelak lagi Rini mendesah keras dan tangannya seakan mengiringi desahannya menangkap kepala Pakde Karto dan menjambaki rambutnya untuk menahan badai birahinya. Dan Pakde semakin menggila. Kini bibirnya sudah me-lamuti bulu-bulu kemaluan Rini dan kemudian meluncur cepat ke bibir vaginanya.

Nampak banget bagaimana bibir Pakde Karto mencaplok untuk melumati bbir vagina Rini. Lidahnya yang menjilat sambil menyeruak menusuki vaginanya membuat Rini histeris. Tingkahnya yang jatuh bangun disertai derasnya desah dan rintih memaksa Herman mempercepat pijitan dan remasan pada kemaluannya, bahkan kemudian dengan cepat merubahnya menjadi kocokkan ritmis.

Sambil terus melototkan matanya untuk menembusi lubang intaian yang sempit, kocokkan Herman yang semakin cepat nampak seperti pompa piston lokomotif diesel penarik Parahyangan Ekspres. Herman tak tahan lagi untuk menahan spermanya. Dan terjadilah orgasme Herman. Yaitu orgasme pertama yang diraih berkat menyaksikan istrinya meliuk-liuk merasakan hebatnya nikmat digauli orang lain yang bukan suaminya. Rasanya inilah spermanya yang paling banyak tertumpah semenjak perkawinannya dengan Rini.

Pakde secara intensif memberikan kepuasan penuh sensasi syahwat pada Rini. Dia melakukan oral seks secara habis-habisan padanya. Lidahnya yang besar dan kasar tentunya menyentuhi organ-organ vagina yang peka dan lembut mlik Rini. Dan akibatnya tak terkatakan lagi, Rini bak kesetanan. Tenaganya berubah menjadi sangat kuat. Kedua pahanya yang berposisi menjepit leher Pakde menekan bahu Pakde untuk menaikkan pinggul dan mengangkat pantatnya. Tujuannya jelas agar tusukkan lidah Pakde bisa lebih jauh menembusi lubang vaginanya. Kegatalan yang amat sangat pada vaginanya itu pula yang membuat kedua tangannya terus menariki kepala ataupun rambut Pakde untuk lebih menekankan ke arah kemaluannya.

Pakde yang sangat berpengalaman ‘ngerjain’ para perempuan, tahu bahwa Rini sudah menunggu penisnya yang kini juga telah melar keras untuk secepatnya menusuki vaginanya. Dengan akar-akar sarafnya yang mengitari geligir batangnya serta desakkan darah yang menumpuk pada kemaluannya hingga membuat sang penis itu membengkak besar dan kepalanya licin mengkilat, kini Pakde sigap merubah posisi. Ditariknya kedua tungkai kaki Rini hingga arah vaginanya tepat di pinggiran ranjang. Kemudian dia angkat salah satu tungkainya untuk disandarkan pada panggulnya di bahu. Dengan cara itu Pakde mengasongkan penisnya yang sudah matang itu ke lubang kenikmatan vagina Rini. Sekali.., dua kali..

Herman kembali mengintip. Sesudah beberapa kali kepala penis Pakdenya yang besar sedikit kesulitan menembusi vagina istrinya yang sempit. Pada tusukkan yang kesekian kali disertai desisan panjang dan kemudian disusul dengan teriakkan nikmat, akhirnya penis gede itu berhasil menembus vagina Rini istrinya. Bleesszz..

Menyaksikan itu semua kemaluan Herman cepat kembali menegang. Dan agar menjadi leluasa, Herman melepas pula celana kolor berikut celana dalamnya. Dan tangannya kembali mengelusi sambil berharap bisa selekasnya tegak kenceng lagi. Herman ingin meraih orgasmenya yang kedua.
Disaksikannya Pakde Karto mulai memompa istrinya. Dan Rini sang istri benar-benar tak berdaya oleh serangan syahwatnya. Sambil meracau dengan ucapan kata-kata erotis kotor di tengah desisan-desisannya, dia meremasi sprei atau bantal atau apa saja yang bisa diraihnya hingga ranjang itu berantakkan. Kepalanya bergoyang keras ke kanan dan kiri sambil melempar-lemparkan rambutnya yang indah itu.

Dan dari arah lebih tinggi dengan satu kaki isterinya di panggulannya mata Pakde Karto mengamati tingkah Rini serta menyimak segala racau dan desisan histerisnya itu. Dia mainkan pompaannya seakan berputar menyodok ke kanan atau kekiri atau ke atas atau ke bawah. Itulah ‘multi jurus’-nya Pakde. Dengan cara itu vagina Rini serasa di-ubek-ubek. Gatalnya tak lagi tertolong. Dan karena itu pula kini Rini mulai menapaki puncak kenikmatannya. Rini mulai menyongsong orgasmenya yang sejati. Orgasme yang rasanya belum pernah dia raih dari siapapun.

Herman tahu, selama ini belum pernah melihat isterinya sedemikian histeris sebagaimana yang dia saksikan kini bersama Pakde Karto. Rupanya Pakdenya ini tahu benar apa yang ditunggu Rini. Dan kini dia sedang suguhkan itu. Dari racau dan geliat serta menghebatnya remasan-remasan tangannya pada apapun yang dia raihnya, Rini kini menggelinjang hebat. Pinggulnya dia angkat-angkat tinggi-tinggi serasa hendak menjeputi kemaluan Pakde agar menusuk lebih dalam lagi ke vaginanya. Dan ketika akhirnya puncak-puncak itu benar-benar datang, wajah Rini langsung berubah ganas. Matanya menjadi nanar tanpa titik pandang. Dengan teriakkan bak hyena kelaparan Rini bangkit mendorong dan merubuhkan Pakde untuk ganti rebah telentang ke kasur. Dia ‘cengklak’ tubuh Pakde seperti seorang joki men’cengklak’ kudanya. Dengan gaya seakan hendak duduk tangannya merogoh dan meraih penis Pakde untuk dia tusukkan ke vaginanya, dan dengan cepat vaginanya langsung menelan amblas seluruh batangan kemaluan Pakde. Kini Rinilah pemegang kendali.

Dengan cepat dia menaik turunkan pantatnya memompakan penis Pakde ke vaginanya. Herman melotot mengamati vagina Rini yang bisa memuntahkan dan kemudian menelannya kembali kemaluan gede panjang milik Pakde Karto. Dari arah belakang pantatnya, nampak oleh Herman bagaimana bibir vaginanya ketarik keluar dan kedorong masuk terbawa oleh keluar masuknya kemaluan Pakde yang memang sangat sesak dan sarat memenuhi belahan dan rongga vagina isterinya itu.

Dan akhirnya datanglah malaikat nikmat itu.. Rini seakan membantingkan tubuhnya ke tubuh Pakde. Dia menggigit dada dan mencakar-cakar punggungnya. Vaginanya berdenyut keras menghisap-isap atau melumat-lumat batang kenyal milik Pakde. Itulah tanda bahwa orgasme beruntun-runtun sedang melanda Rini.

Mungkin runtunan orgasmenya itu berlangsung hingga 20 atau 30 detik sebelum akhirnya tubuhnya gugur dan rubuh dengan keringatnya yang mengucur menindih dan membasahi tubuh Pakde Karto. Villa Rimbun Ciawi yang sebelumnya berubah menjadi panas oleh radiasi yang memancar dari tubuh indah Rini kini sejuk kembali.

Dari balik dinding Herman juga ikutan terkapar bersama tarikan-tarikan nafas panjangnya. Dimatanya dia menyaksikan Pakde Karto telah menunjukkan peranannya sebagai pelayan seks yang benar-benar hebat. Herman merasa banyak belajar dari apa yang dia lihat hampir selama 1 jam ini. Pakde bisa membaca arah kemana Rini mau. Dia mengejar kepuasan tetapi dia meyakini kepuasannya akan dia raih apabila Rini, lawannya telah lebih dahulu terpuaskan. Dan bagi dia, sebagai lelaki, kepuasannya tidak perlu diraih seketika. Dia masih memerlukan stamina untuk berjalan lebih panjang. Sebagai lelaki memerlukan stamina macam itu lebih dari perempuan. Dengan cara itu rupanya Pakde Karto akan menikmati sepanjang malam pertama ini. Dan Herman mulai mengerti, bagaimana Pakde Karto akan mampu melayani Rini kapan saja, setiap saat. Dan segala marah, sakit atau cemburu akan sia-sialah di depan Rini sepanjang dia tidak mampu melakukan seperti yang Pakdenya bisa lakukan.

Sore itu sesudah permainan pertama, yang mungkin oleh Pakde hanya dipandang sebagai pemanasan, mereka berdua mandi bersama. Cukup dengan teriakkannya Pakde menyuruh Herman untuk menyalakan gas LPJ yang membakar water heater di kamar mandi utama. Sesudah mandi air hangat, dengan keduanya memakai mantel tidur lembut yang tersedia di kamarnya Pakde bersama istrinya bercengkerama di beranda villa. Atas permintaan Rini Herman disuruh Pakdenya untuk membeli sate kambing di warung sate sebelah villanya.

Malam itu Rini bersama Pakde menikmati sate kambing panas di meja makan. Herman mesti sabar menunggu mereka selesai makan untuk bisa ikut menikmati sate kambing dingin sisa mereka. Dia menerima semua perlakuan ini dengan sabar dan berpikir positip. Ahh.. Herman.. Herman.., hebat kau..

Selesai makan Rini dan Pakde pergi ke beranda dan duduk berhimpit di sofa. Villa bulan madu ini seakan memang dibuat untuk mereka. Dari balik pot-pot tanaman di samping beranda Herman merunduk mengintip diantara dedaunannya. Herman yang mentalnya sudah jatuh menjadi mental pelayan itu melihat bayang-bayang istrinya dalam rengkuhan Pakdenya kembali. Dia amati betapa asyik istrinya dan Pakdenya saling berpagut bertukar lidah dan ludah. Dan lihat, betapa agresifnya si Rini. Tak pernah dia bersikap begitu pada dia selama masa perkawinannya.

Dia saksikan bagaimana tangan Rini yang demikian lancar melepasi ikatan tali. Dengan sekali renggut lepaslah temali mantel tidur itu hingga tubuh Pakde langsung terbuka. Kemudian dengan rakusnya bibirnya kembali menyambar bibir Pakde Karto sambil tangan kanannya, tangannya yang cantik dengan jari-jarinya yang lentik itu meremas dan mengelusi batangan gede penis Pakde Karto. Ah, Rini.. Riniku.., batin Herman yang menangisi isterinya.
Rini meliukkan lehernya. Kepalanya menggiring bibirnya meluncur ke leher Pakde. Dia memberikan sedotan cupang di seputar leher dan kuduknya. Bulu-bulu Pakde tegak merinding.

Kecupan dan jilatan itu mendongkrak saraf-saraf birahinya. Dan bibir seta lindah terus merambat meluncur turun ke dadanya. Dia kecupi buah dada Pakde dan bibirnya serta lidahnya menggigit dan menjilati puting-puting susunya. Nampak betapa bibir-bibir mungil istrinya membuka dan mengatup mengecupi bukit-bukit dada itu. Sesekali lidahya menjulur untuk menjilati berbagai rasa yang keluar dari pori-pori tubuh Pakdenya. Kini yang didengar Herman adalah desis Pakde yang menahan geli birahi akibat ulah istrinya itu. Tak puas-puasnya Rini menyedoti dada Pakde. Terkadang rambatan bibirnya juga menepi ke kanan atau ke kiri dada hingga semburat aroma ketiak Pakdenya yang tampan itu menerpa hidung Rini.

Rambatan ciuman itu terus meluncur turun keperut Pakdenya. Bulu-bulu halus mulai Rini rasakan di lidahnya. Bulu-bulu itu tumbuh berkesinambungan dari arah lebih bawah lagi. Bulu-bulu itu menjadi awal bagi lidah dan bibir Rini memasuki wilayah kemaluan Pakde Karto. Nampak penisnya yang tegak kaku bak tugu Monas itu seakan mengganjal leher dan bahu Rini. Dengan pipinya Rini menyisihkan batang tegak kaku itu untuk membuka jalan menggiring bibirnya terus turun hingga ke selangkangan Pakde. Beberapa kali Pakde menyibak sebaran rambut Rini agar tidak mengganggu alur lidah dan bibirnya yang terus berkecipak menyedot dan menjilat. Dia rasakan sangat nikmatnya bak siput sawah yang sedang merambati wilayah selangkangannya.

Tentu saja kini posisi duduk Pakde harus disesuaikan dengan kejaran nikmat bibir Rini ini. Dia memerosotkan tubuhnya pada bantalan sofa itu untuk memberikan ruang yang lebih terbuka kepada Rini saat mulai menggarap kedua selangkangannya. Dan kini wajah Rini benar-benar terjebak dalam rimbunan bulu kemaluan di seputar selangkangan Pakde Karto. Sesekali nampak kepalanya menggeleng kecil untuk mendorong agar lidah atau bibirnya bisa menjangkau pori-pori selangkangan itu.

Nampaknya Pakde tak mampu menahan kegelian yang melandanya. Dengan kedua tangannya dia merengkuh dan menjambak rambut Rini. Dia merintih sambil seakan hendak mencabut-cabut akar rambut itu. Dan rintihan Pakde itu membuat Rini semakin ganas serta liar untuk meningkatkan serangan birahinya. Pipinya yang semula digunakan untuk menyisihkan penis, kini dia gunakan untuk menariknya kembali. Batangan penis Pakde yang tonggak kaku itu mulai dia jilati. Dia tusukkan lidah lembutnya pada lubang kencing Pakde. Lubang kencing yang nampak macam belahan jamur merang itu langsung merah merekah menahan desakan darah syahwat yang menjalari penisnya.

Betapa nikmat saat lidah menyentuh saraf-saraf peka pada lubang itu. Gelinjangnya membuat Pakdenya seakan melonjak dari tempat duduknya. Mungkin itu semacam kekagetan saraf menerima sentuhan lembut lidah Rini yang sangat merangsang syahwatnya. Dan kemudian Rini mengkulum seluruh kepala dan batang penis itu. Dia memompa, menyedot, menjilat, mengkulum tonggak bulat panas yang kaku dan berkilatan dengan urat-urat yang kasar mengelilingi seluruh geligirnya.

Pemilik tonggaknya mendesah keras dan merintih dalam gelombang nikmat yang datang bertubi.
Herman memperhatikan betapa mata istrinya merem melek menikmati kelakuannya sendiri itu. Dan juga bertanya, kenapa dia nggak pernah menerima perlakuan macam itu selama 3 tahun perkawinan ini?? Adakah ini karena kepiawaian Pakde Karto dalam menggiring birahi Rini? Sehingga membuat seluruh potensi syahwat istrinya terdongkrak keluar?

Rambut Rini yang panjang sering menghalangi pandangan Herman pada apa yang sedang berlangsung. Nampaknya Rinilah yang sekarang ganti memanjakan Pakde Karto dengan oralnya. Dia ciumi dan jilat bijih-bijih pelir Pakde. Lidahnya bolak-balik melata merambati pangkal hingga ujung kemaluan yang tegak kaku itu. Pakde Karto tidak keliru membaca perempuan. Betul-betul kini dia serasa terbang melayang diangkasa nikmat. Apa yang kini sedang dilakukan Rini sesuai dengan bacaannya. Rini adalah perempuan seksual yang sangat galak dan panas. Perempuan dengan betis ‘merit’ macam istri Herman ini tak mudah dipuaskan. Oleh karenanya pada garapan awal tadi Pakde Karto pusatkan pada bagaimana Rini bisa cepat disambar syahwatnya hingga tinggal kehendaknya sendirilah yang akan mendorong cepat atau lambat datangnya orgasmenya. Dan itu sudah terjadi.

Kini perempuan ini sudah kembali menimba birahinya. Kenikmatan orgasme beruntun yang dia rasakan tadi membuatnya ketagihan. Lihat, kini dia akan berusaha orgasmenya berulang kembali. Dia pikir dengan merangsang penisnya Pakde Karto akan cepat mengejar nafsunya. Dan harapan Rini untuk digenjoti lagi oleh Pakde akan kesampeyan. Tetapi dia keliru. Pakde Karto bukan anak kemarin sore. Dia bukan Herman. Kenikmatan yang kini diberikan Rini akan di ‘follow up’ di mulut Rini sendiri. Kini Pakde sedang mengamati dengan penuh nafsu bagaimana mulut cantik mungil Rini mengecupi penisnya. Dia mengamati bibir-bibir seksi istri Herman ini berkecipak melahap batang penisnya. Dia ingin bibir ini nantinya belepotan oleh semprotan spermanya. Dia ingin sekali menumpahkan air maninya ke mulut Rini. Dia pengin menyaksikan bagaimana Rini menenggak cairan kentalnya. Ya, dia ingin sekali. Bahkan dia mungkin akan sedikt paksa Rini untuk menjilati cairan kentalnya yang tercecer. Itulah nafsu hewaniah Pakde Karto yang kini merundung dirinya. Tangan-tangannya kembali mengelusi lembut kepala Rini, sementara khayalan birahinya terbang melesat ke awang-awang untuk menjemput puncak-puncak nikmatnya. Dia mulai mengerang dan mendesis. Dan Rini terjebak.

Dia menikmati erang dan desis Pakde dengan cara lebih meliarkan jilatan dan gigitan-gigitannya.
Tetapi situasi berikutnya berubah. Kendalinya terlepas dan diambil alih Pakde Karto. Tanpa mau melepas rengkuhan Rini pada penisnya Pakde bangkit dari sofa empuk itu. Dibimbingnya Rini untuk naik kesofa dengan kepalanya bersandar pada ke bantalannya. Dengan penisnya yang tak pernah lepas dari mulut lembut Rini, kini posisi Pakde berada di atasnya dengan selangkangnnya mengangkang di atas dada Rini. Sementara Rini masih berpikir bahwa sesaat lagi Pakde akan merambati tubuhnya untuk menusukkan kembali kemaluannya pada vaginanya.

Tetapi sekali lagi harapan Rini ini keliru. Kini Pakde seperti sedang kerasukan nikmat dan merasakan bagaimana seakan spermanya datang dari seribu arah menjalari berjuta saraf-saraf di seputar selangkangannya untuk meledak dan tumpah di mulut Rini. Dan ketika batas batas sarafnya telah terlanggar oleh birahi, dengan suara erangan yang keras dari mulutnya dengan disertai tangan-tangannya yang kuat menekan kepala Rini agar tetap terpaku di sofa selama penis Pakde tetap menghunjam-hunjam ke rongga mulut Rini, Pakde telah siap menyemprotkan air maninya ke mulutnya. Dan Rini memang tak lagi mampu berkutik. Tekanan tangan Pakde terlampau kuat untuk ditolak. Akhirnya dia menyadari apa yang Pakde mau. Dia langsung pasrah. Bahkan selintas dia sempat berpikir tentang Herman. Biarlah Herman menyaksikan apa yang memang dia harus saksikan.

Sperma Pakde tumpah ruah menyemprot membanjir memenuhi mulutnya. Anggukan-anggukan penis Pakde menandai setiap semprotan spermanya. Mulut manis mungil Rini tak mungkin menampung seluruhnya. Sebagian tertelan membasahi tenggorokannya, sebagian lainnya muncrat tercecer ke dagunya, dadanya dan juga ke jok kulit sofa buatan Italy itu. Saat akhirnya Rini benar-benar menjilati sperma yang tercecer dia ingat kembali saat bersama Pandi di Parangtritis itu. Dan Pakde Kartopun terpenuhi harapannya.

Herman terbengong-bengong menyaksikan bagaimana nafsu liarnya Rini di atas sofa bersama Pakde Karto itu. Benar-benar tak habis mengerti, bahwa Rini yang kesehariannya cantik dan lembut itu bisa berubah menjadi malaikat seks yang dengan ganas membawa prahara birahi untuk menenggelamkan nafsu Pakdenya kedalam nikmat syahwat yang tak pernah dia berikan pada siapapun sebelumnya. Pakde Karto merasa bahwa menganggap lunas hutang suaminya amat sepadan dengan apa yang di berikan Rini kepadanya. Dielusinya dengan penuh kasih sayang kepala Rini yang kini bersandar di dadanya. Pakde mendapatkan kepuasan yang luar biasa dengan hadirnya Rini ini.

Dari balik pot-pot yang tidak jauh dari sofa Pakde dan istrinya Herman terduduk loyo. Sekali lagi ia semakin tak mampu berkilah lagi. Kepengecutannya sebagai lelaki membuat semakin tak mungkin mampu menyaingi kelebihan Pakdenya. Kesalahannya yang membuat tenggelam dalam judi togel itu membuat dia benar-benar tak lagi merasa punya hak untuk marah maupun cemburu. Dia akan sepenuhnya menerima apa yang dilakukan Pakde pada isterinya. Dari berbagai sudut dia sudah salah dan kalah total. Apalagi nampaknya Rini sendiri akhirnya demikian menikmati hubungannya dengan Pakde. Mungkin juga bagi Rini Pakde lebih bisa memberikan kepuasan nafsunya dibanding dia. Ya, sudahlah..

Yang kini masih dia miliki adalah hak untuk ikut menikmati. Dia jadi begitu menyala birahinya kalau melihat isterinya di’entot’ orang lain. Dia sangat terobsesi saat melihat wajah isterinya begitu histeris oleh kenikmatan syahwat yang diterima dari Pakde. Dia sangat terobsesi pula saat melihat isterinya begitu rakus menjilati dan minum air mani Pakde Karto. Rasanya Herman juga ikut merasakan bagaiman lendir hangat Pakdenya mengalir membasahi tenggorokan isterinya. Dan lepas dari semua hal itu, yang benar-benar melegakan Herman sekarang adalah lunasnya hutang-hutangnya dari Pakde Karto. Dia kini siap menjalani hidup baru tanpa beban hutang-hutang. Dia kini bertekad untuk tidak lagi main togel. Dia akan mencoba menepis godaan teman-temannya. Atau mungkin dia tak akan bergaul lagi dengan mereka. Karena merekalah kini Herman merasa sengsara. Dan nyatanya pada saat seperti ini mereka tak mampu membantu apapun.

Terlihat Pakde dan isterinya bangkit dari sofa menuju ke kamarnya. Adakah mereka akan melanjutkan permainannya. Sangat mungkin. Bukankah situasi macam begini yang Pakde impikan sejak pertama kali beberapa waktu yang lalu dia melihati Rini tanpa berkedip. Dan bagi Rini, bukankah lelaki macam Pakde ini yang telah terbukti bisa memuaskan syahwat birahinya?!

Dan bagi Herman, apa yang bisa dibuat selain kembali ke lubang pengintaian di balik dinding kamarnya?! Rupanya sate kambing tadi telah memberikan semangat dan kekuatan pada semua orang.
Dari kamarnya Herman melihat Rini langsung rebah ke ranjang. Dalam jubah tidurnya yang nyaris tak dipakai secara utuh, Rini setengah tengkurap memeluki bantalnya. Nampak kaki dengan paha dan betisnya yang tersingkap dari pakaiannya terjuntai ke tepian ranjang. Dan Pakde dengan jubah tidurnya yang telah terbuka pula siap menyusul. Tetapi tidak. Pakde tidak menyusul naik ke ranjang. Pakde kini simpuh di lantai tepat di ujung kaki Rini. Apa yang akan dia lakukan? Ah, ini sangat menarik, pikir Herman.

Pakde pelan menjamah kemudian mengelusi kaki Rini. Dia raba betisnya yang ‘merit’ itu. Kemudian nampak kepalanya menunduk. Pakde mencium kaki Rini. Mencium telapak kakinya. Menciumi kemudian menjilati. Kemudian juga mengulumi jari-jari kakinya. Jari kaki Rini yang selalu terawat apik itu demikian indahnya dalam kuluman Pakde. Dan Rini seakan kena stroom ribuan watt langsung berteriak mendesisi-desis.

Dia terbangun-bangun menahan geli yang menjalari kakinya. Tanpa terpengaruh oleh ulah isterinya nampak Pakde sangat tenang. Ditahannya dengan tangannya yang kuat kaki-kaki Rini sehingga berontaknya tidak membuat lepasnya kaki dalam pagutannya. Jilatan dan kuluman bibir dan lidah Pakde semakin meratai telapak kaki dan mulai naik ke betisnya. Gelinjang nikmat membadai menghempas-hempaskan gelegak nafsu Rini.
Bibir Pakde terus melata hingga lutut dan siap memasuki wilayah paha belalang Rini. Ya, paha ini dulu sangat terkenal. Saat Rini bermain volley dalam pertandaingan antar SMU, paha Rinilah yang selalu membuat para siswa lelaki meneteskan air liur. Anak-anak SMU bilang ‘paha dan betis belalang Rini’ selalu terbawa dalam mimpi mereka. Mungkin maksudnya saat anak-anak itu masturbasi khayalannya terbang menciumi paha Rini.

Dan paha itu kini bukan dalam impian Pakde. Paha itu kini nyata dalam rengkuhannya. Pakde mengecupi dan menjilat setiap sentimeter areal paha Rini. Duh, bukan main gatalnya. Ciuman Pakde dari mulut dan pipi serta dagunya yang bercukur bulu-bulu pendeknya begitu menggelitik sanubari Rini. Gatalnya telah manembus ke hulu hatinya. Rini kelabakan kewalahan menahan derita gatal nikmatnya. Dia menjerit-jerit minta Pakde melepaskannya. Kakinya menendang menolak tubuh Pakde.

Tetapi mana mungkin. Tubuh Pakde telah sempurna menindih dan tangannya menjepit dengan kuatnya. Aroma yang menebar dari paha Rini membuat tenaga Pakde semakin kukuh untuk tetap menguasai tingkah Rini. Tidak akan ada kata menyerah. Dan jilatan Pakde itu merambah terus hingga ke selangkangan Rini yang ditumbuhi bulu-bulu kemaluan yang sangat lembut. Pakde merem melek saat lidah dan bibirnya melumat-lumat selangkangan Rini. Dan tak ayal lagi, rambahan itu sampai ke lubang vaginanya. Namun Pakde tidak melanjutkannya. Dia hanya mampir sejenak untuk kemudian dengan tangannya mendorong balik tubuh Rini hingga posisinya tengkurap di kasur.

Kini nampak pantat Rini yang menjumbul dengan indahnya. Pakde sudah kesetanan. Wajahnya langsung nyungsep ke belahan pantat Rini. Dia menjilati lubang duburnya. Tentu saja hal ini membuat Rini tersentak. Bagi Rini lubang dubur adalah hal yang sangat tak senonoh untuk didekati, apalgi dicium atau bahkan dijilati macam yang dilakukan Pakde pada dirinya sekarang ini. Tabu, katanya. Pemali, orang bilang. Tetapi tidak bagi Pakde Karto. Jilatannya terasa ‘keri’ menusuk-nusuk lubang pantat Rini. Bahkan dengan tenaganya dia mengangkat pinggul Rini sehingga dia berposisi nungging. Pantatnya lebih menonjol dengan lubang duburnya tepat di arah wajah Pakde. Rini yang belum sepenuhnya mau menerima ulah Pakde yang tabu berontak mati-matian untuk menghindarkan Pakde menciumi pantatnya. Dia berusaha bangun sambil,
“Tidaakk.. jangaann.. jangaann..”

Tetapi larangannya itu justru semakin memicu kehendak nafsu Pakde Karto. Dia cepat berpikir bahwa pantat Rini masih pantat perawan. Kalau dulu Herman merawani vaginanya, kini dia berkesempatan merawani lubang pantatnya. Dia telikung Rini dengan sekuat tenaganya. Dia pegang erat-erat pinggulnya sambil mulutnya tidak melepaskan sedotan-sedotan pada lubang anal yang perawan itu. Dan Pakde sangat kuat. Rini tak mampu melawannya. Perasaan tabunya membuat Rini ketakutan. Tetapi yang dia bisa perbuat sekarang hanyalah menangis sambil memohon,
“Jangaann Pakdee.. ampuunn, jangaann.., ampuunn Pakdee..”

Apapun rintihan Rini tak lagi didengarnya. Ini sudak perkosaan. Dari balik dinding Herman juga mengutuk Pakdenya. Isak tangis istrinya benar-benar membuatnya iba. Akankah Pakde menyakitinya? Apa yang bisa dia perbuat untuk membantu Rini? Dan ternyata itu baru awal dari hal berikutnya yang akan membuat tangis Rini serasa tak berkesudahan.

Ciuman Pakde bergeser ke atas. Pinggul Rini dilumat-lumatnya. Juga punggung kemudian bahu dan kuduknya. Rini yang masih terisak kembali menemukan gelinjangnya. Tetapi itu tak lama. Di bawah sana penis Pakde yang demikian hebat ukurannya terasa mendesaki bokong Rini. Rini puny firasat. Sekali lagi dia berontak untuk mencegah nafsu setan Pakde Karto. Tetapi sekali lagi Pakde Karto mampu membuat isteri Herman itu tak berdaya.

Kini rambut Rini yang terurai dijambaknya. Dia gunakan rambut Rini ibarat tali kekang kuda. Dia hela rambut itu kebelakang sementara penis itu mulai menumbuk-numbuk lubang anal Rini. Rasa sakit yang hebat menimpa Rini. Lubang analnya serasa dicolok dengan kayu menyala, Panas dan sakitnya bukan main. Beberapa kali Pakde melumasi dengan ludah pada penisnya agar bisa menembus dengan lubang anal Rini. Memang ada kemajuan. Tetapi apa yang dirasakan Rini? Setiap mili kemajuan penis itu masuk menembus analnya, kepedihan tak terkatakan datang menjemput.

Dan disinilah dramatiknya. Akhirnya penis itu memang tenggelam tertelan anal Rini, tetapi akibatnya Rini kelenger, pingsan. Pakde tahu, tetapi dia sangat tenang. Dia bisa mengendalikan dirinya. Tanpa melepaskan kemaluannya pada lubang itu, dia raih wewangian aroma terapi yang tersedia di meja samping ranjang. Dia kecroti hidung Rini dengan wewangian itu. Dan, ah manjur benar. Rini terbangun dan langsung kembali menangis karena menahan rasa sakit di pantatnya. Dia tak lagi menolak karena pasti hanyalah sia-sia. Justru tolakannya semakin merangsang nafsu setannya Pakde. Dan Pakde sendiri berusaha sabar.

Untuk beberapa saat dia tidak bergerak. Pikirnya, biarlah Rini menyesuaikan diri dulu, dimana penisnya kini sedang menghunjam ke dalam pantatnya. Dia hanya peluki punggung Rini sambil merajuk dan mencumbu. “Nggak apa-apa Rin, jangan takuutt.. nanti ennaakk.. jangan takutt..” sedu sedan Rini masih terdengar.

Kembali ke Herman yang kini mengutuk habis-habisan ulah Pakdenya. Tetapi mana berani dia menyampaikan kutukkan itu hingga ke kuping Pakdenya. Yang ada tinggal rasa cemas dan semakin merasa betapa semua itu karena kesalahan dirinya. Rini telah menjadi korban tingkah lakunya yang pengecut. Ooo.., kenapa jadi beginii..??!!

Aneh, ternyata cumbuan Pakde Karto seperti menyihir Rini. Isakan tangisnya tak lagi terdengar. Walaupun masih sering terdengar kata
“Aduuhh, sakiitt.., yang pelaann..” namun tak ada uapaya menolak dari Rini saat Pakde kembali menggoyang kemaluannya pada anal isteri Herman itu. Dan setelah beberapa saat kemudian goyangan Pakde berubah menjadi pompaan sebagaimana dia memompa vaginanya, Rini sama sekali tidak mengaduh tetapi, nah lihatlah.. Herman melotot keheranan.

Kini dia menyaksikan isterinya mengimbangi goyangan saat penis panjang Pakde menusuki pantatnya. Ternyata Rini dengan cepat memahami kenikmatan yang dijanjikan Pakde Karto. Bahkan ketika beberapa kali penis itu copot dari analnya, tangan Rini dengan sigap menjemputnya kembali untuk diarahkan tepat ke lubang duburnya. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat atraktip. Seorang dewi cantik manis dalam posisi menungging dia atas ranjang beralaskan sutra melengkungkan pinggulnya untuk mengangkat tinggi-tinggi pantatnya. Sementara di arah belakang seorang lelaki gagah sedang menusuk-tuskkan penis monsternya ke arah lubang pantat sang dewi. Kini Herman mempercepat kocokkan tangannya. Dia ingin meraih orgasmenya, entah untuk yang keberapa kali sejak sore tadi, saat menyaksikan pemandangan yang sangat atraktip itu.

Pakde Karto benar-benar nampak seperti joki. Kuda betina cantiknya diraih surainya. Dia memompa Rini sambil menarik rambutnya sebagai tali kekang. Dan ketika nafsu-nafsu menjemputi puncak-puncaknya. Ketika Rini merasakan betapa benar kata Pakde bahwa dia akan menerima kenikmatan yang kini sedang menapaki puncaknya. Ketika Herman dari balik dinding tak lagi merasakan lecet-lecet pada kulit kemaluannya karena kenikmatan puncak sedang merambatinya. Dan ketika Pakde Karto tak lagi mampu menahan sperma untuk tidak tumpah, dan bahkan kini telah berada di ambang nikmatnya yang paling tinggi.

Maka badai gaduh, jerit, desah dan rintih pada berhamburan. Mulut Rini menjerit dalam rintihan menahan gelora birahi sambil pantatnya dengan kencang maju mundur menjemputi kemaluan Pakde Karto. Dan Herman dari balik dinding merintih tertahan, karena khawatir tertangkap basah, sambil mempercepat koncokkan penisnya yang juga ngaceng berkilatan. Pakde Karto sendiri yang bagai serigala lapar sedang mengejar mangsa, meracau dan mendesah keras-keras menjemput spermanya yang .. naahh.. achirnyaa.. tak tertahan.. tumpah ruah.

Pantat Rini masih terus menjemputi, penis Pakde masih memompa, tangan Herman semakin menambah guratan-guratan pedih sebelum ketiganya tumbang, roboh. Rini dan Pakde bergelimpang di ranjang beralaskan sutera. Tetapi Herman bergelimpang di lantai dingin di kamarnya sendiri. Herman langsung tertidur. Hari ini begitu banyak hal yang sagat melelahkan. Tekanan fisik dan mental serta kesenangan birahi silih berganti. Dia terbangun saat matahri telah tinggi. Dia kaget geragapan. Pakde Karto pasti akan marah, pikirnya. Tetapi hal itu tak terjadi. Pakde Karto bersama Rini semalaman merguk kenikmatan madu. Mereka baru usai dan tertidur menjelang subuh. Kini nampak oleh Herman dari balik dinding, isterinya dalam pelukan Pakde Karto meringkuk dalam selimut tebal. Herman yakin mereka sama-sama bertelanjang.

Herman menjerang air untuk membuat kopi. Dia perlu ngopi. Dia juga membuat kopi untuk yang sekarang masih tidur dalam pelukan.

Perpisahan

Akhirnya Herman terbuka pikirannya. Dia akan dan harus meninggalkan Rini. Tak mungkin lagi baginya merintis dan memperbarui hubungan suami isteri dengan Rini. Hal itu dia yakini akan baik untuk dirinya dan juga baik untuk Rini. Dan dia merasa tak perlu bertanya setuju atau tidaknya pada Rini. Keputusan dia memang sepihak, tetapi itu sudah merupakan keputusan final. Mana mungkin, seorang isteri telah melakukan hubungan seksual dengan penuh nikmat dan sukacita, sementara tahu persis suaminya berada di kamar sebelahnya. Apapun alasannya.

Herman juga yakin Pakdenya bisa menerima jalan pikirannya. Dan bahkan mungkin setengahnya bersyukur. Bukankah dia sangat tergila-gila pada Rini. Dan kini kehendaknya telah kesampaian. Dan Pakde Karto menujukkan kepuasannya yang luar biasa. Siapa tahu, Pakde Karto akan meneruskan keinginannya untuk melamar dan kemudian menikahi Rini.

Pagi yang sangat cerah di Villa Rimbun Ciawi yang sejuk. Pagi itu kedua insan yang sedang mengumbar nafsu syahwatnya kembali saling bercumbu. Mereka menikmati udara segar dan cahaya matahari pagi yang hangat. Dengan latar belakang dedaunan pakis, pohon pinus dan gemericiknya kali kecil yang aitnya jatuh ke bebatuan Pakde Karto menuntun Rini ke rimbunan tanaman hias yang penuh bunga. Wewangian bunga-bunga yang warna-warni itu mengantarkan mereka terbang mengawang-awang nikmat syahwat dan birahi tanpa batas. Lama mereka berpagut. Saling kecup dan jilat pada bagian-bagian tubuh mereka yang paling merangsang nafsu dilakukan di kebun indah di belakang villa itu.

Pakde Karto tak puas-puasnya menggeluti Rini yang isteri orang lain itu. Dan sebaliknya Rini yang tak pernah lagi memikirkan Herman suaminya tak lelah-lelahnya melakukan tingkah untuk merangsang syahwat Pakdenya. Dia memang benar-benar perempuan panas yang selalu ingin hubungan seksual dengan lelaki perkasa ini. Dia merasakan betapa Pakde mampu menggali seluruh rahasia nikmat syahwat yang ada pada dirinya. Kini Rinilah yang tergila-gila pada Pakde Karto. Dia bersedia melakukan apapun yang akan diminta Pakde. Bahkan sebagaimana yang kini terjadi. Pakde menggelandang Rini untuk berasyik masyuk di dalam taman Villa Rimbun Ciawi yang sejuk dan indah ini. Mereka kini telah bergulingan di atas matras yang sebelumnya telah disiapkan Herman atas permintaan Pakdenya.

Dan Herman juga baru tahu apa maksud permintaan Pakde Karto untuk menggelar matras tadi. Tetapi Herman sekarang juga bukan Herman yang kemarin. Walaupun di depan matanya kini dia saksikan isterinya Rini bergelut nikmat bersama Pakde Karto, dia tidak lagi terbawa emosi. Yang dia pikirkan sekaranga adalah, “Pergi.., pergi, pergi, pergi, pergi..!!”

Begitulah. Herman telah berketatapan untuk meninggalkan semuanya. Meninggalkan isterinya, meninggalkan Pakde yang telah menghancurkannya dan dia juga akan meninggalkan judi togel. Selamat tinggal masa lalu!

Sementara Pakde bersama Rini sedang mendayung kenikmatan, Herman menyelinap. Dia pergi tanpa pesan.
“Mereka akan tahu, tanpa harus kuucapkan,” demikianlah tekad dan keyakinannya.

Perkasanya Kontol Teman Suamiku

Cerita Dewasa Khusus 17 tahun, memang mantapsss nih cerita. Andai saja aku berada dalam situasi itu sebagai Heru.

Heru melepas putingku lalu bangkit berlutut mengangkangi betisku. Ia menarik rokku dan membungkukkan badannya menciumi pahaku. Kembali bibirnya yang basah dan lidahnya yang kasar menghantarkan rangsangan hebat yang merebak ke seluruh tubuhku pada setiap sentuhannya di pahaku. Apalagi ketika lidahnya menggoda selangkanganku dengan jilatannya yang sesekali melibas pinggiran CD ku



Heru, 32 th, adalah teman sekantor suamiku yang sebaya dengannya sedangkan aku berumur 28 th. Mereka sering bermain tenis bersama, entah mengapa setiap Heru datang kerumah menjemput suamiku ia selalu menyapaku dengan senyumnya yang khas, sorotan matanya yang dalam selalu memandangi diriku sedemikian rupa apalagi sewaktu aku memakai daster yang agak menerawang tatapannya seakan menembus menjelajahi seluruh tubuhku.

Aku benar benar dibuat risih oleh perlakuannya, sejujurnya aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku, walaupun aku telah menikah 2 tahun yang lalu dengan suamiku, aku merasakan ada suatu getaran dilubuk hatiku ditatap sedemikian rupa oleh Heru. Suatu hari suamiku pergi keluar kota selama 4 hari. Pas di hari minggu Heru datang kerumah maksud hati ingin mengajak suamiku bermain tenis, pada waktu itu aku sedang olahraga dirumah dengan memakai hot pant ketat dan kaos diatas perut.


Ketika kubuka pintu untuknya ia terpana melihat liku liku tubuhku yang seksi tercetak jelas di kaos dan celana pendekku yang serba ketat itu. Darahku berdesir merasakan tatapannya yang tajam itu. Kukatakan padanya suamiku keluar kota sejak 2 hari lalu, dia hanya diam terpaku dengan senyumannya yang khas tidak terlihat adanya kekecewaan diraut mukanya, tiba-tiba ia berkata "..Hesty mau tidak gantiin suamimu, main tenis dengan saya.." Giliran aku yang terpana selama menikah belum pernah aku pergi keluar dengan laki laki selain suamiku tetapi terus terang aku senang mendengar ajakannya, dimataku Heru merupakan figure yang cukup 'gentleman'.


Sementara aku masih ragu-ragu tiba tiba dengan yakin ia berkata "..Cepet ganti pakaian aku tunggu disini.." Entah apa yang mendorongku untuk menerima ajakannya aku langsung mengangguk sambil berlari kekamarku untuk mengganti pakaian. Dikamar Aku termangu hatiku dagdigdug seperti anak SMU sedang berpacaran lalu aku melihat diriku dicermin kupilih baju baju tenisku lalu ketemukan rok tenis putihku yang supermini lalu kupakai dengan blous 'you can see' setelah itu kupakai lagi sweater, wouw.. cukup seksi juga aku ini.., setelah itu aku pakai sepatu olahragaku lalu cepat cepat aku temui Heru didepan pintu "..Ayo Her aku sudah siap.." Heru hanya melongo melihat pakaianku. Jakunnya terlihat naik turun.


Singkat kata aku bermain tenis dengannya dengan penuh ceria, kukejar bola yang dipukulnya, rok miniku berkibar, tanpa sungkan aku biarkan matanya menatap celana dalamku, ada perasaan bangga dan gairah setiap matanya menatap pantatku yang padat bulat ini.


Saking hotnya aku mengejar bola tanpa kuduga aku jatuh terkilir, Heru menghampiriku lalu mengajakku pulang. Setiba di rumah, kuajak Heru untuk mampir dan ia menerimanya dengan senang hati. Heru memapahku sampai ke kamar, lalu membantuku duduk di ranjang. Dengan manja kuminta ia mengambilkan aku minuman di dapur, Heru mengambilkan minuman dan kembali ke kamar mendapatkan aku telah melepas sweater dan sedang memijat betisku sendiri. Ia agak tersentak melihatku, karena aku telah menanggalkan sweaterku sekarang tinggal memakai blous "you can see" longgar yang membuat ketiak dan buah dadaku yang putih mulus itu mengintip nakal, posisi kakiku juga menarik rokmini olahragaku hingga pahaku yang juga putih mulus itu terbuka untuk menggoda matanya.


Tampak sekali ia menahan diri dan mengalihkan pandangan saat memberikan minuman kepadaku. Memang "gentleman" pria ini. penampilannya agak kaku tetapi disertai sikap yang lembut, kombinasi yang tak kudapatkan dari suamiku, ditambah berbagai macam kecocokan di antara kami. Mungkin inilah yang mendorongku untuk melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami. Aku menggeser posisiku mendekatinya, lalu kucium pipinya sebagai ucapan terimakasihku. Heru terkejut, namun tak berusaha menghindar bahkan ia menggerakan wajahnya sehingga bibirku beradu dengan bibirnya. Kewanitaanku bangkit walaupun aku tahu ini adalah salah tetapi tanpa kusadari ia mencium bibirku beberapa saat sebelum akhirnya aku merespon dengan hisapan lembut pada bibir bawahnya yang basah.


Kami saling menghisap bibir beberapa saat sampai akhirnya aku yang lebih dulu melepas ciuman hangat kami. "Her.." kataku ragu. Kami saling menatap beberapa saat. Komunikasi tanpa kata-kata akhirnya memberi jawaban dan keputusan yang sama dalam hati kami, lalu hampir berbarengan, wajah kami sama-sama maju dan kembali saling berciuman dengan mesra dan hangat, saling menghisap bibir, lalu lama kelamaan, entah siapa yang memulai, aku dan Heru saling menghisap lidah dan ciuman pun semakin bertambah panas dan bergairah.


Ciuman dan hisapan berlanjut terus, sementara tangan Heru mulai beralih dari betisku, merayap ke pahaku dan membelainya dengan lembut. Darahku semakin berdesir. Mataku terpejam. Entah bagaimana pria bukan suamiku ini bisa menyentuh ragaku selembut ini, semakin kupejamkan mataku semakin melayang perasaanku, dan menikmati kelembutan yang memancing gairah ini. Kembali Heru yang melepas bibirnya dari bibirku. Namun kali ini, dengan lembut namun tegas, ia mendorong tubuhku sambil satu tangannya masih terus membelai pahaku, membuat kedua tanganku yang menahanku pada posisi duduk tak kuasa melawan dan akupun terbaring pasrah menikmati belaiannya, sementara ia sendiri membaringkan tubuhnya miring di sisiku.

Heru mengambil inisiatif mencium bibirku kembali, yang serta merta kubalas dengan hisapan pada lidahnya. Mungkin saat itu gairahku semakin menggelegak akibat tangannya yang mulai beralih dari pahaku ke selangkanganku, membelai barang milikku yang paling sensitif yang masih terbalut celana dalam itu dengan lembut namun pasti.

"Mmhh.. Heruu..sudah terlalu jauh Her.." desahku di sela-sela ciuman panas kami. Aku agak lega saat tangan kekarnya meninggalkan selangkanganku, namun ia mulai menarik blousku hingga terlepas dari jepitan rokku, lalu ia loloskan dari kepalaku. Buah dadaku yang montok dan puting susuku membayang menggoda dari BH-ku yang tipis dan seksi, membuatnya semakin penasaran. Ia kembali mencium bibirku, namun kali ini lidahnya mulai berpindah-pindah ke telinga dan leherku, untuk kembali lagi ke bibir dan lidahku.

Permainannya yang lembut dan tak tergesa-gesa ini membuatku terpancing menjadi semakin bergairah, sampai akhirnya ia mulai memainkan tangannya meraba-raba dadaku dan sesekali menyelipkan jarinya ke balik BH menggesek-gesek putingku yang saat itu sudah tegak mengacung. Tanpa kusadari aku mulai memainkan kaos bajunya, dan setelah bajunya kusingkap terlihat tampilan otot di tubuhnya. Aku melihat dada bidang dan kekar, serta perut sixpacknya di depan mataku. Tak lama ia pun memutuskan untuk mengalihkan godaan bibirnya ke buah dadaku yang masih terbalut BHku.

Diciumi buah dadaku sementara tangannya merogoh ke balik punggungku untuk melepas kait BH-ku. Sama sekali tidak ada protes dariku iapun melempar BH-ku ke lantai sambil tidak buang waktu lagi mulai menjilati putingku yang memang sudah menginginkan ini dari tadi. "Ooohh.. sshh.. aachh.. Heruu.." desahku langsung terlontar tak tertahankan begitu lidahnya yang basah dan kasar menggesek putingku yang terasa sangat peka.

Heru menjilati dan menghisap dada dan putingku di sela-sela desah dan rintihku yang sangat menikmati gelombang rangsangan demi rangsangan yang semakin lama semakin menggelora ini, "..Oooh Heru suuddhaah.. Herr.. stoop..!!" tetapi Heru terus saja merangsangku bahkan tangannya mulai melepas celananya, sehingga kini ia benar-benar telanjang bulat. Penisnya yang besar dan berotot mengacung tegang, karuan aku terbelalak melihatnya, besar dan perkasa lebih perkasa dari penis suamiku, vaginaku tiba tiba berdenyut tak karuan. Oh..tak kupikirkan akibat dari keisenganku tadi yang hanya ingin mencium pipinya saja sekarang sudah berlanjut sedemikian jauh.





Heru melepas putingku lalu bangkit berlutut mengangkangi betisku. Ia menarik rokku dan membungkukkan badannya menciumi pahaku. Kembali bibirnya yang basah dan lidahnya yang kasar menghantarkan rangsangan hebat yang merebak ke seluruh tubuhku pada setiap sentuhannya di pahaku. Apalagi ketika lidahnya menggoda selangkanganku dengan jilatannya yang sesekali melibas pinggiran CD ku, semili lagi menyentuh bibir vaginaku. Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan merintih pasrah melawan gejolak birahi, rasa penasaranku menginginkan lebih dari itu tapi akal sehatku masih menyatakan bahwa ini perbuatan yang salah.


Akhirnya, dengan menyibakkan celana dalamku, Heru mengalihkan jilatannya kerambut kemaluanku yang telah begitu basah penuh lendir birahi. "ggaahh.. Heeruu..stoop..ohh.." bagaikan terkena setrum rintihanku langsung menyertai ledakan kenikmatan yang kurasakan saat lidah Heru melalap vaginaku dari bawah sampai ke atas, menyentuh klitorisku.

Kini kami sama-sama telanjang bulat. Tubuh kekar berotot Heru berlutut di depanku. Lobang vaginaku terasa panas, basah dan berdenyut-denyut melihat batang penisnya yang tegang besar kekar berotot berbeda dengan punya suamiku yang lebih kecil. Oohh..betul betul luar biasa napsu birahiku makin mengebu gebu. Entah mengapa aku begitu terangsang melihat batang kemaluan yang bukan punya suamiku.Oooh begitu besar dan perkasa, pikiranku bimbang karena aku tahu sebentar lagi aku akan disetubuhi oleh sahabat suamiku, anehnya gelora napsu birahiku terus mengelegak.

Kupasrahkan diriku ketika Heru membuka kakiku hingga mengangkang lebar lebar, lalu Heru menurunkan pantatnya dan menuntun penisnya ke bibir vaginaku. Kerongkonganku tercekat saat kepala penis Heru menembus vaginaku."Hngk! Besaar..sekalii..Heer.." Walau telah basah berlendir, tak urung penisnya yang demikian besar kekar berotot begitu seret memasuki liang vaginaku yang belum pernah merasakan sebesar ini, membuatku menggigit bibir menahan kenikmatan hebat bercampur sedikit rasa sakit.

Tanpa terburu-buru, Heru kembali menjilati dan menghisap putingku yang masih mengacung dengan lembut, kadang menggodaku dengan menggesekkan giginya pada putingku, tak sampai menggigitnya, lalu kembali menjilati dan menghisap putingku, membuatku tersihir oleh kenikmatan tiada tara, sementara setengah penisnya bergerak perlahan dan lembut menembus vaginaku. Ia menggerak-gerakkan pantatnya maju mundur dengan perlahan, memancing gairahku semakin bergelora dan lendir birahi semakin banyak meleleh di vaginaku, melicinkan jalan masuk penis berotot ini ke dalam liang kenikmatanku tahap demi tahap.


Lidahnya yang kasar dan basah berpindah-pindah dari satu puting ke puting yang lain, membuat kepalaku terasa semakin melayang didera kenikmatan yang semakin bergairah. Akhirnya napsu birahikulah yang menang laki laki perkasa ini benar benar telah menyeretku kepusaran kenikmatan menghisap seluruh pikiran jernihku dan yang timbul adalah rangsangan dahsyat yang membuatku ingin mengarungi permainan seks dengan sahabat suamiku ini lebih dalam.


"Ouuch.. sshh.. aachh.. teruuss.. heeruu.. masukin penismu yang dalaam..!! oouch.. niikmaat.. heerr..!! Baru kali ini lobang vaginaku merasakan ukuran dan bentuk penis yang bukan milik suamiku, yang sama sekali baru ..besaar dan perkasaa.., aku merasakan suatu rangsangan yang hebat didalam diriku. Seluruh rongga vaginaku terasa penuuh, kurasakan begitu nikmatnya dinding vaginaku digesek batang penisnya yang keras dan besaar..!


Akhirnya seluruh batang kemaluannya yang kekar besar itu tertelan kedalam lorong kenikmatanku, memberiku kenikmatan hebat, seakan bibir vaginaku dipaksa meregang, mencengkeram otot besar dan keras ini. Melepas putingku, Heru mulai memaju-mundurkan pantatnya perlahan, "..oouch.. niikmaat.. heeruu..!!" aku pun tak kuasa lagi untuk tidak merespon kenikmatan ini dengan membalas menggerakan pantatku maju-mundur dan kadang berputar menyelaraskan gerakan pantatnya, dan akhirnya napasku semakin tersengal-sengal diselingi desah desah penuh kenikmatan.


"hh.. sshh.. hh.. Heerruu.. oohh ..suungguuhh.. niikmmaat sahyangghh.." Heru membalas dengan pertanyaan "Ohh.. Hestyy nikmatan mana dengan penis suamimu..?" otakku benar benar terhipnotis oleh kenikmatan yang luar biasa..! jawabanku benar benar diluar kesadaranku "Ohh ssh Heruu. penismu besaar sekalii..! jauh lebih nikmaat ..!! Heru makin gencar melontarkan pertanyaan aneh aneh, "..hh..Hesty lagi diapain memekmu sama kontolnya Heru..?" aku bingung menjawabnya, "Bilang lagi dientot..!" Heru memaksaku untuk mengulangnya, tapi dasar aku lagi terombang ambing oleh buaian birahi akupun tidak malu malu lagi mengulangnya "hh.. hh.. sshh.. mmhh..lagi dientot sayaang.."


Terus menerus kami saling memberi kenikmatan, sementara lidah Heru kembali menari di putingku yang memang gatal memohon jilatan lidah kasarnya. Aku benar benar menikmati permainannya sambil meremas-remas rambutnya. Rasa kesemutan berdesir dan setruman nikmat makin menjadi jadi merebak berpusat dari vagina dan putingku, keseluruh tubuhku hingga ujung jariku. Kenikmatan menggelegak ini merayap begitu dahsyat sehingga terasa seakan tubuhku melayang. Penisnya yang dahsyat semakin cepat dan kasar menggenjot vaginaku dan menggesek-gesek dinding vaginaku yang mencengkeram erat.


Hisapan dan jilatannya pada putingku pun semakin cepat dan bernapsu. Aku begitu menikmatinya sampai akhirnya seluruh tubuhku terasa penuh setruman birahi yang intensitasnya terus bertambah seakan tanpa henti hingga akhirnya seluruh tubuhku bergelinjang liar tanpa bisa kukendalikan saat kenikmatan gairah ini meledak dalam seluruh tubuhku. Desahanku sudah berganti dengan erangan erangan liar kata kataku semakin vulgar. "Ahh.. Ouchh.. entootin terus sayaang.. genjoott.. habis memekku..!! genjoott.. kontolmu sampe mentok..!!" Ooohh.. Herruu.. bukan maiin.. eennaaknyaa.. ngeentoot denganmu..!!" mendengar celotehanku, Heru yang kalem berubah menjadi semakin beringas seperti banteng ketaton dan yang membuat aku benar benar takluk adalah staminanya yang bukan maiin perkasaa.., tidak pernah kudapatkan seperti ini dari suamiku.


Aku benar benar sudah lupa siapa diriku yang sudah bersuami ini, yang aku rasakan sekarang adalah perasaan yang melambung tinggi sekali yang ingin kunikmati sepuas puasnya yang belum pernah kurasakan dengan suamiku. Heru mengombang ambingkan diriku di lautan kenikmatan yang maha luas, seakan akan tiada tepinya.


Akhirnya aku tidak bisa lagi menahan gelombang kenikmatan melanda seluruh tubuhku yang begitu dahsyatnya menggulung diriku "Ngghh.. nghh .. nghh.. Heruu.. Akku mau keluaar..!!" pekikanku meledak menyertai gelinjang liar tubuhku sambil memeluk erat tubuhnya mencoba menahan kenikmatan dalam tubuhku, Heru mengendalikan gerakannya yang tadinya cepat dan kasar itu menjadi perlahan sambil menekan batang kemaluannya dalam dalam dengan memutar mutar keras sekalii.. Clitorisku yang sudah begitu mengeras habis digencetnya. "..aacchh.. Heruu.. niikmaat.. tekeen.. teruuss.. itilkuu..!!"


Ledakan kenikmatan orgasmeku terasa seperti 'forever' menyemburkan lendir orgasme dalam vaginaku, kupeluk tubuh Heru erat sekali wajahnya kuciumi sambil mengerang mengerang dikupingnya sementara Heru terus menggerakkan sambil menekan penisnya secara sangat perlahan, di mana setiap mili penisnya menggesek dinding vaginaku menghasilkan suatu kenikmatan yang luar biasa yang kurasakan dalam tubuhku yang tidak bisa kulontarkan dengan kata kata.

Beberapa detik kenikmatan yang terasa seperti 'forever' itu akhirnya berakhir dengan tubuhku yang terkulai lemas dengan penis Heru masih di dalam vaginaku yang masih berdenyut-denyut di luar kendaliku. Tanpa tergesa-gesa, Heru mengecup bibir, pipi dan leherku dengan lembut dan mesra, sementara kedua lengan kekarnya memeluk tubuh lemasku dengan erat, membuatku benar-benar merasa aman, terlindung dan merasa sangat disayangi. Ia sama sekali tidak menggerakkan penisnya yang masih besar dan keras di dalam vaginaku. Ia memberiku kesempatan untuk mengatur napasku yang terengah-engah.


Setelah aku kembali "sadar" dari ledakan kenikmatan klimaks yang memabukkan tadi, aku pun mulai membalas ciumannya, memancing Heru untuk kembali memainkan lidahnya pada lidahku dan menghisap bibir dan lidahku semakin liar. Sekarang aku tidak canggung lagi bersetubuh dengan teman suamiku ini. Gairahku yang sempat menurun tampak semakin terpancing dan aku mulai kembali menggerak-gerakkan pantatku perlahan-lahan, menggesekkan penisnya pada dinding vaginaku. Respon gerakan pantatku membuatnya semakin liar dan aku semakin berani melayani gairahnya yang memang tampaknya makin liar saja.


Genjotan penisnya pada vaginaku mulai cepat, kasar dan liar. Aku benar-benar tidak menyangka bisa terangsang lagi, biasanya setelah bersetubuh dengan suamiku setelah klimax rasanya malas sekali untuk bercumbu lagi tapi kali ini Heru memberiku pengalaman baru walau sudah mengalami klimax yang maha dahsyat tadi tapi aku bisa menikmati rangsangannya lagi oleh genjotan penisnya yang semakin bernapsu, semakin cepat, semakin kasar, hingga akhirnya ledakan lendir birahiku menetes lagi bertubi-tubi dari dalam vaginaku.


Lalu Heru memintaku untuk berbalik, ooh ini gaya yang paling kusenangi "doggy style" dengan gaya nungging aku bisa merasakan seluruh alur alur batang kemaluan suamiku dan sekarang aku akan merasakan batang yang lebih besar lebih perkasa oohh..! dengan cepat aku berbalik sambil merangkak dan menungging kubuka kakiku lebar, kutatap mukanya sayu sambil memelas "..Yeess..Herr..masukin kontol gedemu dari belakang kelobang memekku.." Heru pun menatap liar dan yang ditatap adalah bokongku yang sungguh seksi dimatanya, bongkahan pantatku yang bulat keras membelah ditengah dimana bibir vaginaku sudah begitu merekah basah dibagian labia dalamku memerah mengkilat berlumuran lendir birahiku mengintip liang kenikmatanku yang sudah tidak sabar ingin melahap batang kemaluannya yang sungguh luar biasa itu.


Sambil memegang batang penisnya disodokannya ketempat yang dituju ”Bleess.." ..Ooohh.. Heruu.. teruss.. Herr.. yang.. dalaam..!! mataku mendelik merasakan betapa besaar dan panjaang batang penisnya menyodok liang kenikmatanku, urat urat kemaluannya terasa sekali menggesek rongga vaginaku yang menyempit karena tertekuk tubuhku yang sedang menungging ini. Hambatan yang selalu kuhadapi dengan suamiku didalam gaya 'doggy style' ini adalah pada waktu aku masih dalam tahap 'menanjak' suamiku sudah terlalu cepat keluar, suamiku hanya bisa bertahan kurang dari dua menit.


Tetapi Heru sudah lebih dari 15 menit menggarapku dengan gaya 'doggy style' ini tanpa ada tanda tanda mengendur. Oh bukan maiin..! bagai kesurupan aku menggeleng gelengkan kepalaku, aku benar benar dalamkeadaan ekstasi, eranganku sudah berubah menjadi pekikan pekikan kenikmatan, tubuhku kuayun ayunkan maju mundur, ketika kebelakang kusentakan keras sekali menyambut sodokannya sehingga batang penis yang besaar dan panjaang itu lenyap tertelan oleh kerakusan lobang vaginaku. kenikmatanku bukan lagi pada tahap "menanjak" tapi sudah berada di awang-awang di puncak gunung kenikmatan yang tertinggi.


"Hngk.. ngghh..Heruu..akuu mau keluaar lagii.. aargghh..!!" aku melenguh panjang menyertai klimaksku yang kedua yang kubuat semakin nikmat dengan mendorong pantatku ke belakang keras sekali menancapkan penisnya yang besar sedalam-dalamnya di dalam vaginaku, sambil kukempot kempotkan vaginaku serasa ingin memeras batang kemaluannya untuk mendapatkan seluruh kenikmatan semaksimum mungkin.


Setelah mengejang beberapa detik diterjang gelombang kenikmatan, tubuhku melemas dipelukan Heru yang menindih tubuhku dari belakang. Berat memang tubuhnya, namun Heru menyadari itu dan segera menggulingkan dirinya, rebah di sisiku. Tubuhku yang telanjang bulat bermandikan keringat terbaring pasrah di ranjang, penuh dengan rasa kepuasan yang maha nikmat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dengan suamiku.


Heru memeluk tubuhku dan mengecup pipiku, membuatku merasa semakin nyaman dan puas. "Hesty aku belum keluar sayang..! tolongin aku isepin kontolku sayaang..!" Aku benar benar terkejut aku sudah dua kali klimaks tapi Heru belum juga keluar, bukan main perkasanya. biasanya malah suamiku lebih dulu dari aku klimaksnya kadang kadang aku malah tidak bisa klimaks dengan suamiku karena suamiku suka terburu buru.


Merasa aku telah diberi kepuasan yang luar biasa darinya maka tanpa sungkan lagi kuselomot batang kemaluannya kujilat jilat buah zakarnya bahkan selangkangannya ketika kulihat Heru menggeliat geliat kenikmatan, "..Ohh yess Hes.. nikmat sekalii.. teruss hes.. lumat kontolku iseep yang daleemm.. ohh.. heestyy.. saayaangg..!!" Heru mengerang penuh semangat membuatku semakin gairah saja menyelomot batang kemaluannya yang besar, untuk makin merangsang dirinya aku merangkak dihadapannya tanpa melepaskan batang kemaluannya dari mulutku, kutunggingkan pantatku kuputar putar sambil kuhentak hentakan kebelakang, benar saja melihat gerakan erotisku Heru makin mendengus dengus bagai kuda jantan liar, dan tidak kuperkirakan yang tadinya aku hanya ingin merangsang Heru untuk bisa cepat ejakulasinya malah aku merasakan birahiku bangkit lagi vaginaku terasa berdenyut denyut clitorisku mengeras lagi.


Ohh.. beginikah multiple orgasme yang banyak dibicarakan teman temanku? Selomotanku makin beringas, batang yang besar itu yang menyumpal mulutku tak kupedulikan lagi kepalaku naik turun cepat sekali, Heru menggelinjang hebat, akhirnya kurasakan vaginaku ingin melahap kembali batang kemaluannya yang masih perkasa ini, dengan cepat aku lepas penisnya dari mulutku langsung aku merangkak ke atas tubuhnya kuraih batang kemaluannya lalu kududuki sembari ku tuju ke vaginaku yang masih lapar itu. Bleess.. aachh..aku merasakan bintang bintang di langit kembali bermunculan.


"..Ooohh..Hesty..kau sungguuh seksxyy.. masuukin kontolku..!!" Heru memujiku setinggi langit melihat begitu antutiasnya aku meladeninya bahkan bisa kukatakan baru pertama kali inilah aku begitu antusias, begitu beringas bagai kuda betina liar melayani kuda jantan yang sangat perkasa ini. "..Yess.. Heruu.. yeess.. kumasukkan kontolmu yang perkasa ini..!" kuputar-putar pinggulku dengan cepatnya sekali kali kuangkat pantatku lalu kujatuhkan dengan derass sehingga batang penis yang besar itu melesak dalaam sekali..


"..aachh.. Heestyy.. putaar.. habiisiin kontoolku.. eennakk.. sekaallii..!!" giliran Heru merintih mengerang bahkan mengejang-ngejangkan tubuhnya, tidak bisa kulukiskan betapa nikmatnya perasaanku, tubuhku terasa seringan kapas jiwaku serasa diombang ambing di dalam lautan kenikmatan yang maha luas kucurahkan seluruh tenagaku dengan memutar menggenjot bahkan menekan keras sekali pantatku, kali ini aku yang berubah menjadi ganas dan jalang, bagaikan kuda betina liar aku putar pinggulku dan bagai penari perut meliuk meliuk begitu cepat.


Batang kemaluannya kugenjot dan kupelintir habiss.. bahkan kukontraksikan otot-otot vaginaku sehingga penis yang besar itu terasa bagai dalam vacum cleaner terhisap dan terkenyot didalam liang vaginaku. Dan yang terjadi adalah benar benar membuatku bangga sekali, Heru bagai Layang-layang putus menggelinjang habis kadang mengejangkan tubuhnya sambil meremas pantatku keras sekali, sekali-kali ingin melepaskan tubuhku darinya tapi tidak kuberikan kesempatan itu bahkan kutekan lagi pantatku lebih keras, batang penisnya melesak seluruhnya bahkan rambut kemaluannya sudah menyatu dengan rambut kemaluanku, clitorisku yang lapar akan birahi sudah mengacung keras makin merah membara tergencet batang kemaluannya. Badanku sedikit kumiringkan ke belakang, buah zakarnya kuraih dan kuremas-remas, "..Ooohh.. aachh.. yeess.. Heess.. yeess..!!"
Heru membelalakan matanya sama sekali tidak menyangka aku menjadi begitu beringass..begitu liaar.. menunggangi tubuhnya, lalu Heru bangkit, dengan posisi duduk ia menylomot buah dadaku... aachh tubuhku semakin panaas.. kubusungkan kedua buah dadaku. "..selomot.. pentilku.. dua. duanya.. Herr..yeess..!! ...sshh.. ...oohh..!! mataku menjadi berkunang kunang, "..Ooohh.. Hestyy.. nikmatnya bukan main posisi ini..! batang kontolku melesak dalam sekali menembus memekmu..!" Heru mendengus-dengus kurasakan batang penisnya mengembung pertanda spermanya setiap saat akan meletup, "..Ohh.. sshh..aahh.. Heruu ..keluaar.. bareeng..sayaannghh..!! jiwaku terasa berputar putar..! "..yess..Hess..aku… keluarkan diluar apa didalam..?". "..Ohh.. Heru kontoolmu.. jaangaahhn..dicabuut..keluarin.. didalaam..!!

Tiba tiba bagaikan disetrum jutaan volt kenikmatan tubuhku bergetar hebat sekalii..! dan tubuhku mengejang ketika kurasakan semburan dahsyat di dalam rahimku, "..aachh. jepiit kontoolku.. yeess.. sshh.. oohh.. nikmaatnya.. memekmu Hestyy..!!" Heru memuncratkan air maninya di dalam rongga vaginaku, terasa kental dan banyak sekali. Akupun mengelinjang hebat sampai lupa daratan "..Nggkkh.. sshh.. uugghh.. Heerru.. teekeen kontoolmu.. sampe mentookkhh.. sayaahng.. aarrgghh..!! gelombang demi gelombang kenikmatan menggulung jiwaku, ooh benar benar tak kusangka makin sering klimaks makin luar biaasaa rasa nikmatnya jiwaku serasa terbetot keluar terombang ambing dalam lautan kenikmatan yang maha luas. Kutekan kujepit kekepit seluruh tubuhnya mulai batang penisnya pantatnya pinggangnya bahkan dadanya yang kekar kupeluk erat sekali.


Seluruh tetes air maninya kuperas dari batang kemaluannya yang sedang terjepit menyatu di dalam liang vaginaku. aarrgghh.. Nikmatnya sungguh luar biaasaa!! Oohh Heru aku kuatir akan ketagihan dengan batang penismu yang maha dahsyat ini!! Akhirnya perlahan lahan kesadaranku pulih kembali, klimaks yang ketiga ini membuat tubuhku terasa lemas sekali, Heru sadar akan keterbatasan tenagaku, akhirnya ia membaringkan tubuhku di dadanya yang kekar, aku merasakan kenyamanan yang luar biasa, kepuasanku terasa sangat dihargainya. Tiga kali klimaks bukanlah hal yang mudah bagiku untuk mendapatkannya didalam satu kali permainan seks.


Heru telah menaklukan diriku luaar.. dalaam..!! akan kukenang kejadian ini selama hidupku. Tiba tiba Heru melihat jam lalu dengan muka sedih ia mengatakan kepadaku bahwa ia harus menemui seseorang 10 menit lagi, akupun tak kuasa menahannya, aku hanya mengangguk tak berdaya.

Sepeninggal Heru dari rumah, aku termenung sendirian di ranjang. Suatu kejadian yang sama sekali tak terpikir olehku mulai merebak dalam kesadaranku. Aku telah menikmati perbuatan seks dengan sahabat suamiku bahkan harus kuakui, aku betul betul menikmati kedahsyatan permainan seks dengan sahabat suamiku itu. Tetapi aku telah mengkhianati suamiku. Aku mulai merasakan sesuatu yang salah, sementara di lain pihak, aku sangat menikmatinya dan sangat mengharapkan Heru melakukannya lagi terhadapku.

Hati dan akal sehat terpecah dan menyeretku ke dua arah yang berlawanan. Pergumulan batin terjadi membuatku limbung. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba melupakan Heru. Setelah beberapa minggu dalam kondisi seperti ini, hatiku makin tidak menentu, makin kucoba melupakannya makin terbayang seluruh kejadian hari itu, aku masih merasakan tubuhnya yang kekar berkeringat napasnya yang mendengus dengus terngiang sayup sayup terdengar suaranya memanggilku 'sayang'. Heru berhenti bertugas di kantor suamiku. Entah itu keinginannya sendiri atau memang ia dialih tugaskan, aku tidak tahu.

Namun hingga kini, pergumulan batin dalam diriku masih terus berlangsung. Di lain pihak aku tetap ingin mencintai suamiku, walaupun ia tak bisa memberikan apa yang telah diberikan Heru padaku. Aku masih merindukan dan menginginkan sentuhan tangan kekar Heru, dimanakah kau berada Heru..?